BEBERAPA kali saya mendapatkan pertanyaan mengenai ketentuan perpajakan bagi wanita yang telah menikah atau dalam bahasa undang-undang disebut sebagai wanita kawin. Pada kesempatan kali ini saya akan membahasnya dengan memperhatikan siklus wanita di Indonesia (halah).
Wanita di Bawah Umur
Jika Anda berpikir tulisan ini akan berujung pada hal-hal yang berbau seksual atau kekerasan seksual, Anda salah besar, hehe. Wanita di bawah umur yang dimaksud di sini adalah wanita di bawah umur menurut UU PPh. Wanita di bawah umur atau menurut Undang-undang PPh adalah wanita yang belum dewasa, adalah wanita yang umurnya di bawah 18 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU PPh.
Seorang anak perempuan berumur di bawah 18 tahun dan belum menikah/masih lajang, maka menurut UU PPh penghasilan dan pelaporan pajaknya digabung dengan penghasilan dan pelaporan pajak orang tuanya.
Contoh:
Melisa, adalah seorang artis kecil kenamaan. Sepanjang tahun 2014 saja, jadwal manggung baik online maupun offline penuh hampir 365 hari, padahal umurnya baru akan menginjak 15 tahun pada bulan Januari 2015. Karena Melisa merupakan anak dari pasangan orang tua masa kini, Melisa masih harus sekolah dan belum diperbolehkan menikah oleh orang tuanya (baca: masih lajang).
Jika demikian kasusnya, maka seluruh penghasilan Melisa pada tahun 2014 hingga usianya mencapai 18 tahun, digabung dengan penghasilan orang tuanya.
Meskipun penghasilan Melisa digabung dengan penghasilan orang tuanya, tetapi orang tua Melisa tidak boleh menambahkan Melisa sebagai tanggungan dalam PTKP nya. Kenapa? Karena menurut penjelasan Pasal 7 ayat (1), anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak. Sekali lagi, meskipun penghasilan Melisa digabung dengan penghasilan orang tuanya, namun Melisa tidak bisa digabungkan untuk menghitung PTKP orang tuanya. Agak kejam? Memang iya, namun seperti itulah ketentuannya.
Lalu, seandainya orang tua Melisa bercerai saat Melisa masih berumur 16 tahun dan saat itu karier Melisa justru semakin menanjak akibat pemberitaan perceraian orang tuanya sepanjang 2016, penghasilan Melisa digabung dengan penghasilan siapa? Bapaknya atau Ibunya?
Penjelasan Pasal 8 UU PPh menyebutkan bahwa Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya. Jadi, penghasilan Melisa digabung dengan Bapaknya jika secara hukum Melisa ikut dengan Bapaknya, atau digabung dengan penghasilan Ibunya jika hakim memutuskan bahwa hak asuh Melisa jatuh kepada Ibunya.
Ternyata Melisa memilih untuk tidak ikut siapapun, Melisa memilih menikah dengan promotor-nya ketika Melisa akan menerbitkan album perdananya karena menurut Melisa laki-laki berumur dan tambun tersebut adalah sosok pria yang bertanggung jawab, Melisa menemukan bahwa Melisa dapat menganggap orang itu sebagai Bapak, selain sebagai suami tentunya.
Dalam kasus ini, meskipun Melisa masih belum dewasa, namun Melisa sudah menikah, Melisa disebut sebagai Wanita Kawin menurut UU PPh, penghasilannya digabung dengan penghasilan suami kecuali ada keadaan tertentu yang membuat Melisa merasa perlu melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya.
Wanita Lajang
Yang dimaksud dengan wanita lajang di sini adalah wanita yang telah dewasa (yaitu berumur lebih dari 18 tahun) namun belum menikah (saya yakin sekali banyak diantara Anda yang membaca tulisan ini termasuk dalam kategori tersebut karena saya pernah membaca di suatu tempat, populasi jomblowati juga tak kalah banyaknya dari populasi jomblowan 😛 *kidding).
Wanita lajang, ketentuan perpajakannya tidak berbeda dengan laki-laki lajang. Jika memiliki penghasilan, maka pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya dilakukan sendiri, tidak lagi digabung dengan orang tua (iyalah sudah dewasa, masa digabung terus dengan penghasilan orang tua, hehehe). Yang artinya, jika sudah terpenuhi subjek dan objek perpajakannya, wanita lajang yang beriman, berpenghasilan tetap, mantap menikah namun belum ada calon tersebut silakan mendaftarkan diri ke KPP untuk mendapatkan nomor NPWP dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya.
Lalu, bagaimana jika wanita lajang tersebut kemudian menemukan belahan jiwanya dan mereka memutuskan menikah? Akan kita bahas di bagian selanjutnya.
Wanita Kawin
Definisi wanita kawin tentu saja adalah wanita yang telah menikah, sah secara agama maupun secara hukum kenegaraan. Wanita yang berumur di bawah 18 tahun namun telah menikah (atau bahkan memiliki anak) tetap disebut wanita kawin. Wanita berumur 38 tahun namun belum menikah, masih disebut sebagai wanita lajang, hehe.
Wanita lajang yang sebelumnya telah memiliki NPWP, maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan penghapusan NPWP, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf j Peraturan Menteri Keuangan nomor 182/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pendaftaran NPWP, Pengukuhan PKP, dan Pencabutan Pengukuhan PKP.
UU PPh menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 8 UU PPh, artinya adalah penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga, dalam hal ini adalah suami. Sehingga penghasilan istri digabungkan dengan penghasilan suami selaku kepala entitas ekonomi sebuah keluarga.
