Tulisan ini telah dimuat pada Majalah Inside Tax Edisi 27
Awal Februari 2014 lalu, Kementerian Keuangan menerbitkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2014 (PMK-31). Tampaknya, PMK-31 ini mencabut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2010 (PMK-81). Tujuan PMK ini, mengatur tentang Saat Penghitungan dan Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Masukan yang Telah Dikreditkan dan Telah Diberikan Pengembalian Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mengalami Keadaan Gagal Berproduksi.
Setelah meneliti lebih saksama, terdapat perubahan yang cukup signifikan dari PMK-31 ini. Perubahannya terlihat dari aturan pembayaran kembali Pajak Masukan (PM) yang telah dikreditkan dan diminta pengembalian bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang mengalami keadaan gagal berproduksi. Perubahan ini tidak ditemukan jika dibandingkan PMK-81.
Alasan penerbitan PMK-31 adalah berdasarkan hal berikut ini.
Apabila kita cermati, Pasal 9 ayat (2) UU PPN berbunyi, Pajak Masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam masa pajak yang sama. Itu artinya, untuk mengkreditkan Pajak Masukan, PKP harus memiliki jumlah Pajak Keluaran. Lalu, apa yang terjadi jika PKP itu belum berproduksi? Menurut Pasal 9 (2a) UU PPN terdapat pengecualian, yaitu bagi PKP yang belum berproduksi berarti belum melakukan penyerahan yang terutang pajak/belum memiliki Pajak Keluaran, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan. Jadi, apabila PKP itu belum berproduksi/tidak memiliki pajak keluaran, pajak masukan yang dikreditkan sebatas barang modal saja. Hal ini tentunya sejalan dengan Pasal 9 ayat (8) huruf j UU PPN yang menyatakan Pajak Masukan atas perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi tidak dapat dikreditkan.
Tentunya, hal ini mengakibatkan SPT Masa PPN PKP tersebut menjadi lebih bayar. Pada saat PKP mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan barang modal, tidak terdapat penyerahan/pajak keluaran. Ditjen Pajak harus mengembalikan jumlah lebih bayar tersebut apabila PKP mengajukan permohonan. Sebenarnya, Pasal 9 ayat (4b) huruf f UU PPN telah mengatur, PKP yang belum berproduksi dapat meminta pengembalian kelebihan Pajak Masukan tersebut pada setiap masa pajak.
Pertanyaan yang menggelitik, sampai kapan negara harus mengembalikan kelebihan pembayaran tersebut? Apakah seterusnya sampai PKP tersebut mulai berproduksi? Pasal 9 ayat (6a) dan (6b) UU PPN kemudian mengatur
“(6a) Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh PKP dalam hal PKP tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak masa pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
(6b) Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
Dari rumusan pasal di atas maka pengkreditan Pajak Masukan atas barang modal dibatasi paling lama 3 tahun sejak PKP kali pertama mengkreditkan Pajak Masukan tersebut. Apabila setelah melewati jangka waktu 3 tahun, menurut Pasal 9 ayat (6a) UU PPN, PKP tersebut dikategorikan sebagai PKP yang mengalami keadaan gagal berproduksi. Pasal 9 ayat (6b) UU PPN merupakan dasar aturan dari PMK-81 yang kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan adanya PMK-31.
