Tentang Mengasihani Diri Sendiri

Pernah waktu itu saya–sama Rio–sedang mengasihani salah satu kawan kami. Intinya, kasihan ya si ini harus ini, harus itu, pulang pergi naik kereta, harus nyiapin bekel dulu sebelum bekerja, dan seterusnya, dan seterusnya. Ujung-ujungnya malah kami harus mengasihani diri sendiri. Endingnya kami ketawa ngakak karena ternyata kawan yang kami kasihani itu malah lebih beruntung dari kami berdua, wkwkw, miris.

Kadang seperti itu yaa, kita sering mengasihani orang lain, namun lupa mengasihani diri sendiri. Kita lupa kalau diri sendiri juga perlu semacam apresiasi atas segala usaha, kerja keras dan pertahanan yang telah dilakukan. Diri sendiri perlu diapresiasi atas upayanya bangun pagi, kemudian bersiap-siap hingga datang ke kantor tepat waktu. Diri sendiri perlu diapresiasi atas usahanya mengumpulkan pundi-pundi tambahan di luar penghasilan utama, sekedar buat beli buku dan mainan anak, saat malam hari atau bahkan saat weekend. Diri sendiri juga perlu diapresiasi atas pertahanannya untuk tidak ikut tersulut saat dikomentarin negatif tetangga atau orang-orang terdekat: maasss kok keramiknya begini, begitu, mas kok tukangnya kemahalan, mas kok mobilnya gak ini aja, mas kok mobilnya baret-baret, mas kok wajahnya begitu kenapa gak begini aja.

Intinya diri sendiri perlu diapresiasi. Sesekali, belilah sesuatu yang memang telah didamba sejak lama. Sesekali, pergilah ke tempat yang telah diimpikan sejak lama. Atau sesekali sekedar tidak menabung dulu tidak mengapa kok, untuk berbuat baik dan berbagi kepada orang lain. Karena membahagiakan orang lain juga salah satu cara kita membahagiakan diri.

Kita boleh awas, mawas, waspada terhadap keadaan sekitar. Tapi jangan pernah lupakan diri sendiri. Self talk, self reward, self time, atau bahkan selfish sekalipun kadang diperlukan, supaya sehat jiwa dan raga: ingat, jiwanya dulu, baru raganya.

22 Januari 2022.

Gambar dari sini.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.