Tarif PPN Naik Menjadi 11%, Haruskah Pengusaha Revisi Kontrak?

SEPERTI yang telah kita ketahui, melalui pemberlakukan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pemerintah menaikkan tarif PPN secara bertahap, menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan menjadi 12% yang berlaku selambat-lambatnya Januari 2025. Meski tidak banyak, tapi kenaikan satu hingga dua persen tersebut pasti memengaruhi usaha dan dunia bisnis. Apalagi mengingat karakteristik PPN sebagai pajak atas konsumsi, yang akan terimbas langsung dari kenaikan tersebut tentu saja adalah konsumen akhir.

Untuk kontrak-kontrak yang baru (akan) ditandatangan setelah 1 April 2022 tentu kenaikan tarif PPN tidak berpengaruh ya, tinggal menyesuaikan dengan tarif baru. Lalu bagaimana dengan kontrak-kontrak lama yang sifatnya lintas tahun/multiyears, apakah perlu dilakukan penyesuaian kontrak? Misalnya kontrak konstruksi 3 tahun yang ditandatangan pada 1 Januari 2021 dan akan berakhir 31 Desember 2023, dimana di dalam kontrak sudah disebutkan bahwa tarif PPN-nya adalah 10%?

Sebagaimana kita ketahui, saat terutangnya PPN adalah saat diserahkannya barang atau jasa, atau saat diterimanya pembayaran, mana yang terjadi lebih dulu sebagaimana diatur dalam UU PPN 1984. Faktur Pajak sendiri harus diterbitkan sesuai dengan saat terutangnya PPN, atau selambat-lambatnya saat penerbitan invoice, sesuai bunyi penjelasan UU PPN 1984 juga. Naah berdasarkan kaidah tersebut, menurut pendapat saya, meskipun di kontrak disebutkan PPN 10%, pengusaha yang penyerahannya terutang PPN mulai 1 April 2022 harus menggunakan tarif 11%. Apakah harus revisi kontrak? Atau siapa yang akan menanggung kenaikan 1% nilai PPN-nya? Sebaiknya dibicarakan dengan lawan transaksi/bisnis Pengusaha.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.