BICARA bisnis tidak jauh-jauh bicara vehicle/kendaraannya. Kendaraan itu akan menentukan tingkat return yang dihasilkan. Misalnya saja apakah kita mau menggunakan CV atau PT untuk menjalankan usaha kita, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tapi kita tidak akan membahas CV atau PT di tulisan ini, kita akan membahas sesuatu yang lebih besar daripada itu.
Belum lama ini salah satu rekan saya menanyakan mengenai salah satu tugas kuliahnya, mengenai tax planning. Kira-kira begini bunyi kasusnya:
ABC adalah sebuah perusahaan produsen sepatu (industri alas kaki) yang berlokasi dan didirikan di Jepang. Selama ini perusahaan tersebut melakukan sendiri distribusi penjualannya. Pada tahun 2022, perusahaan ini berencana akan melakukan ekspansi pasar secara khusus ke Indonesia. Beberapa alternatif yang sedang dipertimbangkan oleh ABC antara lain:
- Melakukan ekspor produk jadi berupa sepatu ke Indonesia menggunakan sebuah perusahaan agen ekspor yang berada di Indonesia;
- Melakukan ekspor produk jadi dengan mendirikan cabang di Indonesia (Indonesian branch) yang akan menjual produk di Indonesia;
- Melakukan ekspor produk jadi dengan mendirikan anak usaha (subsidiary) di Indonesia yang akan menjual produk di Indonesia;
- Mendirikan cabang di Indonesia (Indonesian branch) untuk memproduksi dan menjual produk di Indonesia;
- Mendirikan anak usaha (subsidiary) di Indonesia untuk memproduksi dan menjual produk di Indonesia;
- Memberikan lisensi kepada perusahaan di Indonesia untuk memproduksi dan menjual sepatu yang diproduksi di Indonesia.
Atas alternatif tersebut di atas, CEO ABC meminta bantuan profesional Anda untuk memberikan pandangan terkait implikasi perpajakan yang mungkin timbul.
Seru kan? Yuk kita bahas satu per satu untuk setiap pilihan alternatif di atas.
Opsi 1:
Melakukan ekspor produk jadi berupa sepatu ke Indonesia menggunakan sebuah perusahaan agen ekspor yang berada di Indonesia
Apabila ABC memilih alternatif ini, artinya ABC tidak perlu repot-repot mendirikan perusahaan atau membuat BUT di Indonesia. ABC hanya perlu menunjuk pihak lain sebagai agen ekspor di Indonesia, sebut saja PT XYZ. PT XYZ yang akan menjalankan peran sebagai agen/distributor produk ABC. PT XYZ akan mengimpor produk-produk ABC dan mendistribusikannya di Indonesia. Apabila pilihan ini diambil, tidak ada aspek pajak yang secara khusus ditanggung oleh ABC. Mungkin terdapat kebijakan terkait pembatasan impor produk-produk tertentu yang perlu dipertimbangkan oleh ABC. Namun apabila tidak ada kebijakan semacam itu, yang perlu menjadi concern ABC hanya terkait berapa bagi hasil yang layak baik untuk ABC maupun untuk PT XYZ.
Katakanlah selama 2022 ABC mengimpor produk sepatu senilai Rp150 juta (termasuk margin laba 20%), PT XYZ menjualnya kembali dengan mengambil margin 20%, atau senilai Rp180 juta. PT XYZ mengeluarkan beban operasi sebesar Rp10 juta. Maka aspek pajaknya dapat digambarkan sebagai berikut:
Uraian | ABC | PT XYZ |
Penjualan | Rp150 juta | Rp180 juta |
HPP | – | Rp150 juta |
Laba kotor | – | Rp30 juta |
Beban operasi | – | Rp10 juta |
Laba bersih | – | Rp20 juta |
PPN Impor (PM) | Rp15 juta (10% x Rp150 juta) | |
PPN atas penyerahan lokal | Rp18 juta (10% x Rp180 juta) | |
PPN disetor ke kas negara | Rp3 juta | |
PPh (20%) | Rp4 juta (20% x Rp20 juta) |
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa ABC tidak banyak terpengaruh. ABC cuma perlu memitigasi harga jualnya kepada PT XYZ untuk memberikan tingkat laba yang optimal. Dari skema di atas dapat dilihat bahwa ABC memperoleh laba sebesar 20% atau sebesar (20/120 x Rp150 juta = Rp25 juta). Pajak-pajak yang diterima negara dengan skema di atas diketahui sebesar Rp7 juta yang terdiri dari setoran PPN dan PPh Badan.
