SUDAH beberapa waktu lamanya sejak PT Kereta Api Indonesia, Khususnya PT Commuter Line Jabodetabek terus memperbaiki diri dengan membenahi moda transportasi kereta api listrik di Jabodetabek. Tidak hanya modanya saja yang diperbaiki dan ditambah (yakni dengan penambahan jumlah armada dan gerbong kereta api) tetapi juga fasilitas pendukungnya terus ditambah, diperbaiki, dan dipermudah. Salah satunya adalah sistem ticketingnya yang diubah dari sistem manual (kertas) menjadi kartu elektronik. Kartu tiket tersebut merupakan kartu bayar sekaligus tiket kereta api, dimana kartu tersebut harus kita isi dengan sejumlah uang, kemudian kartu tersebut ditap/ditempel pada pintu masuk, dan tempel kembali saat kita keluar dari stasiun, kemudian charge harga kereta akan dipotong langsung dari kartu kita tersebut.
Meski masih belum bisa dibandingkan dengan sistem ticketing di negara lain–Korea misalnya, yang kekuatan magnet di kartunya sangat kuat, sehingga kartu tidak perlu kita keluarkan/tidak perlu ditap, cukup kita lewatkan saja di alat pembaca—pemberlakuan kartu tersebut sangat memudahkan, terutama mengurangi antrian pembelian tiket di stasiun, karena kartu bisa dipergunakan setiap saat selama saldonya mencukupi. Meski pada awal pemberlakuannya menuai beberapa kontroversi, terutama pengakuan Commuter Line yang mengklaim rugi akibat penumpang tidak mengembalikan kartu sementara; sehingga kartu sementara/single trip tersebut kemudian diubah menjadi kartu single trip berjaminan.
Kemudahan tersebut semakin terasa ketika Commuter Line bekerja sama dengan kartu bayar yang dikeluarkan bank-bank swasta nasional, misalnya e-money Bank Mandiri, brizzi BRI, Flazz BCA, dan kartu bayar bank BNI. Aah rasanya semakin mudah dan menyenangkan menggunakan kereta api, meski masih harus berdesakan, berebut tempat dan nafas dengan sesama komuter di dalam gerbong yang tidak seharusnya menampung orang sebanyak itu, terutama di jam-jam sibuk.
Belum lama ini, sebuah perusahaan yang kemudian mengaku-ngaku sebagai anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia, Res Parking, mengeluarkan produk baru untuk menunjang fasilitas di stasiun kereta api Jabodetabek: e-parking atau parkir elektronik. Untuk dapat parkir di stasiun, kita harus memiliki kartu bayar atau kartu tiket kereta api, baik itu Commet yang dikeluarkan oleh Commuter Line, maupun kartu bayar lain seperti e-money, Brizzi, Flazz, dsb. Kartu tersebut akan kita tempel pada alat yang disediakan pada saat kita masuk ke area parkir, sehingga palang pintu akan terbuka. Pada saat keluar, kita kembali menempel kartu tersebut untuk mendebet biaya parkir dari saldo kartu kita atau kita juga tetap bisa membayar secara manual apabila saldo di kartu tidak mencukupi.
Sebenarnya metode parkir tersebut praktis dan efisien, karena selain paperless, kita juga tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayarnya, cukup didebet saja dari saldo kartu kita. Namun, ada satu hal yang mengganjal di pikiran dan dompet saya, terutama karena saya sering memanfaatkan parkir di stasiun. Pada saat sosialisasinya, Res Parking memasang spanduk di sekitar stasiun, intinya memberitahukan bahwa tidak lama lagi akan diberlakukan parkir secara elektronik, dimana pemilik kendaraan harus memiliki kartu bayar tiket jika ingin memarkir kendaraannya di stasiun. Namun di spanduk tersebut tidak ada informasi mengenai biaya parkir. Setelah berlaku pun, tidak ada informasi biaya parkirnya.
Pertama kali menggunakan e-parking tersebut, motor saya parkir selama lebih kurang 6 jam di stasiun, dengan biaya parkir Rp6.000 (enam ribu rupiah) didebet dari saldo kartu saya. Kali kedua saya parkir di stasiun, motor saya parkir selama 4 jam di stasiun, dengan biaya parkir yang sama. Naah, kali ketiga saya parkir, waktu itu saya hanya memarkir motor selama 1 jam saja, biaya parkirnya pun tetap sama, enam ribu rupiah. Karena tidak tahan, saya pun menanyakan kepada petugasnya, sebenarnya berapa biaya parkirnya. Ternyata dugaan saya terbukti, parkir berapa pun lamanya, charge nya tetap sama, enam ribu rupiah. Saya jadi berpikir, wah rugi donk kalau saya parkir hanya satu atau dua jam saja. Mengingat sebelum dikelola oleh Res Parking, biaya parkirnya adalah Rp3.000 untuk sejam pertama, Rp 1.000 untuk sejam berikutnya dan Rp6.000 untuk biaya parkir maksimal. Sementara Res Parking langsung mengenakan tarif parkir maksimal untuk service parkirnya (yang sebenarnya biasa saja karena tidak ada kanopi yang terpasang di area parkir untuk melindungi kendaraan kita dari panas maupun hujan).
Saya menyayangkan ketamakan Res Parking. Harusnya tarif parkir bisa dibuat berlapis per jam dengan nilai maksimal. Jangan ditetapkan single charge, tetapi dibuat progresif dengan tarif maksimal. Yaah, saya sih menyambut baik parkir elektronik ini, tentu saja dengan i’tikad dan tatacara yang baik, terlebih Res Parking tetap tidak memberikan ruang untuk pejalan kaki, jadi tetap saja pejalan kaki harus terganggu jalannya karena motor dan mobil berlalu lalang di stasiun pondok ranji, stasiun kebanggaan saya.
Semoga.