Menggugat Ketidakamanatan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013

LAGI-LAGI saya akan membahas mengenai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013, karena ternyata permasalahan terkait PP 46 ini lebih kompleks dari yang terlihat. Di tengah rame-ramenya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang merupakan keputusan atas gugatan yang dilayangkan oleh kubu calon presiden nomor urut 1, saya juga akan mencoba menggugat ketidakamanatan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 107/PMK.011/2013. Namun gugatan saya tidak akan saya tujukan kepada Mahkamah Agung, hanya lewat tulisan ini belaka :p *sadar diri*

Setiap peraturan yang dikeluarkan pemerintah seharusnya ada cantolan hukumnya. Dari peraturan terendah (setingkat peraturan yang dikeluarkan oleh pejabat eselon I) seharusnya bisa dirunut sampai kepada peraturan tingginya (undang-undang) dan peraturan tertinggi (undang-undang dasar). Artinya, aturan yang dikeluarkan pemerintah tersebut benar merupakan aturan yang diamanatkan oleh undang-undang dan undang-undang dasar. Selama ini sering kita dengar berita gugatan terhadap peraturan tertentu. Biasanya dikarenakan aturan yang dikeluarkan pemerintah tidak bisa dirunut sampai kepada aturan tingginya (undang-undang), sehingga aturan tersebut dianggap bukan amanat undang-undang. Lalu bagaimana jika ada amanat yang diberikan oleh suatu peraturan, namun tidak dilaksanakan oleh aturan di bawahnya? Apa masih tetap bisa kita gugat? Saya sendiri tidak tahu jawabannya. Yang jelas, saya akan mencoba menggugatnya melalui tulisan ini.

Willem Koninjnenbelt (dalam Salim, 2012) mengatakan bahwa salah satu unsur penting gagasan negara yang berdasarkan atas hukum / negara hukum (rechsstaat) adalah pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Dasar atau undang-undang yang diakui (wetmatigheid van bestuur). Yang artinya bahwa semua kewenangan untuk menjalankan pemerintahan atau perbuatan pemerintahan (rechsthandeling van overhead) yang diberikan kepada pemerintah harus berdasarkan undang-undang dasar atau undang-undang. Karena jika tidak, maka perbuatan pemerintahan tersebut dianggap tidak sah. Oleh karenanya akan ada tiga kemungkinan terkait hal tersebut :

a. Kewenangan pemerintahan langsung diberikan oleh pembentuk undang-undang kepada organ pemerintahan–disebut atribusi yaitu pemberian kewenangan menjalankan pemerintahan oleh pembentuk undang-undang kepada suatu organ pemerintahan

b. Kewenangan pemerintahan yang diberikan berdasarkan peraturan undang-undang dialihkan kepada suatu organ pemerintahan–disebut delegasi yaitu pelimpahan kewenangan oleh suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lain

c. suatu kewenangan organ yang dalam pelaksanaannya diberikan kepada organ lain, namun tetap dijalankan atas nama organ yang memberi perintah–disebut mandat, yaitu suatu organ pemerintahan membiarkan kewenangannya dilaksanakan oleh organ lain atas namanya.

Karena kondisi di atas lah, akan muncul peraturan lain selain peraturan undang-undang, atau dikenal sebagai peraturan kebijakan, yang dalam bahasa hukumnya dikenal sebagai legislasi semu. Legislasi semu atau perundang-undangan semu adalah tata aturan oleh organ pemerintahan yang terkait tanpa memiliki dasar ketentuan undang-undang yang secara tegas memberikan kewenangan kepada organ tersebut.

Pasal 9 PP No 46 tahun 2013 mengatakan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Berdasarkan pasal tersebut pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Apabila kita baca secara teliti bunyi pasal 9 PP No 46 tahun 2013 tersebut, ditulis di sana …. diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yang mungkin artinya adalah akan dikeluarkan PMK baru untuk mengatur hal tersebut atau menggunakan PMK yang sudah pernah diterbitkan yang mengatur mengenai hal tersebut.

Pertanyaan pertama, apakah pendelegasian dari presiden melalui PP No 46 tahun 2013 di pasal 9 kepada Menteri Keuangan tersebut merupakan legislasi semu? Saya rasa bukan. Karena jelas bahwa Menteri Keuangan diberikan mandat untuk mengatur mengenai mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial. Lalu, apa amanat tersebut dilaksanakan oleh Menteri Keuangan? Ya, sebagian saja. Memang penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh-nya diatur di PMK tersebut, namun kriteria beroperasi secara komersial (entah sengaja atau tidak) luput, tidak diatur. Tidak ada satupun kata atau kalimat, baik yang tersurat maupun tersirat di PMK tersebut yang mengatur mengenai kriteria beroperasi secara komersial. 