Opsi 2:
Melakukan ekspor produk jadi dengan mendirikan cabang di Indonesia (Indonesian branch) yang akan menjual produk di Indonesia;
Apabila ABC berencana mendirikan cabang di Indonesia, ABC perlu mempertimbangkan ketentuan mengenai permanent establishment (PE) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Saat ini berlaku Peraturan Menteri Keuangan nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap. Selain itu ABC juga perlu mempertimbangkan ketentuan mengenai BUT yang diatur di Tax Treaty antara Indonesia dengan Jepang.
Dalam hal pilihan ini diambil, maka BUT ABC perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan membayar pajak selayaknya Wajib Pajak badan dalam negeri di Indonesia. Berbeda dari opsi sebelumnya, opsi ini ABC menjadi penanggung pajak. Apabila diasumsikan ABC mengambil margin laba 20% dari setiap penjualan sepatunya, maka dapat digambarkan:
Uraian | ABC (Jepang) | BUT ABC |
Penjualan | Rp125 juta | Rp150 juta |
HPP | – | Rp125 juta |
Laba kotor | – | Rp25 juta |
Beban operasi | – | Rp10 juta |
Laba bersih | – | Rp15 juta |
PPN Impor (PM) | Rp12,5 juta (10% x Rp125 juta) | |
PPN atas penyerahan lokal | Rp15 juta (10% x Rp150 juta) | |
PPN disetor ke kas negara | Rp2,5 juta | |
PPh (20%) | Rp3 juta (20% x Rp15 juta) |
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dengan skema ini memberikan ABC tingkat laba bersih sebesar Rp15 juta. Apabila atas laba bersih tersebut dipotong kembali PPh Pasal 26 ayat (4)–biasa dikenal sebagai branch profit tax sebesar 20%—maka arus kas bersih yang akan diterima oleh ABC sebesar Rp9,6 juta. Sehingga pajak-pajak yang akan diterima negara sebesar Rp7,9 juta.
Opsi 3:
Melakukan ekspor produk jadi dengan mendirikan anak usaha (subsidiary) di Indonesia yang akan menjual produk di Indonesia;
Apabila opsi ini diambil, ABC perlu merencanakan pendirian PT ABC di Indonesia sebagai perusahaan penanaman modal asing (PT PMA). Terhadap PT PMA tersebut berlaku ketentuan perpajakan sebagaimana perusahaan Indonesia lainnya. Namun untuk opsi ini tentu ABC akan mengeluarkan biaya ekstra terkait perizinan dan pendirian perusahaan PMA tersebut (misalnya saja Rp5 juta). Di sisi lain, ABC juga perlu memperhatikan efektivitas pendirian PT PMA ini yang hanya akan berfungsi sebagai distributor.
Dengan opsi yang sama dapat diilustrasikan:
Uraian | ABC (Jepang) | PT ABC |
Penjualan | Rp125 juta | Rp150 juta |
HPP | – | Rp125 juta |
Laba kotor | – | Rp25 juta |
Beban operasi (termasuk biaya pendirian PT) | – | Rp15 juta |
Laba bersih | – | Rp10 juta |
PPN Impor (PM) | Rp12,5 juta (10% x Rp125 juta) | |
PPN atas penyerahan lokal | Rp15 juta (10% x Rp150 juta) | |
PPN disetor ke kas negara | Rp2,5 juta | |
PPh (20%) | Rp2 juta (20% x Rp10 juta) |
Dari tabel di atas, apabila opsi ini dipilih ABC akan mencatat laba usaha sebesar Rp10 juta, dipotong PPh badan dan PPh Pasal 26 atas dividen tersisa Rp6,4 juta. Total pajak-pajak yang disetor ke kas negara sebesar Rp6.1 juta.
Opsi 4:
Mendirikan cabang di Indonesia (Indonesian branch) untuk memproduksi dan menjual produk di Indonesia;
Opsi seperti ini pada dasarnya jarang diambil oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Karena mendirikan cabang namun menjalankan fungsi manufaktur. Apabila opsi ini diambil, maka ABC perlu mempertimbangkan pendirian BUT di Indonesia.
Yang membedakan aspek pajak pada BUT dibandingkan perusahaan badan dalam negeri diantaranya terkait penentuan penghasilan BUT sebagaimana diatur di Pasal 5 UU PPh. Oleh karenanya dikenal istilah force of attraction, atribution rule dan effectively connected.
Apabila opsi ini diambil, maka gambarannya akan sama dengan opsi sebelumnya. Bedanya, pada opsi ini ABC tidak perlu menanamkan saham (meski pada kenyataannya ABC tetap perlu membeli mesin-mesin, mempersiapkan pabrik, dll).
Opsi 5:
Mendirikan anak usaha (subsidiary) di Indonesia untuk memproduksi dan menjual produk di Indonesia;
Masih sama dengan opsi no 3, hanya saja pada opsi ini, PT PMA yang didirikan tidak hanya berfungsi sebagai distributor, melainkan juga menjalankan fungsi sebagai manufaktur. Sebagaimana kita ketahui, manufaktur memiliki fungsi, aset dan risiko yang lebih tinggi dari sekedar distributor, sehingga sudah selayaknya mendapatkan remunerasi yang lebih besar.