Namun, dalam hal‐hal tertentu pemenuhan kewajiban Pajak tersebut dilakukan secara terpisah, yaitu dalam hal:
- hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim;
- menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta; atau
- memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Lalu, bagaimana seandainya?:
- Suami saya hanya seorang tukang becak (misalnya), yang penghasilannya di bawah PTKP, namun saya mempunyai penghasilan dari pekerjaan sebagai karyawan di sebuah pabrik, yang mana pabrik saya mengharuskan saya memiliki NPWP, karena kalau saya tidak punya NPWP, PPh Pasal 21 saya akan dipotong 20% lebih tinggi dari tarif yang seharusnya? Apa saya harus membuat NPWP sendiri atau suami saya yang notabene penghasilannya di bawah PTKP harus membuat NPWP terlebih dahulu?
- Suami saya tinggal di luar negeri, bahkan suami saya adalah bule yang rumahnya di luar negeri, tidak tinggal di Indonesia, hanya sesekali mengunjungi Indonesia, itu pun kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, sehingga tidak bisa disebut sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri, apa saya harus mendaftar NPWP atas nama saya sendiri atau suami saya harus menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri terlebih dahulu, kemudian mendaftarkan NPWP-nya?
- Saya adalah istri kedua, perkawinan kami sah secara agama, namun belum disahkan secara hukum ketatanegaraan (belum terdaftar di KUA), sementara saya menjalankan bisnis saya yang baru saya rintis dan saya membutuhkan NPWP untuk syarat pinjaman kredit dari Bank? Apa saya harus meminta NPWP suami saya (yang telah terdaftar sebelumnya, padahal kami tidak memiliki surat/akta nikah dari KUA)?
- Suami saya ketahuan selingkuh dan saat ini kami dalam proses perceraian, sementara selama ini saya melaporkan penghasilan saya bersama-sama dengan penghasilan suami saya? Saya ingin memiliki NPWP sendiri, saya tidak sudi penghasilan saya dilaporkan oleh suami saya yang tukang selingkuh!
Hehe, mohon maaf kalau pengandaiannya berlebihan. Namun, pada prinsipnya kita kembali kepada pakem UU PPh yang menyatakan bahwa:
- Keluarga (suami dan istri) adalah satu entitas ekonomi, sehingga cukup dibutuhkan 1 NPWP saja, yaitu NPWP suami
- Kecuali ada keputusan hakim yang menyatakan bahwa suami dan istri telah hidup berpisah atau menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, dan/atau suami atau istri memiliki kehendak untuk melaksanakan kewajiban dan hak perpajakannya secara terpisah, maka suami dan istri adalah satu kesatuan ekonomis, dan tidak terpisahkan oleh apapun (*tsah).
Sehingga untuk menjawab pertanyaan di atas:
- Misalnya suaminya mau dan berkehendak memiliki NPWP, karyawati tersebut dapat mendaftarkan NPWP atas nama/untuk suami dan istri menggunakan NPWP suami tersebut. Namun dalam hal suami tidak mau dan tidak berkehendak memiliki NPWP, maka istri dapat memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, sehingga dapat memiliki NPWP sendiri.
- Dalam hal suami tinggal di luar negeri dan tidak termasuk sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri sehingga tidak bisa mempunyai NPWP, maka istri dapat mengunakan opsi memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
- Keluarga yang dimaksud dalam UU PPh adalah keluarga yang tercatat sah secara hukum kenegaraan dan dibuktikan dengan dokumen yang berlaku. Dalam hal perkawinan yang dilakukan dilakukan tidak berdasarkan ketentuan kenegaraan, maka definisi keluarga tersebut pada hakikatnya tidak sesuai, sehingga secara kasar dapat dikatakan bahwa suami dan istri yang melakukan pernikahan/perkawinan tidak berdasarkan hukum kenegaraan tidak disebut sebagai suami dan istri, sehingga wanita tersebut tetap dianggap sebagai wanita lajang di hadapan UU PPh.
- Untuk menjawab pertanyaan nomor 4, selama tidak ada keputusan hakim yang menyatakan suami dan istri tersebut telah hidup berpisah, atau perjanjian yang menyatakan bahwa suami isteri tersebut telah mengadakan perjanjian pemisahan harta dan kewajiban, maka istri tetap harus menggunakan NPWP suaminya. Namun, dalam hal istri memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, istri dapat membuat NPWP tersendiri yang terpisah dari NPWP suaminya, sehingga dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri apabila yang bersangkutan tidak sudi pelaporan pajaknya digabung dengan pelaporan pajak-pajak suaminya 🙂
Semoga bermanfaat.
*Tulisan ini adalah interpretasi penulis terhadap peraturan yang ada, sehingga murni pendapat pribadi penulis.
Saya wanita lajang, bermaksud untuk membuat NPWP untuk tuntutan pekerjaan. Saya telah daftar online namun permohonan pembuatan di tolak dikarenakan : KODE KLU PADA BAGIAN SUMBER PENGHASILAN HARUS DIISI ; UNTUK WAJIB PAJAK WANITA, JUMLAH TANGGUNGAN HARUS DIISI 0 (NULL).
Namun saya bingung kode KLU pada sumber penghasilan itu yang mana? Pada sumber penghasilan saya centang yg lain – lain dengan isian freelance.
Mohon penjelasannya.
Please, direct email on mojolawarangabus@gmail.com
LikeLike