Sebenarnya ada cerita sewaktu kami mengunjungi salah satu mall di Bangkok, saya lupa nama mallnya. Hanya saja di sana ada Madam Tussaud, pertunjukan patung lilin yang menampilkan tokoh-tokoh dunia yang sudah terkenal kemana-mana. Kebetulan hari itu tiketnya diskon 50%, jadi dengan harga tiket sekitar Rp200 ribu atau sekitar THB60-an, kami berhasil masuk dan berfoto-foto di dalamnya. Selain tokoh terkenal dunia seperti Obama, Jackie Chan, Justin Beiber, Lady Diana, dsb, ada juga foto Presiden Soekarno lho. Saya baru yakin bahwa Soekarno memang diakui oleh dunia sebagai orator ulung. Hanya saja, patung lilin Soekarno agak tembem, malah tembem banget. Entahlah, mungkin foto yang diberikan untuk bahan pencetakan patung memang foto Soekarno waktu pipinya lagi tembem.
Pesawat kami pulang dari Bangkok tidak langsung ke Jakarta, tetapi kami mencari tiket promo yang paling murah, ke Medan.
2. Medan
Ini adalah kali pertama saya mengunjungi Medan, waktu itu bandaranya masih di Polonia. Bandara kecil yang imigrasinya sibuk banget, sampai-sampai antriannya puanjaaaang banget. Saya pun harus rela ngantri di imigrasi, mesi harus menahan kepengen kencing. Meski berada di tengah kota, dan terkenal dengan kota terbesar nomor berapa—saya lupa—di Indonesia, Medan sebenarnya biasa saja. Tentu saja jika dibandingkan dengan Jakarta. Jalan yang tidak terlalu besar, mobil dan motor penuh sesak dengan tidak beraturan, sampah di mana-mana, dan pembangunan kota yang tidak memperhatikan lingkungan. Kami menginap di hotel di dekat Bandara.
Tidak ada yang istimewa dari jalan-jalan kami di Medan, karena toh memang kami cuma transit di sini. Kali kedua saya ke Medan, yaitu sekitar pertengahan September, baru agak istimewa, karena bandaranya sudah pindah ke Kualanamu yang wow.
Salah satu ke-khasan Medan adalah bentor-nya, alias becak motor. Becak yang ditenagai oleh motor, jadi tukangnya tidak perlu menggenjot pedal sepeda karena sudah dengan tenaga motor. Kesan saya naik bentor, ternyata tukang—kalau tidak disebut supir—bentor itu kebanyakan ugal-ugalan. Mirip seperti supir bajaj di Jakarta, bener deh! Saya saja sempat ngeri karena bentor yang kami tumpangi beberapa kali ngerem dengan jarak yang sangat dekat dari kendaraan di depannya.
Oleh-oleh dari Medan yang saya ingat betul waktu itu adalah, ketika jalan-jalan ke salah satu mall di sana, saya membeli The Enchantress di sana, hanya saja dalam versi bahasa Inggris. Dan, sampai sekarang saya baru membacanya sampai halaman 10, karena saya sudah nyerah duluan, hihi. Untungnya teman saya membeli edisi Bahasa Indonesia, jadi saya tidak begitu nyesel beli buku itu, setidaknya buat koleksi, hehe.
3. Mataram
Sekitar bulan Maret, saya mendapat tugas pekerjaan di Lombok. Meski dalam rangka dinas, rasanya kurang afdhol jika tidak sekalian jalan dan melihat-lihat. Meskipun pada prakteknya hanya melihat-lihat, karena saya kemudian tidak punya waktu buat jalan-jalan, hehe. Mataram adalah kota yang sepi, dengan jalanan kecil dan bandara bertaraf internasional, LOP (Lombok Praya). Meski bertaraf internasional, jangan heran jika banyak penduduk sekitar yang berkunjung—piknik—di bandara, karena katanya di sana, hiburannya ya bandara ini. Mall? ada, tapi tidak terlalu ramai.
gambar dari sini.
Karena urusan kantor harus diselesaikan di hotel, otomatis kami pun harus menginap di hotel yang sama dengan penyelenggaraan hotel. Kami menginap di The Santosa Villas and Resort, sebuah hotel dan resor yang lumayan mewah dengan pemandangan laut yang indah di belakangnya. Cukup jalan kaki sedikit ke belakang hotel tanpa alas kaki, kaki kita sudah bisa menyentuh pasir pantai, lembut dan menenangkan sekali. Kebetulan sore itu urusan rapat sudah selesai, dan saya menyempatkan diri berjalan-jalan di pantai itu, meski habis hujan, rasanya sangat sejuk dan membahana bisa berkeliling pantai sendirian.
gambar saya ambilkan dari situs hotel.
Saat itu ingin rasanya kabur dari urusan pekerjaan dan getting lost ke Gili Nanggu atau Gili Trawangan. Hanya saja, rasanya tidak etis membiarkan bos saya sendirian menyelesaikan urusan kantor, maka saya pun harus tetap tinggal di tempat, haha. Bayangkan saja kita berada di tempat super eksotis, di mana cukup dengan menyeberang satu atau dua jam bisa kita temukan pantai atau pulau yang indah, tapi kita tidak bisa melakukan apa-apa selain berdiam diri dan pasrah, rasanyaa ….
Tapi tidak mengapa, mungkin itu jadi PR buat saya agar lain kali bisa mengunjungi Lombok murni untuk jalan-jalan, hehe, amin.
Selesai urusan kantor, bisa jalan-jalan? Bisa. Jalan dari hotel ke bandara untuk pulang, haha. oleh-oleh dari Mataram, makanan dari rumput laut dan sejenisnya yang khas.
4. Bandar Lampung
Saya baru mau menonton film di pesawat yang saya tumpangi ketika tiba-tiba pramugari mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat. Hah? Apa-apaan ini? baru mau mulai nonton, sudah harus turun lagi. Ternyata memang Jakarta-Bandar Lampung hanya ditempuh dalam waktu 28 menit. Sebentar banget kan, rugi bandar dah ah bayar tiket pesawat mahal-mahal, haha.
Bandar Lampung sebenarnya bisa ditempuh dengan kapal feri dalam waktu yang tidak terlalu lama dan ongkos yang lumayan murah. Hanya saja karena memang kami disediakan tiket pesawat, ya akhirnya naik pesawat. Meski setelah dihitung-hitung perjalanan rumah-bandara-bandar lampung-hotel memakan waktu yang mungkin sama dengan rumah-pelabuhan-lampung-hotel.
Saya baru tau lho, ternyata ada kota lain yang mengklaim pempek sebagai makanan khas-nya selain Palembang. Ya Bandar Lampung ini. Katanya pempek lampung beda dari pempek Palembang. Meski menurut lidah saya, sama saja tuh. Sebuah kota kecil, dengan kontur tanah yang berbukit-bukit. Jika kita tinggal di daerah yang lumayan tinggi, kita bisa melihat pelabuhan dan laut yang tidak terlalu jauh. Kebetulan hotel tempat kami menginap juga terletak di tempat yang agak tinggi, jadi kami bisa melihat kapal-kapal di pelabuhan.
Tidak ada yang terlalu istimewa dari perjalanan ke Lampung selain durasi naik pesawatnya yang cuma 28 menit, hehe. Semoga kapan-kapan punya kesempatan untuk berkunjung ke kota ini lagi, bukan untuk tinggal, bukan untuk menetap, hanya untuk berkunjung.
Salah satunya mengunjungi lagi baso Sonhaji yang paling terkenal di sana, yang sapinya motong sendiri setiap harinya. 🙂
—————————
akhir dari bagian 1.2