Untuk opsi ini maka kontribusi ABC sebatas setoran modal pada saat pendirian PT ABC. Dengan asumsi yang sama dapat diilustrasikan:
Uraian | PT ABC |
Penjualan | Rp150 juta |
HPP (sama seperti ilustrasi sebelumnya) | Rp125 juta |
Laba kotor | Rp25 juta |
Biaya usaha (termasuk biaya pendirian PT) | Rp15 juta |
Laba bersih | Rp10 juta |
PPN atas pembelian (PM–diasumsikan sama) | Rp12,5 juta |
PPN atas penjualan (PK) | Rp15 juta |
PPN disetor ke kas negara | Rp2,5 juta |
PPh (20%) | Rp2 juta |
Dari tabel di atas opsi ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan opsi sebelumnya. Hanya saja tentu pada kenyataannya tingkat efisiensi biaya PT PMA tersebut akan menentukan tingkat laba yang dihasilkan ABC. Dengan ilustrasi di atas dapat diketahui bahwa opsi ini akan memberikan tingkat laba sebesar Rp10 juta, dipotong PPh badan dan PPh Pasal 26 atas dividen tersisa Rp6,4 juta. Total pajak-pajak yang disetor ke kas negara sebesar Rp6.1 juta.
Opsi 6:
Memberikan lisensi kepada perusahaan di Indonesia untuk memproduksi dan menjual sepatu yang diproduksi di Indonesia.
Pada studi mengenai transfer pricing dikenal salah satu karakterikstik usaha manufaktur adalah licensed manufacturer, yakni manufaktur yang memproduksi suatu barang jadi berdasarkan lisensi yang diberikan oleh pemilik merk kepada manufaktur tersebut. Dengan cara ini, ABC tidak perlu repot-repot mendirikan perusahaan atau BUT di Indonesia, cukup membuat kontrak lisensi dengan perusahaan di Indonesia dan ABC akan mencatat penghasilan dari royalti atas penggunaan merk tersebut.
Katakanlah royalti ditentukan 5% dari peredaran bruto, maka dapat diilustrasikan:
Uraian | ABC (Jepang) | PT di Indonesia |
Penjualan/Penghasilan royalti | Rp7,5 juta | Rp150 juta |
HPP | – | Rp125 juta |
Laba kotor | – | Rp25 juta |
Beban operasi (termasuk biaya pendirian PT) | – | Rp15 juta |
Laba bersih | – | Rp10 juta |
PPN Impor (PM) | Rp12,5 juta (10% x Rp125 juta) | |
PPN atas penyerahan lokal | Rp15 juta (10% x Rp150 juta) | |
PPN disetor ke kas negara | Rp2,5 juta | |
PPh (20%) | Rp2 juta (20% x Rp10 juta) |
Dari tabel di atas diketahui ABC akan mendapatkan remunerasi sebesar Rp7.5 juta dipotong PPh Pasal 26 sebesar Rp6 juta. Pajak-pajak yang diterima negara secara total sebesar Rp6 juta.
Dari ilustrasi-ilustrasi di atas dapat diringkas sebagai berikut:
Opsi | Laba ABC (bruto) | Laba ABC (setelah pajak) | Total Pajak Disetor ke Negara | Perlu Setoran Modal | Keterangan |
1 | Rp25 juta | Rp25 juta | Rp7 juta | Tidak | Bagi ABC opsi ini effortless |
2 | Rp15 juta | Rp9,6 juta | Rp7.9 juta | Tidak | Perlu effort mendirikan BUT |
3 | Rp10 juta | Rp6.4 juta | Rp6.1 juta | Ya | Perlu effort mendirikan PT PMA di Indonesia |
4 | Rp10 juta | Rp6,4 juta | Rp6,1 juta | Tidak, namun perlu membeli mesin, mempersiapkan pabrik, dll | Perlu effort mendirikan BUT manufaktur |
5 | Rp10 juta | Rp6,4 juta | Rp6,1 juta | Ya | Perlu effort mendirikan PT PMA di Indonesia |
6 | Rp7.5 juta | Rp6 juta | Rp6 juta | Tidak | Effortless. |
Dari tabel di atas dapat disimpulkan, bagi ABC opsi yang paling menguntungkan adalah opsi pertama. Sedangkan bagi negara, opsi yang paling menguntungkan adalah opsi kedua.
Yang perlu diperhatikan, ilustrasi di atas didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu yang bisa jadi berbeda dengan keadaan yang akan dihadapi oleh ABC sebenarnya.
Semoga bermanfaat.
Gambar dari sini.