FIKSI bagi saya tetaplah fiksi, seilmiah apapun fiksi itu dibuat. Saya membaca dan menonton film fiksi sains, beberapa diantaranya adalah fiksi sejarah. Buku-buku Dan Brown banyak memberikan saya gambaran mengenai bagaimana seseorang terinspirasi secara fiksi dari catatan dan kejadian sejarah: bahkan dari kitab suci. Dulu saat pertama kali mengenal fiksi dengan jenis ini saya sangat takjub, meskipun sebenarnya itu adalah hal yang biasa. Sebagai seorang praktisi pajak, saya pernah terpikir untuk menulis fiksi pajak, yang dari namanya saja sepertinya sudah tidak menarik, haha.
Anthony Capella menulis The Various Flavours of Coffee dengan sangat apik, bahkan bisa dibilang sangat apik. Karena Capella mengkombinasikan banyak (atau bahkan sangat banyak) disiplin ilmu dalam novel ini. Sesuai dengan judulnya, Capella mengkombinasikan ilmu mengenai kopi–terutama mengenai cita rasa, bau-bauan dan warna–dengan ilmu akuntansi keuangan, kedokteran, sastra, ekonomi, pajak, marketing, politik, sejarah Inggris-Amerika-Brasil, ilmu biologi, fisika, bahkan takhayul pedalaman Afrika dan seksologi. Benar-benar buku yang sangat lengkap.
Saya baru benar-benar memahami arti kata ‘sinestisia’ di buku ini. Bagaimana rasa dan bau bertukar tempat dan dijadikan pengibaratan sesuatu. Aah saya sudah jatuh cinta pada novel ini bahkan sejak saya membelinya pertama kali di pameran buku murah di sebuah mal di Jakarta.
Adalah Robert Wallis, seorang penyair pengangguran yang masih meminta uang dari ayahnya untuk membiayai hidpnya. Sebagai seorang penganggur, Wallis senang nongkrong di cafe sekedar untuk meminum kopi. Gara-gara pertengkaran kecilnya dengan pelayan kafe (saat itu Wallis mengatakan bahwa kopi yang disajikan untuknya berbau seperti karat), Wallis dipekerjakan oleh Pinker, pemilik perusahaan besar Pinker’s yang bergerak dalam perdagangan kopi. Wallis diminta Pinker untuk membuat sebuah pedoman dalam menikmati kopi. Mulai dari mengidentifikasi aroma, rasa, dan ciri khas masing-masing kopi, hingga menuliskan karakteristiknya. Wallis diasisteni oleh anak Pinker sendiri: Emily. Maka tersusunlah pedoman Wallis-Pinker yang dicetak dan dijadikan acuan dalam bisnis kopi. Meski jauh dari profesinya sebagai penyair, Wallis menikmati pekerjaannya dari Pinker karena tentu saja karena Wallis bisa berdekatan dengan Emily.
Wallis yang nakal, banyak menghabiskan penghasilannya untuk pelacuran. Mencintai Emily adalah satu hal, tetapi bermain seks dengan para pelacur merupakan kenikmatan tersendiri bagi Wallis. Singkat cerita, Robert berhasrat menikahi Emily, dan untuk meloloskan keinginan ini, Pinker memperbolehkan Wallis mengawini Emily: dengan syarat mau melakukan perjalanan ke Afrika selama 4-5 tahun dan menanam kebun kopi di pedalaman Afrika.
Perjalanan ke pedalaman Afrika ternyata menjadi cerita tersendiri yang memakan lebih dari separuh dari cerita di novel ini. Wallis bersama-sama dengan Hector–yang di kemudian hari ternyata diketahui sebagai mantan kekasih Emily–bertemu dengan banyak orang, salah satunya Ibrahim Bey yang mengaku sebagai pemasok kopi untuk Pinker’s namun tak lebih hanyalah penyair yang juga seorang penipu dan pemelet (orang yang melakukan pelet kepada orang lain, dan Wallis menjadi salah satu korbannya). Wallis bertemu dengan suku pedalaman Afrika yang para wanita-nya bebas berhubungan seksual dengan siapa saja, dan mereka memakan kopi dari kopi yang tumbuh secara liar. Wallis bersama Hector bermaksud membudidayakan kopi di tengah-tengah suku tersebut.
Adalah Fikre, seorang gadis kulit hitam, yang mempesona. Dan mempermainkan Wallis dengan pelet cintanya. Wallis dan Pinker yang seorang budak harus melakukan perbuatan mesumnya secara diam-diam, menghindari kecurigaan majikannya: Bey yang mengaku bahwa Fikre adalah budak yang dibeli dengan harga sangat mahal karena keperawanannya. Ternyata Wallis salah dalam hal ini, karena dia hanya diguna-guna dan ditipu oleh Bey yang bersekongkol dengan Pinker.
Emily adalah seorang gadis yang memperjuangkan kebebasan bagi kaum wanita di Inggris kala itu. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang wanita yang sama-sama membayar pajak kepada negara, tidak diberikan hak suara dalam politik. Emily adalah tokoh pergerakan wanita kala itu, dan kepadanyalah Wallis jatuh cinta.
Kisah cinta antara Wallis dan Emily yang jatuh bangun menjadi fokus utama cerita novel ini. Dan untuk mempertebal benang merahnya Capella menggabungkan dengan ilmu tentang kopi: bagaimana Wallis menyusun Pedoman, ilmu tentang akuntansi: bagaimana Pinker’s menjadi pelopor dalam penjualan obligasi dan melakukan hedging atas kontrak penjualan kopi di masa depan. Juga ilmu tentang kedokteran: bagaimana Emily harus berjuang mengobati penyakit histeria-nya, ilmu tentang politik, bursa efek, dst. Dan di beberapa bagian di novel ini diselipi dengan cerita erotis Wallis bercinta dengan pelacur dan Fikre.
Saya menyebutnya sebagai novel super lengkap. Dan terus terang saya terkesan. Jangan lewatkan novel ini ya!