Pembahasan PMK-31
Barang Modal
UU PPN tampaknya tidak memberikan pengertian barang modal yang seperti apa yang atas perolehannya Pajak Masukannya dapat dikreditkan. Pengertian barang modal ini terlihat dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah (PP) No 1 tahun 2012. Dari pasal itu, barang modal, pada prinsipnya harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, termasuk pengeluaran berkaitan dengan perolehan barang modal yang dikapitalisasi ke dalam harga perolehan barang modal tersebut. Agaknya, Pasal 1 angka 3 PMK-31 mempertegas pengertian barang modal di atas. Dengan demikian, syarat agar Pajak Masukan-nya dapat dikreditkan, barang modalnya harus memenuhi kriteria kumulatif sebagai berikut |
a) berupa harta berwujud dengan masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun;
b) tujuan semula dari perolehan barang modal tersebut adalah tidak untuk diperjualbelikan (artinya barang modal tersebut bukanlah barang persediaan/inventory); c) termasuk di antaranya adalah pengeluaran yang berkaitan dengan perolehan barang modal yang dikapitalisasi ke barang modal tersebut. |
Keadaan Gagal Produksi |
Pasal 5 PMK-31 membedakan definisi keadaan kegagalan produksi terlihat dari kegiatan usaha utamanya sebagai produsen yang menghasilkan BKP dan/atau JKP atau tidak.
a. Dianggap sebagai produsen yang menghasilkan BKP/JKP apabila dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak kali pertama mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan: 1. penyerahan BKP, 2. penyerahan JKP, 3. ekspor BKP, 4. ekspor JKP, atau yang berasal dari hasil produksinya sendiri; b. Sedangkan, dianggap selain sebagai produsen yang menghasilkan BKP dan/atau JKP, apabila dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak kali pertama mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan: 1. penyerahan BKP, 2. penyerahan JKP, 3. ekspor BKP, atau 4. ekspor JKP. |
Pembayaran Kembali Pajak Masukan
Setelah keadaan gagal produksi terlewati, PKP harus membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian paling lambat akhir bulan berikutnya. |
Masa Revolving
Ini yang saya maksud dengan PMK nomor 31/PMK/03/2014 sedikit revolusioner. Masa revolving ini tidak dikenal di PMK nomor 81/PMK.03/2010. Penjelasan terkait masa revolving adalah:
- apabila PKP melakukan pembelian/impor barang modal setelah keadaan gagal berproduksi terlewati, Pajak Masukannya tetap dapat dikreditkan
- Pajak Masukan tersebut tetap dapat diminta pengembalian atau dilakukan kompensasi ke masa pajak berikutnya
- Apabila pajak masukan yang terjadi setelah keadaan gagal berproduksi terlewati namun tidak diminta pengembalian, tetap dapat diminta pengembalian atau dikompensasi ke masa pajak berikutnya
- Permintaan pengembalian atau kompensasi kelebihan pajak masukan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, maupun c hanya dapat dilakukan sampai dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah masa pajak keadaan gagal berproduksi telah terlewati.
- Jika setelah jangka waktu (2) tahun PKP tidak juga melakukan penyerahan dan/atau ekspor BKP dan/atau JKP yang berasal dari produksinya sendiri, maka PKP harus membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian, atau PKP tidak dapat mengkompensasi kelebihan Pajak Masukan ke masa pajak berikutnya setelah jangka waktu 2 (dua) tahun terlewati
- Selain membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian tersebut, Dirjen Pajak berwenang melakukan pemeriksaan terhadap PKP tersebut dan status PKP-nya dicabut.
Jangka waktu 2 (dua) tahun inilah yang disebut sebagai masa revolving. Maksudnya pemerintah memberikan kesempatan kedua kepada PKP untuk membuktikan apakah PKP tersebut dapat memproduksi barang dan melakukan penyerahan atau tidak. Masa revolving ini hanya berlaku bagi PKP yang memproduksi BKP/JKP, tidak berlaku bagi PKP yang tidak memproduksi BKP/JKP.