Pertanyaan kedua, apa ada PMK yang sudah diterbitkan sebelum-sebelumnya yang mengatur mengenai kriteria beroperasi secara komersial? Jawaban untuk pertanyaan ini pun sama, nihil.

Pertanyaan ketiga, apakah keadaan ‘beroperasi secara komersial’ merupakan keadaan yang dapat dilihat secara kasat mata sehingga tidak perlu ditentukan kriterianya? Jika keadaan ‘beroperasi secara komersial’ merupakan kondisi yang mudah ditetapkan dan dapat dilihat secara kasat mata, kenapa PP No 46 tahun 2013 memberikan tugas kepada Menteri Keuangan untuk membuat kriterianya?

Apa ini kesengajaan? Atau memang Menteri Keuangan khilaf? Saya tidak tahu. Yang jelas, pada prakteknya susah menentukan kriteria beroperasi komersial sebuah perusahaan. Jika ia adalah perusahaan manufaktur, apakah saat mulai mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi atau barang jadi bisa disebut beroperasi komersial? atau justru saat melakukan penjualan? Jika ia adalah perusahaan dagang, apakah saat membeli persediaan awal sudah disebut beroperasi komersial, atau justru saat melakukan penjualan pertama kali baru disebut beroperasi komersial? Jika ia adalah perusahaan jasa, apakah saat membeli peralatan untuk memberikan jasa sudah disebut beroperasi komersial, atau justru saat jasa itu dimanfaatkan? Jika memang susah menentukan kriteria beroperasi komersial, kenapa aturan beroperasi komersial muncul di PP 46 tahun 2013 tersebut? Lalu jika sudah terlanjur muncul dan penentuan kriterianya didelegasikan oleh perundangan kepada Menteri Keuangan, kenapa tidak dilaksanakan?

Mari kita lihat di legislasi semu di bawah PMK, mungkin diatur di Peraturan Direktur Jenderal Pajak maupun Surat Edarannya. Ternyata baik Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-32/PJ/2013 dan PER-37/PJ/2013 serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-42/PJ/2013 sama sekali tidak menyinggung mengenai kriteria beroperasi komersial. Padahal kriteria beroperasi secara komersial ini penting untuk ditentukan, mengingat :

– Tidak semua Wajib Pajak Badan yang memiliki penghasilan bruto di bawah 4,8 miliar rupiah (selanjutnya disebut Wajib Pajak) menghitung pajaknya dengan menggunakan PP Nomor 46 tahun 2013

– Wajib Pajak tersebut salah satunya adalah Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial dan Wajib Pajak badan yang sudah beroperasi secara komersial namun belum melewati jangka waktu satu tahun.

Jadi kriteria beroperasi secara komersial ini penting untuk menentukan suatu Wajib Pajak Badan menghitung pajaknya menggunakan PP 46 tahun 2013 atau tetap menggunakan tarif umum UU PPh. Dan ironisnya hal sepenting ini luput diatur oleh penyusun PMK maupun legislasi semu di bawahnya. Lalu siapa yang dibuat bingung? Wajib Pajak tentu saja.

Memang di lampiran PMK Nomor 107/PMK.011/2013 ada contoh kasus untuk WP yang baru beroperasi secara komersial. Namun contoh yang diberikan pun hanya untuk Wajib Pajak yang merupakan perusahaan manufaktur. Tidak diberikan contoh bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha dagang, apalagi jasa yang susah menentukan kapan saat beroperasi komersialnya.

Atau jika kita mau berbaik sangka kepada Menteri Keuangan, mungkin saja aturan mengenai kriteria beroperasi secara komersial tersebut belum diterbitkan, masih draft dan belum disetujui oleh Menteri Keuangan. Mungkin saja. Semoga.

 

———— referensi

1) Makalah Hukum berjudul Legislasi Semu (Pseudowetgeving) oleh Zafrullah Salim, pejabat di Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Makalah ini disampaikan dalam in house training Legal Drafting di Direktorat Jenderal Pajak pada tanggal 29 Oktober 2012

2) PP No 46 tahun 2013, PMK No 107/PMK.011/2013, Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-32/PJ/2013 dan PER-37/PJ/2013, serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-42/PJ/2013

3) Undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

5 Comments

  1. Undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah diganti dengan UU No.12 Tahun 2011 masbro

    Like

  2. Mas.. Jika ada kesalahan Isi dari PMK apakah tindakan hukum yang harus di ambil? PMK 6/PMK 010/2017 ttg penetapan sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk atas barang impor, dasar di terbitkannya PMK ini atas kesepakatan Negara ASEAN yaitu AHTN (ASEAN Harmonised Tariff
    Nomenclature).. yg mana isi PMK ini berdasarkan bahasa english yg telah disepakati ASEAN terdapat kesalahan penterjemahan yang di jadikan pedoman oleh instansi Bea Cukai

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.