Tentang Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2014

BEBERAPA tulisan saya sebelumnya banyak menyerang mengenai kelemahan dan ketidakamanatan peraturan-peraturan terkait Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP No 46 tahun 2013), diantaranya:

1. Bayar Pajak Sekarang Bisa Lewat ATM

2. PP 46, Kesederhanaan Yang Kompleks

3. Pengusaha Kecil: Dilema PP 46/2013 dan PMK 197/2013

4. Menggugat Ketidakamanatan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.011/2013

bukan karena tendensi apa-apa, tulisan-tulisan di atas murni berdasarkan pemikiran saya mengenai apa yang saya amati di lapangan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban dan untuk mengimbangi serangan-serangan tersebut, melalui tulisan ini saya akan memberitahukan kepada pembaca sekalian bahwa beberapa hari yang lalu Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-32/PJ/2014 tentang Penegasan Pelaksanaan PP 46/2013. Surat Edaran ini menjawab pertanyaan-pertanyaan yang banyak saya tulis di tulisan-tulisan saya sebelumnya.

Meskipun hanya ditegaskan melalui Surat Edaran, menurut saya itu lebih baik daripada Wajib Pajak dibiarkan mengalami kebingungan yang tidak kunjung selesai. Beberapa pertanyaan yang terjawab melalui Surat Edaran tersebut diantaranya:

1. Penghasilan Yang Dikenai PP 46/2013

Selama ini Wajib Pajak masih bertanya-tanya, penghasilan yang dikenai PP 46 apakah dari usaha utama atau juga dari usaha sampingan?. Meski sebenarnya tanpa SE-32/PJ/2014 ini pun pertanyaan tersebut sudah terjawab.

Penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan PP 46/2013 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, kecuali:

1. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud PP 46/2013

2. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri

3. penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan

4. penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak

Jadi, selama penghasilan yang diterima berasal dari kegiatan usaha (baik usaha utama maupun usaha sampingan, maupun penghasilan dari luar usaha) dan tidak termasuk 4 jenis penghasilan yang dikecualikan di atas, maka atas penghasilan tersebut dikenai pajak penghasilan berdasarkan PP 46/2013.

2. Penentuan Saat Beroperasi Komersial Wajib Pajak Badan

Pertanyaan ini juga beberapa kali saya tanyakan di tulisan-tulisan saya sebelumnya, mengingat baik PP 46/2013 maupun Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.011/2013 tidak menegaskan secara jelas mengenai pengertian saat beroperasi komersial. SE-32/PJ/2014 menjawab amanat yang tidak dilaksanakan oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.011/2013 mengenai saat beroperasi komersial, yaitu:

Saat beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan kegiatan operasi secara komersial untuk pertama kali. Bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor:

1. Jasa adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan; dan/atau

2. Dagang dan industri adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.

Saat beroperasi secara komersial yang didefinisikan oleh SE-32/PJ/2014 adalah saat pertama kali dilakukan penjualan dan/atau diperolehnya penghasilan. Definisi yang diberikan di sini, menggunakan konjungsi dan/atau yang dalam penafsiran saya, peristiwa mana yang terjadi lebih dulu, atau apabila keduanya terjadi bersamaan, maka saat itu merupakan saat beroperasi komersial terjadi.

Namun sayangnya, definisi saat beroperasi secara komersial yang diberikan oleh SE-32/PJ/2014 berbeda dengan definisi yang diberikan secara tersirat oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.011/2013. Apabila kita buka lampiran Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.011/2013, di contoh kasus nomor 5, akan terdapat kalimat:

Pada tanggal 1 November 2013 PT Andalan mulai melakukan kegiatan operasi komersial berupa produksi gula dalam kemasan.

Definisi tersirat di Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.011/2013 mengenai saat beroperasi komersial adalah saat dilakukannya produksi untuk pertama kali, bukan pertama kali dilakukannya penjualan atau diterimanya penghasilan. Kok bisa berbeda? Hanya Tuhan dan para pembuat SE-32/PJ/2014 yang tahu jawabannya.

3. Perlakuan PPh Bagi WP Badan atau Lembaga Nirlaba Yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan

Atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf m UU PPh

Dalam hal ketentuan persyaratan penanaman kembali sisa lebih tersebut tidak terpenuhi, maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek pajak yang dikenai pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum UU PPh

Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi WP Badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan mengacu pada ketentuan umum UU PPh.

Artinya, tidak menghitung pajaknya dengan menggunakan PP No 46/2013.

4. Perlakuan PPh bagi Wajib Pajak Reksa Dana

Reksa dana adalah suatu bentuk kegiatan usaha yang melakukan perhimpunan dana dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi yang dapat berbentuk perseroan atau kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud UU No 8/1995 tentang Pasar Modal

Berdasarkan definisi tersebut, aliran penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana termasuk dalam kategori penghasilan yang berasal dari usaha, sehingga apabila Wajib Pajak reksa dana memenuhi kriteria PP No 46/2013, maka Wajib Pajak reksa dana tersebut dikenai PPh final sesuai PP 46/2013 beserta ketentuan pelaksanaannya.

5. Perlakukan PPh bagi Bank / BPR / Koperasi Simpan Pinjam / Lembaga Pemberi Dana Pinjaman

Wajib Pajak Bank / BPR / Koperasi Simpan Pinjam / Lembaga Pemberi Dana Pinjaman yang penghasilannya berupa :

a) pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan pemberian kredit/pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman;

b) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia

yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 46/2013, dikenai PPh berdasarkan PP tersebut.

6. Perlakuan PPh bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Berdasarkan UU No 30/2004 tentang Jabatan Notaris dan PP No 37/1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), ditegaskan bahwa PPAT dapat dipersamakan dengan notaris sebagai orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas. Sehingga perlakuan perpajakan bagi PPAT mengacu pada ketentuan umum PPh

Demikian beberapa isi SE-32/PJ/2014 semoga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini masih menggantung mengenai PP 46/2013. Meski sekali lagi, peraturan perundangan pada dasarnya adalah buatan manusia, sehingga pasti ada kekurangan di dalamnya.

Selamat hari raya iedul adha!

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.