Tulisan ini telah dimuat di Majalah Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 11/2015
Berbicara mengenai keuangan negara, kita tidak dapat menghindari pembicaraan mengenai pajak. Penerimaan negara dari sektor pajak telah merajai pos pendapatan di APBN kita selama lebih dari sepuluh tahun terakhir dengan porsi hingga 83%. Hingga tahun 2015 ini, pendapatan negara dari sektor pajak memang masih menjadi pos yang ‘seksi’ di APBN kita.
Keberhasilan penerimaan pajak sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang negatif biasanya berpengaruh negatif juga terhadap penerimaan pajak. Hal ini sejalan dengan penelitian Purnamasari (2011) yang mengatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan penerimaan pajak.
Indikator Mengukur Pertumbuhan Ekonomi
Indikator yang dipergunakan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi adalah produk domestik bruto (PDB). Di mana PDB adalah jumlah seluruh barang dan jasa yang diproduksi suatu negara pada periode tertentu. PDB ini merupakan penjumlahan dari konsumsi, investasi, ekspor netto yang terjadi di suatu negara, serta pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah. Pertumbuhan PDB yang positif seharusnya berpengaruh positif terhadap pertumbuhan penerimaan pajak, sebaliknya apabila pertumbuhan PDB negatif, berpengaruh negatif juga terhadap penerimaan pajak. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel 1, dibawah ini.
Tabel 1
Porsi PDB Per Sektor
Tahun 2013-2014
Lapangan Usaha | 2013 | 2014 |
1. Pertanian, Peternakan, | 14.42% | 14.33% |
2. Pertambangan Dan Penggalian | 11.29% | 10.49% |
3. Industri Pengolahan | 23.69% | 23.71% |
4. Listrik, Gas, Dan Air Bersih | 0.77% | 0.80% |
5. Bangunan | 9.98% | 10.05% |
6. Perdagangan, Hotel Dan Restoran | 14.32% | 14.60% |
7. Pengangkutan Dan Komunikasi | 6.99% | 7.39% |
8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan | 7.52% | 7.65% |
9. Jasa – Jasa | 11.01% | 10.98% |
Jumlah Produk Domestik Bruto | 100.00% | 100.00% |
Sumber: PDB atas dasar harga berlaku, BPS, data diolah.
Pada tabel diatas tertuliskan bahwa selama tahun 2013 dan 2014 ini peringkat pertama penyumbang PDB adalah dari sektor industri pengolahan. Kemudian disusul oleh sektor pertanian, peternakan dan perkebunan, dan di peringkat tiga disumbang oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sedangkan, penerimaan perpajakan selama dua tahun terakhir ini disumbang oleh sektor-sektor berikut yang tertera pada tabel 2, dibawah ini.
Tabel 2
Penerimaan Perpajakan Berdasarkan Sektor Usaha
Tahun 2013-2014
No | Sektor | Kontribusi Terhadap Penerimaan Pajak | |
2013 | 2014 | ||
1 | Industri Pengolahan | 31,1% | 30,1% |
2 | Pertambangan dan Penggalian | 15,1% | 14,1% |
3 | Perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan | 13,6% | 12,0% |
4 | Jasa keuangan dan asuransi | 10,5% | 11,8% |
5 | Konstruksi | 5,0% | 5,2% |
6 | Lainnya | 24,5% | 26,9% |
Jumlah | 100% | 100% |
Sumber: DJP
Apabila kita perhatikan 2 tabel tersebut, terdapat hubungan yang kuat antara PDB dengan penerimaan pajak. Industri pengolahan yang menduduki peringkat pertama PDB, menduduki peringkat pertama dalam penerimaan pajak juga, begitu juga dengan peringkat kedua yang diduduki oleh sektor pertambangan dan penggalian, dan seterusnya. Adapun yang dimaksud dengan sektor lainnya pada tabel di atas adalah sektor-sektor selain 5 sektor di atasnya. Sampai di sini kita sepakat bahwa PDB berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak.
Sampai dengan saat ini penerimaan pajak kita masih didominasi oleh PPh Non Migas, disusul oleh PPN dan PPnBM pada urutan kedua, kemudian PPh Migas, PBB dan Pajak Lainnya pada urutan ketiga hingga kelima sebagaimana disajikan dalam Tabel 3 terhadap pernerimaan per jenis pajak. Sementara itu PPh Non Migas sendiri masih didominasi oleh PPh Badan sebagaimana disajikan dalam Tabel 4 sehubungan dengan rincian penerimaan PPh Non Migas tahun 2012-2013.