Sehingga dapat diskemakan sebagai berikut:
PKP yang tidak memproduksi BKP/JKP
Januari 2014
Membeli barang modal dengan PM Rp70 juta
|
Maret 2014 | Januari 2015
|
Februari 2015 | Maret 2015 | April 2015 | |
PT ABC | SPT Masa PPN
Lebih Bayar Restitusi Rp70 juta |
– | PKP belum juga melakukan penyerahan |
PKP harus membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian
|
– | – |
PT XYZ
|
SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi ke Masa Pajak berikutnya |
Kelebihan Pajak Masukan baru direstitusi di masa ini
|
PKP belum juga melakukan penyerahan | s.d.a | – | – |
PT JKL |
PKP tidak mengkreditkan PM Rp70 juta di masa ini |
SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi Rp 70 juta |
– | – |
PKP belum juga melakukan penyerahan |
PKP harus membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian |
Keadaan Gagal Berproduksi bagi PT ABC dan PT XYZ
|
Keadaan Gagal Berproduksi bagi PT JKL |
PKP yang memproduksi BKP/JKP
Januari 2014
Membeli mesin dengan PM Rp70 juta |
Maret 2014 | Januari 2017
|
Februari 2017
PKP kembali membeli mesin dengan PM Rp 25 juta
|
Maret 2017 | April 2017 | Februari 2019 | Maret 2019 | |
PT ABC | SPT Masa PPN
Lebih Bayar Restitusi Rp70 juta |
– | PKP belum juga melakukan penyerahan BKP/JKP produksi sendiri |
PKP harus membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian
Pada masa ini juga PKP melaporkan SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi Rp25 juta
|
– | – | PKP belum juga melakukan penyerahan BKP/JKP produksi sendiri | PKP harus membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian
dan status PKP nya dicabut |
PT XYZ | SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi ke Masa Pajak berikutnya | Kelebihan Pajak Masukan baru direstitusi di masa ini |
PKP belum juga melakukan penyerahan BKP/JKP produksi sendiri
|
s.d.a | – | s.d.a | s.d.a | |
PT JKL | PKP tidak mengkreditkan PM Rp70 juta di masa ini | SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi Rp 70 juta | – | SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi Rp25 juta |
PKP belum juga melakukan penyerahan BKP/JKP produksi sendiri |
PKP harus membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian |
PKP belum juga melakukan penyerahan |
PKP harus membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian
Dan Status PKP-nya dicabut
|
Keadaan Gagal Berproduksi PT ABC dan PT XYZ
|
Keadaan Gagal berproduksi PT JKL |
Masa revolving bagi PT ABC, PT XYZ, dan PT JKL |
Bencana Alam Penyebab Keadaan Gagal Berproduksi
Apabila bencana alam atau keadaan lain di luar kekuasaan PKP (kahar/force majeure) sebagai penyebab keadaan gagal berproduksi, PKP tidak wajib membayar kembali pajak masukan yang telah dikembalikan tersebut. Adapun, bentuk bencana alam atau keadaan kahar meliputi peperangan, kerusuhan, revolusi, pemogokan, kebakaran, dan bencana lainnya yang harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang. |
Celah Tersembunyi PMK-31
Setelah mencermati PMK-31, terlihat PMK ini tidak luput dari kesalahan. Pasal 5 PMK ini hanya menyebutkan hal berikut. |
- suatu keadaan bagi PKP yang kegiatan usaha utamanya sebagai produsen yang menghasilkan BKP dan/atau JKP, apabila dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:
- penyerahan BKP;
- penyerahan JKP;
- ekspor BKP;
- ekspor JKP; atau
yang berasal dari hasil produksinya sendiri
- suatu keadaan bagi PKP yang kegiatan usaha utamanya selain sebagai produsen yang menghasilkan BKP dan/atau JKP, apabila dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:
- penyerahan BKP;
- penyerahan JKP;
- ekspor BKP; atau
- ekspor JKP.
