JIKA saya ditanya sejak kapan ingin menjadi penulis? maka jawaban saya adalah sejak saya mengenal cerpen dan novel. Perkenalan saya dengan fiksi diawali ketika kelas 4 SD saat sekolah saya tiba-tiba membagi-bagikan buku cerita rakyat baru kepada murid-muridnya untuk dibaca di rumah. Saya menduga waktu itu ada bantuan dari Dinas Pendidikan berupa buku cerita. Fiksi (cerpen dan novel) adalah pengalaman sekaligus pembelajaran saya tentang menulis, karena sejak saat itu saya menambahkan ‘penulis’ ke dalam daftar cita-cita saya.
Meski sudah bercita-cita menjadi penulis sejak SD, buktinya saya tidak pernah berlatih menulis sejak SD. Jika ada yang bisa saya salahkan, saya akan menyalahkan guru SD saya karena tidak mengajari kami cara menulis yang benar. Hanya guru bahasa Jawa yang mengajari saya menulis, itupun dengan ha na ca ra ka yang sampai sekarang tidak satu hurufpun bisa saya tuliskan. Pembelajaran menulis saya justru diawali saat saya SMP. Waktu itu saya kembali berinteraksi dengan buku karena kelas saya dekat dengan perpustakaan sekolah. Saya sering mampir ke perpustakaan tersebut dan kembali menyenangi kegiatan membaca. Terlebih saat saya SMP sedang booming novel Harry Potter-nya J.K. Rowling. Maka saya kembali memutuskan (untuk kedua kalinya) bahwa saya ingin menjadi penulis.
Saat SMP itulah saya mulai latihan menulis. Apa yang saya tulis? bukannya cerpen atau novel, saya justru menulis puisi. Puisi yang saya tulis adalah jenis puisi galau ala anak SMP. Isinya kalau tidak tentang jatuh cinta ya tentang putus cinta. Padahal saat itu definisi cinta saja saya tidak mengerti. Puisi saya pun kosong, tanpa ruh. Mungkin beberapa teman menganggap puisi saya bagus karena pemilihan kata dan rima-nya pas, tapi menurut saya puisi saya kosong, hanya deretan kata tanpa makna. Lagi-lagi saya belum menulis fiksi.
Ketika saya SMA, saya bergabung menjadi pengurus Majalah Dinding di sekolah. Waktu itu nama madingnya adalah Melati. Namanya sangan feminim, karena kebanyakan anggotanya pun perempuan. Hanya sekitar 3-5 orang saja yang laki-laki. Saya mencoba konsisten, karena cita-cita saya memang menjadi penulis. Sejak bergabung di mading sekolah itulah tulisan saya mulai dimuat (baca: ditempel). Selain puisi (saya masih hobi menulis puisi saat SMA) saya juga mulai menulis cerpen. Saya ingat salah satu cerpen saya berjudul Bukan Cinta Biasa (yang tentu saja terinspirasi dari lagunya Siti Nurhaliza) dimuat di mading. Sudah sejak SD menisbatkan diri menjadi penulis, tapi baru mulai belajar menulis waktu SMA. geblek!
Saat SMA pula saya bergabung dengan tim redaksi koran lokal, Radar Tegal. Saya bergabung dalam tim redaktur sastra. Maka tulisan saya mulai naik kelas, dari mading sekolah menjadi koran lokal yang jangkauannya meliputi 3 kabupaten dan 1 kota: Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes dan Kabupaten Pemalang serta Kota Tegal. Saya merasa bangga, meskipun upah menjadi tim redaksinya sangat minim. Setidaknya saya bisa eksis di korang (lewat puisi dan cerpen) tiap hari Senen. Bahagia sekali rasanya.
Sewaktu kuliah, saya dan teman-teman saya pernah membentuk KOMPENI (Komunitas Penulis Islam) yang merupakan wadah belajar menulis bagi mahasiswa muslim. Tulisannya tidak melulu tentang agama, karena saya pun tetap menulis cerpen di sana. Pernah kami menerbitkan buku Antologi Puisi dan Cerpen yang merupakan buku pertama kami, dan sayangnya itu juga buku yang terakhir. Beberapa cerpen dan puisi saya dimuat di sana dengan gagahnya, haha. Dan fyi, buku tersebut dicetak terbatas, hanya untuk kalangan sendiri 😀
Lama-lama saya sadar, bahwa saya adalah orang yang realistis alih-alih surealis. Saya lebih senang menceritakan sesuatu yang asli, bukan fiktif belaka. Maka saya mulai meninggalkan dunia fiksi dan beralih kepada liputan nyata tentang kehidupan melalui tulisan-tulisan pengalaman keseharian yang saya tuliskan di blog saya. Waktu itu blog saya numpang di web blog salah satu kantor di jaringan intranet DJP, namanya Ciblog (Cicadas Blog). Seringnya saya menceritakan pengalaman saya, yang mana itu merupakan kenyataan, bukan fiksi.
Saat saya jenuh dengan kenyataan, saya akan kembali kepada fiksi. Novel bagi saya adalah pelarian dari kebosanan. Ketika saya bosan pada rutinitas, saya akan mencari novel bagus dan membacanya sampai habis. Karena dengannya saya menjadi lupa. Pada masalah. Novel adalah pengalaman pertama saya tentang membaca dan menulis, sekaligus menjadi pelarian saya ketika saya jenuh pada rutinitas. Sudah selayaknya saya memuliakan cerpen dan novel.
—————————-