DULU saat kelas 2 SMP (waktu itu SLTP) celana saya pernah robek gara-gara kena paku. Celana saya robek pas di gundukan–maaf–pantat saya. Padahal itu celana saya satu-satunya, dan masih ada hari Rabu dan Kamis saya harus menggunakan celana itu. Daripada saya tidak bisa sekolah keesokan harinya, saya tambal celana saya dengan menggunakan plester (hansaplast) untuk menutupi robeknya.
Sebenarnya saya anggap itu sebagai kejadian kecil saja sampai saya dipanggil oleh guru matematika saya ke depan kelas untuk mengerjakan soal. Karena waktu saya maju ke depan itulah seisi kelas menertawakan celana tambalan saya itu. Malu campur sakit hati saya rasakan waktu itu. Saya malu karena menjadi bahan tertawaan teman. Saya sakit hati kepada diri sendiri kenapa celana ganti saja saya tidak punya. Saya marah kepada diri sendiri, saya juga marah kepada orang tua saya yang tidak mampu membelikan sekedar celana ganti.
Sejak saat itu, hansaplast menempati ruangan tersendiri di hati saya. Setiap kali melihat hansaplast saya akan ingat kejadian itu. Kemarahan saya kepada orang tua saya lakukan dengan protes dan menuntut mereka membelikan celana baru untuk saya. Meski akhirnya saya mendapatkan celana baru tersebut, pada akhirnya saya justru menyesal. Saya menyesal kenapa saya mendapatkan celana baru tersebut dengan cara menodong ala preman. Tidak menceritakan dengan cara yang baik-baik.
Sebenarnya saya sudah cukup besar waktu itu untuk sekedar mengerti permasalahan ekonomi yang dihadapi orang tua saya. Pada kenyataannya saya tidak mengerti. Saya menuntut saat itu juga orang tua saya membelikan saya celana baru tanpa tapi. Dan itu yang membuat saya menyesal sampai sekarang. Saya masih ingat bagaimana ibu saya harus buru-buru ke pasar membelikan saya celana agar bisa saya pakai keesokan harinya. Dan saya masih ingat persis bahwa uang yang dipergunakan ibu untuk membeli celana tersebut adalah uang belanja keluarga selama beberapa hari ke depan.
Padahal waktu itu saya sadar bahwa yang saya lakukan adalah salah, namun ego saya ternyata lebih besar dari kesadaran saya. Saya tetap menuntut agar esok saya bisa bersekolah dengan celana yang tidak robek. Saya sungguh amat sangat menyesali kejadian yang sampai sekarang saya masih ingat detailnya itu.
Intinya, jangan pernah menekan orang lain karena keadaan. Karena itu hanya akan membuat keadaan menjadi salah. Kadang kita hanya perlu menerima. Seperti pesan salah satu widyaiswara di badan diklat, hidup ini harus HHN, hadapi, hayati dan resapi. Hehe
Semoga bisa menjadi pelajaran.
keren nash. aku jd berkaca ke diri sendiri juga. thanks for the inspiration!
LikeLike
sama-sama kak santi. makasih udah mampir ya 🙂
LikeLike