Tabel 3
Penerimaan Per Jenis Pajak
Tahun 2012-2013
Miliar Rupiah
No | Jenis Pajak | 2012 | % | 2013 | % |
1 | PPh Non Migas | 381.203,98 | 45,6% | 413.897,97 | 45,1% |
2 | PPN dan PPn BM | 337.413,37 | 40,3% | 383.423,94 | 41,8% |
3 | PBB | 28.966,41 | 3,5% | 25.296,84 | 2,7% |
4 | Pajak Lainnya | 4.210,40 | 0,5% | 4.933,25 | 0,5% |
5 | PPh Migas | 83.460,95 | 9,9% | 88.747,48 | 9,6% |
Jumlah | 835.255,12 | 100% | 916.299,57 | 100% |
Sumber: DJP
Tabel 4
Rincian Penerimaan PPh Non Migas
Tahun 2012-2013
Miliar Rupiah
No | Jenis Pajak | 2012 | % | 2013 | % |
1 | PPh Pasal 21 | 79.559,16 | 20,8% | 89.897,55 | 21,7% |
2 | PPh Pasal 22 | 5.495,81 | 1,5% | 6.766,39 | 1,6% |
3 | PPh Pasal 22 Impor | 31.609,47 | 8,3% | 36.329,63 | 8,7% |
4 | PPh Pasal 23 | 20.290,36 | 5,3% | 22.140,83 | 5,3% |
5 | PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi | 3.763,25 | 0,9% | 4.378,79 | 1,0% |
6 | PPh Pasal 25/29 Badan | 152.624,89 | 40,0% | 151.906,61 | 36,7% |
7 | PPh Pasal 26 | 27.458,53 | 7,2% | 31.082,96 | 7,5% |
8 | PPh Final | 60.369,81 | 15,8% | 71.357,41 | 17,2% |
9 | PPh Non Migas Lainnya | 32,70 | 0,0% | 37,79 | 0,0% |
Jumlah | 381.203.98 | 100% | 413.897,97 | 100% |
Sumber: DJP
Berdasarkan sifat pembayaran, pemotongan dan/atau pemungutannya, PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, sementara jenis pajak yang lain kita asumsikan secara merata dibayar oleh Wajib Pajak Badan, maka konstruksi penerimaan PPh Non Migas kita selama tahun 2012 dan 2013 dapat disajikan pada Tabel 5 di bawah ini:
Tabel 5
Konstruksi Penerimaan PPh Non Migas
Tahun 2012-2013
No | Pembayar Pajak | 2012 | 2013 |
1 | Wajib Pajak Orang Pribadi | 21,7% | 22,7% |
2 | Wajib Pajak Badan | 78,3% | 77,3% |
Jumlah | 100% | 100% |
Berdasarkan Tabel 5 di atas dapat kita lihat bahwa lebih dari 75% penerimaan PPh Non Migas kita yang memberikan kontribusi lebih dari 45% terhadap total penerimaan pajak didominasi oleh pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak Badan. Begitu pula dengan jenis pajak lainnya, PPN dan PPnBM, PBB, Pajak Lainnya dan PPh Migas besar kemungkinannya didominasi oleh pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak Badan. Dengan data pembayaran pajak (MPN) yang ada di Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara (DJPb), dengan memisahkan pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak Badan, Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Bendaharawan, kita bisa melihat seberapa besar kontribusi Wajib Pajak Badan terhadap total penerimaan pajak, apakah di atas 80% atau tidak.
Kondisi ini merupakan kondisi laten yang berbahaya menurut penulis. Apabila suatu sistem perpajakan didominasi oleh penerimaan dari Wajib Pajak Badan yang notabene rentan terhadap kondisi perekonomian dan suhu politik maupun investasi di suatu negara, maka apabila suatu ketika terjadi goncangan terhadap perekonomian maupun politik dan investasi negara tersebut, maka penerimaan pajak juga akan terpengaruh sedemikian besarnya. Oleh karena itu, pemerintah harus memikirkan cara-cara untuk memindahkan basis data penerimaan pajak, dari Wajib Pajak Badan ke Wajib Pajak Orang Pribadi, atau sektor usaha mikro, kecil, dan menengah yang tidak terlalu terpengaruh oleh kondisi perekonomian, suhu politik, maupun investasi suatu negara.
Hal Ini merupakan suatu tantangan yang cukup berat bagi pemerintah, karena tidak mudah melakukan upaya-upaya pemindahan basis data tersebut. Namun, di sisi lain, Indonesia juga memiliki potensi yang luar biasa, mengingat jumlah penduduk yang sangat besar. Perbandingan antara jumlah penduduk yang bekerja dan jumlah Wajib Pajak terdaftar disajikan dalam Tabel 6 berikut ini:
Tabel 6
Jumlah Penduduk Bekerja dan Jumlah Wajib Pajak Terdaftar
No | Tahun | Jumlah Penduduk Bekerja | Jumlah NPWP Orang Pribadi Terdaftar | Persentase Jumlah Penduduk Bekerja yang ber-NPWP | Persentase Jumlah Penduduk Bekerja Belum ber-NPWP |
1 | 2012 | 110.810.000 | 22.131.323 | 19% | 81% |
2 | 2013 | 110.800.000 | 25.109.959 | 22% | 78% |
Sumber: BPS dan DJP, data diolah.
