TEMPAT dan orang-orang tertentu bagi saya adalah lorong waktu. Kampung saya, gedung sekolah SD saya, sungai di dekat rumah, rumah nenek, rumah ibu saya, bahkan nenek dan ibu saya sendiri adalah lorong waktu bagi saya. Melalui mereka seolah saya bisa melihat masa lalu saya. Di halaman rumah nenek, saya ingat betul dulu bermain gobak sodor bersama kakak dan teman-teman seusia saya terutama saat bulan purnama. Di rumah itu pula saya mengenal pahlawan-pahlawan kecil saya: power rangers, kura-kura ninja, jiban, kabuto, dll. Melihat wajah dan mata nenek, saya ingat dulu sering diajak ke pasar, kemudian dititipkan di salah satu pedagang sementara beliau berkeliling berbelanja, lalu kemudian pulangnya saya akan diajak makan lontong sayur di pojokan pasar yang becek dan bau, namun lontongnya enak.
Melalui jalan-jalan di kampung, saya ingat dulu sering berlarian di sana. Saya hafal sekali jalan kecil di samping sungai yang curam, dan biasa kami pakai untuk main prosotan. Saya ingat di sungai itu dulu sering mandi, telanjang dada dan telanjang kaki tanpa memikirkan rasa malu. Saya ingat di sungai itu setiap hari Minggu mencuci sepatu sekolah saya yang hanya satu-satunya, setelah dicuci harus saya jemur di batu besar dan saya tunggui sampai kering sambil bermain air di sungai. Pematang sawah itu adalah sejarah, tempat kami dulu biasa lewat setiap kali akan berangkat sekolah. Tak jarang salah satu diantara kami akan terperosok ke sawah yang berlumpur akibat kurang hati-hati atau karena memang pematangnya sedang licin. Sawah itu adalah saksi, tempat dulu sepulang sekolah saya bersama kakek menaiki kerbau yang sedang membajak sawah, lalu sepulang dari sawah saya akan dimarahi ibu karena mengotori baju sekolah.
Melalui rumah ibu, saya ingat sekali lemari-lemari itu dulu menjadi saksi saya bermain petak umpet bersama kakak dan adik-adik saya. Pintu-pintu itu dulu menjadi saksi tempat kami berlarian, berkejaran satu sama lain tanpa memikirkan masalah apapun. Kamar tidur itu dulu tempat kami bertiga tidur setelah lelah bermain, bahkan kamar mandi itu pun menjadi saksi, tempat kami dulu harus mengundi siapa yang akan memenuhi bak mandi itu dengan menimba air dari sumur. Melalui mata ibu saya, saya seolah bisa melihat masa kecil saya yang bahagia. Saya melihat masa lalu saya dan adik-adik saya yang ringan dan tanpa beban. Melalui mata ayah saya, saya bisa melihat daftar mainan ketika kami kecil dulu: robot-robotan dengan baterai besar yang cepat rusak, mobil-mobilan warna merah yang rodanya terus-terusan lepas, patung tentara, alat musik, sepatu kami yang berbunyi jika diinjak dan menyala jika gelap, baju kami bertiga yang senantiasa sama setiap lebaran, dan tentu saja pilus ganepo kesukaan ayah saya yang kemudian menjadi kesukaan kami semua.
Pulang kampung adalah perjalanan saya mengarungi lorong waktu. Perjalanan saya mengingat kembali masa lalu yang bagi saya itu adalah hal yang sangat indah. Lorong waktu itu kadang terbuka, kadang tertutup. Karena meski sering melihatnya, saya tidak selalu ingat masa lalu. Kadang saya harus menghadapi kenyataan masa kini. Tentang kedewasaan, tentang keuangan, tentang pendidikan. Aah seandainya hidup bisa seringan dulu …
————————————————
25 Agustus 2014