Nyatanya, pasal 5 ini tergambarkan kegiatan tidak melakukan penyerahan secara berulang-ulang. Pasal 1A ayat (1) UU PPN jo Pasal 5 PP No. 1/2012 tercantum definisi penyerahan sendiri, diantaranya, a.. b.. … f.. Kelihatannya perumus PMK-31 lalai dengan istilah pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP/JKP termasuk sebagai pengertian penyerahan. Dengan adanya kelalaian ini, memberikan celah kepada PKP untuk memanfaatkannya. Hal ini tampak ketika dalam jangka waktu: |
– 1 tahun bagi PKP yang tidak memproduksi BKP/JKP, atau
– 3 tahun bagi PKP yang memproduksi BKP/JKP; Kedua PKP tersebut melakukan pemakaian sendiri atas BKP/JKP atau melakukan pemberian secara cuma-cuma, maka PKP tersebut tidak dianggap gagal berproduksi, sehingga tidak perlu membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian. |
Sehingga skema di atas akan berubah menjadi sbb:
PKP yang tidak memproduksi BKP/JKP
Januari 2014
Membeli barang modal dengan PM Rp70 juta
|
Maret 2014 | Januari 2015
|
Februari 2015 | Maret 2015 | April 2015 | |
PT ABC | SPT Masa PPN
Lebih Bayar Restitusi Rp70 juta |
– |
PKP belum juga melakukan penyerahan, namun PKP melakukan pemakaian sendiri BKP
|
PKP tidak perlu membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian | – | – |
PT XYZ | SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi ke Masa Pajak berikutnya | Kelebihan Pajak Masukan baru direstitusi di masa ini |
PKP belum juga melakukan penyerahan, namun PKP melakukan pemakaian sendiri BKP
|
s.d.a | – | – |
PT JKL | PKP tidak mengkreditkan PM Rp70 juta di masa ini | SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi Rp 70 juta | – | – |
PKP belum juga melakukan penyeraha, namun PKP melakukan pemakaian sendiri BKP
|
PKP tidak perlu membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian |
Tidak Termasuk Kriteria Keadaan Gagal Berproduksi bagi PT ABC dan PT XYZ
|
Tidak Termasuk Kriteria Keadaan Gagal Berproduksi bagi PT JKL |
PKP yang memproduksi BKP/JKP
Januari 2014
Membeli mesin dengan PM Rp70 juta |
Maret 2014 | Januari 2017
|
Februari 2017
PKP kembali membeli mesin dengan PM Rp 25 juta
|
Maret 2017 | April 2017 | |
PT ABC | SPT Masa PPN
Lebih Bayar Restitusi Rp70 juta |
– | PKP belum juga melakukan penyerahan BKP/JKP produksi sendiri namun melakukan pemakaian sendiri BKP |
PKP tidak perlu membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian
Pada masa ini juga PKP melaporkan SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi Rp25 juta
|
– | – |
PT XYZ | SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi ke Masa Pajak berikutnya | Kelebihan Pajak Masukan baru direstitusi di masa ini |
PKP belum juga melakukan penyerahan BKP/JKP produksi sendiri namun melakukan pemakaian sendiri
|
s.d.a | – | |
PT JKL | PKP tidak mengkreditkan PM Rp70 juta di masa ini | SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi Rp 70 juta | – | SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi Rp25 juta |
PKP belum juga melakukan penyerahan BKP/JKP produksi sendiri namun melakukan pemakaian sendiri BKP
|
PKP tidak perlu membayar kembali Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian |
Tidak Termasuk Kriteria Keadaan Gagal Berproduksi PT ABC dan PT XYZ
|
Tidak Termasuk Kriteria Keadaan Gagal berproduksi PT JKL |
Dengan melakukan pemakaian sendiri dan membuat faktur pajak dengan kode 040, PKP terhindar dari kriteria gagal berproduksi.
Penutup
Celah yang dapat disusupi oleh PKP tampaknya terlihat dari pemberlakuan PMK-31 dengan cara menghindar dari kriteria gagal produksi. Alhasil, apabila kita perhatikan potensi kebocoran penerimaan negara disebabkan dari adanya restitusi/pengembalian kepada PKP yang tidak seharusnya mendapat pengembalian. Untuk menangkalnya, kita tunggu saja aksi perumus kebijakan itu.