BELUM lama ini saya dapat peringatan dari WordPress–tempat dimana saya menanam blog saya ini–mengenai perpanjangan sewa–kalau tidak bisa disebut beli–domain nasikhudinisme.com. Alih-alih memperpanjang sewanya, saya justru tersindir. Seolah-olah WordPress ingin mengatakan kepada saya “hei, sudah sudah lama lho kamu tidak menulis!” Tulisan terakhir saya lihat bulan November tahun 2020, beberapa bulan yang lalu.
Sejak SMP saya sudah senang menulis, bahkan pernah sangat menggebu-gebu memiliki cita-cita menjadi penulis buku. Iya, buku yang dicetak salinan keras (hardcopy). Saking pengennya menerbitkan buku, saya pernah mencetak buku saya sendiri, hanya 1 (satu) eksemplar dengan biaya yang cukup lumayan (tau kan konsep biaya di dunia percetakan bagaimana, semakin sedikit yang kita cetak, akan semakin mahal).
Sewaktu SMA saya pernah bergabung menjadi anggota redaksi koran lokal. Jadi koran tersebut punya rubrik remaja yang terbit setiap hari Kamis. Meski tidak resmi (karena seolah-olah direkrut namun tidak sepenuhnya direkrut) saya cukup bahagia. Beberapa puisi dan tulisan saya berhasil nongol di koran lokal tersebut.
Saat kuliah saya pernah menerbitkan antologi puisi bersama beberapa orang teman dekat, itu pun karena ada satu orang sahabat yang juga ngebet ingin menerbitkan buku. Namun lucunya antologi puisi tersebut dicetak dengan printer rumahan, kertasnya dipotong dengan cutter dan dijilid di tempat fotokopian. Kalau terkena air tintanya luntur yang membuat bukunya terlihat jelek. Sedih.
Setelah bekerja saya punya kemewahan terhadap komputer dan jaringan internet. Saya mulai mengenal blog. Dimulailah karir menulis saya sejak saat itu. Mulai dari blog alay yang isinya puisi-puisi tak bermakna, blog perjalanan–lebih banyak perjalanan kehidupan daripada perjalanan fisik, dan terakhir blog yang ini, blog pajak. Pernah punya blog alay–mungkin Anda juga pernah punya–yang kalau diklik ada lagu pengantarnya (waktu itu saya pilih lagunya Kenny G) serta kalau kursornya digerakkan ada bintang-bintang berjatuhan. Iya, saya pernah sealay itu. Namun saya senang mengenangnya, karena dari hal itulah saya belajar banyak tentang menulis blog.
Sering saya mendapat komentar dari orang-orang (baik kenal dekat maupun sekeda kenal); katanya tulisan saya ‘bergizi’ dan saya harus melanjutkan menulis. Atasan di kantor pun tak jarang yang memuji hasil kerjaan saya, katanya kalau saya membuat konsep surat atau naskah dinas kalimatnya lugas dan mudah dimengerti. Pujian lain menyadarkan saya bahwa saya tidak boleh menyia-nyiakan bakat menulis ini.
Namun saya pun pernah merasa gagal. Pernah saya mencoba menulis untuk koran besar sekelas Bisnis Indonesia atau Kompas. Tapi email saya tidak pernah berbalas. Pernah juga saya mencoba menulis untuk majalah pajak yang berkantor sama dengan kantor tempat saya bekerja, namun email saya pun tak kunjung dibalas.
Lalu saya mencoba peruntungan di tempat lain. Saya kirim tulisan ke majalah yang pada waktu itu bahkan saya baru tau majalah itu ada, ternyata tulisan saya lolos. Meski editornya sering sekali memotong jumlah halaman tulisan saya menjadi setengahnya, nyatanya lebih dari lima belas kali saya menulis untuk majalah tersebut dan selalu dimuat. Aaah diterima atau tidaknya tulisan kita memang kadang menjadi misteri.
Pernah juga saya bergabung dengan redaksi tabloid internal kantor, meski tidak lama. Seringnya tulisan saya diedit cukup banyak oleh editor, namun saya justru sedih karena maksud awal tulisan saya menjadi tidak tersampaikan dengan baik. Memang sih, editor pasti paham tata cara penulisan dan penggunaan kata/kalimat sesuai tesaurus, namun menurut saya editor akan lebih baik jika dia juga paham materi tulisannya. Setelah itu saya berhenti menulis di situ.
Saya selalu kembali ke blog ini, tempat dimana saya bebas menuliskan apa saja tanpa batasan. Bahkan jika tulisan saya berisi kritikan.
