KALAU dihitung-hitung, koleksi buku saya hingga saat ini mungkin mencapai lebih dari 350 judul yang merupakan koleksi saya sejak SMA sehingga sekarang (yaelaah sehingga … 😀). Bukan jumlah yang banyak, namun tidak juga sedikit karena saya harus menyediakan space dan waktu untuk merapikan dan menyusunnya. Sebagian kecil dari koleksi tersebut ada di Jakarta dan sisanya saya simpan di rumah ibu saya, di kampung.
Saya bukan Hatta yang membawa berpeti-peti buku ketika dibuang ke Digul atau Leon Trotzky yang membawa berpeti-peti buku pula ke tempat pembuangannya di Alma Ata. Bahkan saya juga bukan Tan Malaka yang membawa sepeti buku ke tempat pembuangannya pada 22 Maret 1922. Saya bukan mereka yang dari buku-buku itu melahirkan karya-karya yang bermanfaat bagi bangsa dan negaranya. Sekali lagi saya bukan mereka.
Buku, sampai dengan saat ini masih sekedar menjadi teman. Teman saat saya butuh ide dan inspirasi, teman saat saya tidak tahu lagi harus ngapain. Saya belum bisa mengambil sari pati buku tersebut, lalu menyaringnya untuk masuk ke dalam ruang ideologi saya, untuk kemudian saya tuangkan kembali menjadi bentuk lain yang merupakan ide dan gagasan pribadi saya.
Meski demikian, saya tidak mengerdilkan arti buku dan aktivitas membacanya. Saya mencintai buku, dengan arti cinta yang sama seperti saya mencintai manusia dan kemanusiaannya. Saya mencintai buku, dengan arti yang sama saya mencintai kehidupan saya yang indah dan bahagia. Saya mencintai buku, mesti tidak lebih dari rasa cinta saya kepada istri dan keluarga saya. Buku menempati ruang yang khusus di dalam hati saya. Dan saya sampaikan, bahwa hati saya telah tertambat kepada tiga hal: istri saya, keluarga saya, dan buku.
Butuh bertahun-tahun bagi Hatta dan Tan Malaka untuk menulis dan membagikan karyanya kepada masyarakat, dengan segala kendalanya. Butuh lebih dari setahun untuk Dee membuat sederatan novel Supernova-nya. Dan mungkin saja butuh bertahun-tahun bagi saya untuk menelurkan sebuah karya kecil.
Jika menulis adalah bekerja untuk keabadian, maka membaca buku adalah modalnya. Oleh karena itu menulis dan membaca adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Mari membaca.