PP 46, Kesederhanaan yang Kompleks

Tahun 2013 yang lalu pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 46 tentang penghasilan usaha Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Pada intinya, PP tersebut mengatur untuk Wajib Pajak, baik badan maupun orang pribadi yang memiliki peredaran usaha tidak melebihi 4.8 miliar  dalam satu tahun pajak dikenai pajak penghasilan bersifat final sebesar 1% dihitung dari peredaran bruto untuk setiap bulan/masa nya. Di dalam konsideran PP tersebut secara gamblang disebutkan bahwa untuk memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak.

3d5995e5d7983f8b1a745396695ddc61

Jadi, pada dasarnya PP tersebut disusun untuk memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam menghitung PPh nya, yakni cukup dengan mengalikan 1% dari peredaran bruto yang diterima dalam suatu masa pajak. Tetapi tujuan utama yang ingin dicapai dari PP tersebut kemudian dinafikan dalam pelaksanaanya.

Salah satu sifat PPh yang bersifat final adalah selesai pada saat dipotong/dibayarkan, sehingga tidak bisa lagi diperhitungkan di akhir tahun pajak pada saat penyampaian SPT Tahunan. Sementara pada prakteknya, Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar tersebut melakukan transaksi (baik penyerahan barang maupun penyerahan jasa) dengan orang/Wajib Pajak lain, dimana atas transaksi tersebut seharusnya terutang PPh Potput,  PPh Pasal 22, maupun PPh Pasal 23.

PPh Potput itulah yang kemudian membuat kesederhanaan PP 46 menjadi sangat kompleks. Pasal 6 ayat (1) – (3) Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-107/PMK.011/2013 menyebutkan:

(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain.

(2)Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas

(3) Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak.

Kenapa saya sebut sebagai kesederhanaan tersebut menjadi kompleks? Dalam pasal 6 ayat (2) PMK tersebut disebutkan bahwa pembebasan dari pemotongan/pemungutan PPh tidak final oleh pihak lain diberikan melalui surat keterangan bebas. Sebenarnya Surat Keterangan Bebas (SKB) ini masih wajar saja mengingat pembebasan melalui SKB merupakan alat kontrol bagi DJP dalam membebaskan pemotongan/pemungutan pajak.

SKB tersebut kemudian menjadi tidak biasa ketika Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-32/PJ/2013, pada pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa :

Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan.

Mengapa tidak biasa? Memang mekanisme normalnya, SKB berlaku untuk satu kali pemotongan/pemungutan pajak. Sebut saja SKB PPh Pasal 22 impor, hanya berlaku untuk satu kali impor saja. Sedangkan SKB PP 46 ini berlaku selama tahun pajak berjalan, jadi apabila Wajib Pajak mengajukan SKB bulan Maret 2014, maka SKB tersebut akan berlaku sampai dengan Desember 2014. Nah, untuk menjaga kekonsistenan SKB yang nature nya hanya berlaku untuk satu kali transaksi, maka SKB PP 46 tersebut baru berlaku apabila dilegalisasi oleh KPP.

Di sinilah masalah kompleksitas itu kemudian muncul, karena persyaratan baik untuk mengajukan SKB maupun persyaratan untuk mengajukan legalisasi SKB yang bisa dikatakan sedikit ribet. Berikut saya uraikan satu persatu.

Persyaratan Pengajuan SKB PP 46

Sebagaimana diatur di Pasal 4 PER-32/PJ/2013, syarat pengajuan SKB PP 46 antara lain:

a. permohonan diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP

b. telah menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun sebelumnya

c. menyerahkan surat pernyataan yang menyatakan bahwa peredaran bruto yang diterima tidak melebihi 4.8 miliar disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulannya sampai dengan bulan sebelum mengajukan SKB PP 46

d. menyerahkan dokumen pendukung transaksi, misalnya Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang, atau dokumen pendukung sejenis lainnya

e. dilampiri surat kuasa khusus jika tidak ditandatangani oleh Wajib Pajak yang bersangkutan

 

Persyaratan Legalisasi SKB PP 46

Sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (1) PER-32/PJ/2013, pembebasan/pemungutan dari pemotongan PPh yang tidak final dapat dilakukan apabila Wajib Pajak menyerahkan SKB yang telah dilegalisasi, yang syarat legalisasinya adalah:

a. permohonan diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP

b. menyerahkan SSP lembar ke-3 atas PPh Pasal 4 ayat (2) atas PP 46 untuk setiap transaksi. SSP tersebut harus mendapat validasi NTPN dari bank tempat pembayaran, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 impor, pembelian BBM, BBG, dan pelumas, pembelian hasil industri semen, kertas, baja, otomotif, dan farmasi, dan pembelian kendaraan bermotor di dalam negeri

c. mengisi identitas Wajib Pajak pemotong/pemungut dan nilai transaksi pada kolom yang tertera di SKB

d. dilampiri surat kuasa khusus jika tidak ditandatangani oleh Wajib Pajak yang bersangkutan

 

Persyaratan legalisasi ini akan merepotkan Wajib Pajak karena beberapa hal, diantaranya:

1) Permohonan legalisasi harus diajukan untuk setiap transaksi. Dalam hal Wajib Pajak melakukan sebanyak 100 transaksi dalam satu masa pajak, artinya Wajib Pajak harus meminta legalisasi 100 SKB dan melakukan pembayaran PPh atas PP 46 tersebut dengan 100 SSP

2) Wajib Pajak harus melampirkan SSP PPh Final tersebut setiap akan mengajukan SKB. Artinya, PPh Final 1% tersebut seolah-olah dibayar dimuka, padahal pada saat mengajukan legalisasi tersebut transaksi–bisa jadi–belum terjadi. Apabila ternyata transaksi dibatalkan karena satu dan lain hal, Wajib Pajak harus mengurus Pemindahbukuan atau pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang.

Berdasarkan dua alasan di atas, kesederhanaan yang diusung PP 46 berubah menjadi kompleksitas yang rumit, karena merepotkan Wajib pajak dan membebani Wajib Pajak, karena Wajib Pajak harus memperbanyak sendiri SKB-nya dan membayar dengan lembar SSP, sehingga menambah biaya kepatuhan (Compliance Cost). Wikipedia menerjemahkan Compliance cost sebagai beban, baik waktu maupun uang, untuk memenuhi persyaratan yang diajukan oleh pemerintah, seperti peraturan, dalam hal ini adalah peraturan perpajakan. Sebuah studi menyatakan bahwa biaya kepatuhan akan mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak dalam menjalankan peraturan perpajakan. Semakin besar biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakan, semakin rendah kepatuhan Wajib Pajak tersebut (Edi Slamet Irianto dan Haula Rosdiana, 2012).

Di sisi lain, penghitungan pajak secara final memang menyederhanakan, tetapi membuat Wajib Pajak tidak lagi mendapatkan hak-haknya dalam menghitung pajak, misalnya hak untuk mendapatkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan hak Wajib Pajak untuk menggunakan tarif pajak secara progresif, hal ini karena sifat PPh final tersebut, yaitu tidak bisa lagi diperhitungkan di akhir tahun pajak.

Pada akhirnya, pemerintah seharusnya bisa bijak menyikapi pelaksanaan PP 46 ini, karena tujuan kesederhanaan yang ingin dicapai justru merepotkan Wajib Pajak. Semoga hal ini menjadi perhatian bagi pihak yang berkepentingan.

Semoga bermanfaat.

25 Maret 2014

 (Tulisan ini merupakan pendapat pribadi saya)
Advertisement

1 Comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.