Saya pernah sangat semangat menulis sampai saya menargetkan dalam sebulan harus ada tulisan saya yang terbit di majalah berbayar. Karena pada waktu itu orientasi menulis saya tidak lain dan tidak bukan adalah karena upahnya. Saya membutuhkan upah tersebut untuk melunasi cicilan laptop saya pada waktu itu hihi. Alhamdulillah, setahun kemudian lunas dan semuanya saya bayar dengan upah menulis tanpa mengganggu gugat gaji bulanan.
Namun saya juga pernah tiba di satu titik dimana saya lelah menulis. Saya sama sekali tidak berhasrat menulis. Baik di blog maupun majalah. Seiring berjalannya waktu, saya sadar bahwa menulis sebaiknya dijadikan kebutuhan, bukan kewajiban. Saya butuh menulis, makanya saya menulis. Meski ternyata ada efek buruknya juga. Saya lebih sering merasa tidak butuh daripada butuh menulis. Jadilah kondisi seperti sekarang ini: saya lebih banyak tidak menulisnya daripada menulis sampai-sampai harus disindir oleh tagihan domain dari WordPress.
Maafkan saya. Namun saya masih tetap cinta menulis. Saya masih sangat ingin menerbitkan buku saya sendiri. Jika buku saya sudah terpajang di toko buku, rasanya semua cita-cita saya telah tercapai.
Saya sangat mensyukuri kegigihan saya menulis selama beberapa tahun ini. Karena saya dapat banyak berkah dari tulisan-tulisan saya. Bisa membeli laptop yang proper untuk saya menulis adalah salah satunya. Berkah yang lain, tulisan saya banyak dibaca orang dan membuat orang lain mengerti–terutama tentang pajak. Tak jarang saya mendapatkan pesan pribadi (melalui email atau media sosial saya), orang-orang mengajak diskusi mengenai tulisan saya. Tidak jarang pula saya sering menemui nama saya di kutipan tulisan orang, atau bahkan dikutip di skripsi/tesis/jurnal. Saya langsung jumawa.
Lalu berdatangan kesempatan lain: mengajar.
Meski telah saya sadari cukup lama, belakangan saya makin yakin bahwa selain menulis saya juga senang mengajar. Intinya saya senang berbagi pengetahuan. Banyak kesempatan mengajar berdatangan, baik internal kantor maupun dengan pihak eksternal. Saya mengajar di beberapa kampus, salah satunya almamater saya sendiri. Dengan mengajar, saya bertemu banyak orang baru. Saya berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang dan motivasi yang berbeda. Saat berinteraksi itulah saya tidak hanya sedang mengajar, tetapi juga belajar dari orang lain.
Sayangnya selalu ada tradeoff. Semakin banyak saya mengajar, semakin sedikit saya menulis.
Inti tulisan ini adalah saya akan tetap menulis, apapun yang terjadi. Bahkan saya berencana lebih disiplin lagi di tahun ini. Mungkin saya akan membuat hari khusus menulis (misalnya di hari tertentu atau di tanggal tertentu), hari khusus mengajar, dan hari khusus membuat konten YouTube. Saya merasa membaca, memahami sesuatu, kemudian menyampaikannya kembali kepada orang lain –baik melalui tulisan maupun media lain– adalah salah satu cara saya menjadi mahluk yang berguna.
Karena jika kita lahir namun tiada guna, buat apa?
Salam.
Hallo mas,
Salam kenal,
Saya ingin bertanya apakah atas transaksi pembelian/menyewa atas Domain, Hosting dan/atau Sertifikat SSL termasuk dalam pengertian “SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN”
terima kasih,
Frangky
LikeLike
Hali Pak Frangky. Definisi sewa di UU PPh (meskipun tidak disebutkan dengan jelas), pada dasarnya mengikuti definisi sewa secara umum. Apabila pesewa (pemilik aset) mencatat aset terkait tersebut kemudian setelah disewakan mencatat penghasilan sehubungan dengan aktivitas penyewaan hosting, maka hal tsb tetap memenuhi kaidah sewa yang dimaksud UU PPh.
Setau saya hosting itu tidak dijual ya, karena pembeli/penyewa harus memperpanjang pembeliannya setelah jangka waktu tertentu. Maka dalam hal ini saya lebih cenderung meletakkan penjualan hosting tsb sebagai aktivitas sewa, bukan jual beli secara umum.
mudah-mudahan menjawab.
LikeLike