Masih terdapat potensi 78% penduduk Indonesia yang sudah bekerja yang belum memiliki NPWP. Tentu saja angka tersebut tidak dapat bisa kita pukul rata begitu saja, tetapi dari sini dapat dipastikan bahwa potensi Wajib Pajak Orang Pribadi masih sangat besar.
Di sisi lain, memindahkan basis data penerimaan pajak ke sektor Wajib Pajak Orang Pribadi bukanlah semata-mata urusan ekstensifikasi perpajakan saja. Penambahan jumlah Wajib Pajak dalam beberapa tahun ini terbukti tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan perpajakan. Artinya perlu adanya upaya lain yang harus dilakukan oleh pemerintah. Beberapa hal yang mungkin dapat bisa dilakukan pemerintah dalam rangka upaya memindahkan basis data perpajakan ini diantaranya:
- Perbaikan basis data perpajakan
Basis data perpajakan yang handal dan akurat dapat dipergunakan sebagai alat pengambilan keputusan yang tepat. Sensus Pajak yang dilakukan beberapa tahun terakhir belum menunjukkan hasil apapun. Hal ini bisa saja disebabkan karena basis data yang dipergunakan dalam pengambilan keputusan tidak handal dan akurat. Perbaikan basis data dapat dimulai dengan melakukan matching data kependudukan (misalnya data NIK dari Kementerian Dalam Negeri) dengan data NPWP. Penduduk yang telah mempunyai penghasilan, namun belum memiliki NPWP harus diberikan NPWP secara jabatan. Di sisi lain, penambahan jumlah NPWP yang sangat banyak dalam satu waktu sekaligus hanya akan memberati sistem administrasi perpajakan saja apabila tidak memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak. Oleh karena itu langkah-langkah tindak lanjut setelah diterbitkan NPWP secara jabatan harus dilakukan dengan tepat.
- Perbaikan regulasi perpajakan
Regulasi perpajakan yang selama ini dikonsentrasikan lebih banyak menyasar Wajib Pajak Badan. Regulasi perpajakan terkait Wajib Pajak Orang Pribadi masih belum terlalu banyak. Pemerintah dalam hal ini DJP perlu memperhatikan kebijakan/regulasi yang menyangkut Wajib Pajak Orang Pribadi. Kebijakan dan regulasi yang menimbulkan kekisruhan di masyarakat (misalnya terkait PP No 46 tahun 2013) sebaiknya diperhitungkan kembali efisiensi dan efektifitasnya. Beberapa regulasi terkait Orang Pribadi dapat dihitung dengan jari tangan, misalnya:
Tabel 7
Regulasi Terkait Wajib Pajak Orang Pribadi
No | Jenis Wajib Pajak | Mengatur Tentang | Nomor Peraturan |
1 | Karyawan | Pemotongan PPh Pasal 21 | PER-31/PJ/2012 |
Pelaporan PPh Pasal 25/29 (Tahunan) | PER-19/PJ/2012 | ||
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) | 162/PMK.011/2012 | ||
2 | Usahawan | PPh Pasal 4 ayat (2) | PP No 46/2013 |
Norma Perhitungan Penghasilan Neto | KEP-536/PJ./2000 | ||
Pelaporan PPh Pasal 25/29 (Tahunan) | PER-19/PJ/2012 | ||
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) | 162/PMK.011/2012 |
Penutup
Pada akhirnya pemerintah harus memikirkan cara agar pengenaan pajak yang dilakukan dapat adil dan efisien, yakni pemungutan pajak yang dilakukan harus:
- Dikumpulkan secara efektif
- Dapat meningkatkan kesejahteraan, tidak sekedar meningkatnya penerimaan pajak dari tahun ke tahun
- Mendistorsi pasar sekecil mungkin
- Dikenakan terhadap orang-orang yang memperoleh penghasilan
- Dikenakan secara adil terhadap orang-orang dengan kemampuan yang sama
- Dikenakan secara lebih terhadap orang-orang dengan kemampuan yang lebih.
Tentu saja poin-poin di atas dilakukan setelah menjawab pertanyaan who should pay taxes dan membuat desain regulasi perpajakan yang pas, adil, dan memberikan nilai tambah bagi penerimaan pajak dengan cara yang efektif dan efisien.
Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai perpajakan, perpajakan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan negara ini.
Negara yang maju dapat dilihat dari sitem perpajakan di negaranya.
Saya juga mempunyai link perpajakan yang mungkin dapat bermanfaat, silahkan kunjungi Komunitas Pajak Universitas Gunadarma
LikeLike