Tulisan ini dimuat di Indonesia Tax Review Volume VII/Edisi 24/2014
Pada tahun 2013 lalu Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang cukup kontroversial di kalangan dunia usaha dan masyarakat Indonesia. Peraturan Pemerintah (PP) ini disosialisasikan melalui media massa baik elektronik maupun cetak sebagai “Pajak UMKM” dengan tarif sebesar 1% dari Omzet. Nah, pajak UMKM ini ternyata sukses mencuri perhatian, mengundang pertanyaan, kebingungan, atau mungkin kekhawatiran di kalangan masyarakat pajak kelas menengah ke bawah di Indonesia. Mengapa demikian?
Tepatnya pada bulan Juli 2013 masyarakat Wajib Pajak di Indonesia dikagetkan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 tentang PPh yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Mengagetkan karena Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar rupiah harus menghitung pajaknya secara Final sebesar 1% dari peredaran bruto setiap bulan. Sempat menimbulkan kontroversi juga mengingat 1% dari peredaran bruto bukanlah angka yang kecil. Lalu pemerintah pun menampik kontroversi tersebut dengan berdalih bahwa PP 46 tahun 2013 dikeluarkan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam pelaksanaan peraturan pajak.
Sebagai peraturan pelaksana atas PP tersebut, akhir Juli 2013 dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Yang kemudian diikuti dengan penerbitan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013 tentang Tata Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh bagi Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP No 46 tahun 2013 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tentang Pelaksanaan PP Nomor 46 tahun 2013.
Peraturan-peraturan tersebut di atas ternyata juga menuai protes dari Wajib Pajak. Ada yang mengatakan membingungkan, ada juga yang mengatakan merepotkan.
Kriteria Beroperasi secara Komersial
Pasal 9 PP No 46 tahun 2013 tersebut dengan jelas menyebutkan Ketentuan lebih lanjut mengenai paenghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Memang tata cara penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh Final 1% tersebut diatur di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK/011/2013. Tetapi ternyata kriteria beroperasi secara komersialnya ketinggalan, karena tidak satu pasal pun di Peraturan Menteri Keuangan tersebut menyinggung tentang kriteria beroperasi komersial.
Apa sih pentingnya kriteria beroperasi komersial ini? Pasal 2 ayat 4 PP Nomor 46 tahun 2013 menyebutkan bahwa Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial, maupun Wajib Pajak badan yang belum satu tahun beroperasi secara komersial, tidak menghitung PPh dengan menggunakan PP No 46 tahun 2013, yang artinya Wajib Pajak tersebut tetap menghitung pajaknya berdasarkan PPh Pasal 25. Jadi kriteria beroperasi secara komersial merupakan hal yang penting, karena menjadi kunci apakah suatu Wajib Pajak badan menghitung pajaknya dengan menggunakan PP No 46 tahun 2013 atau tidak.
Memang, apabila kita perhatikan, di lampiran Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.011/2013 tersebut terdapat contoh kasus yang menggambarkan kriteria beroperasi secara komersial, yaitu pada contoh kasus nomor 5, terdapat kalimat yang berbunyi: Pada tanggal 1 November 2013 PT Andalan mulai melakukan kegiatan operasi secara komersial berupa produksi gula dalam kemasan. Sehingga berdasarkan contoh kasus tersebut kriteria saat beroperasi secara komersial bagi Wajib Pajak badan yang bergerak di bidang usaha manufaktur/industri adalah saat pertama kali berproduksi.
Tentu saja Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK/011/2013 tidak secara tegas mengatur demikian, karena sekali lagi kata-kata tersebut hanya terdapat pada contoh kasus yang merupakan lampiran dari Peraturan Menteri Keuangan tersebut. Apa bisa dijadikan dasar hukum? Lalu bagaimana dengan Wajib Pajak badan yang bergerak di bidang jasa atau dagang yang tidak disebutkan dalam contoh kasus? Sampai dengan bagian ini, bisa kita simpulkan bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tidak melaksanakan amanat PP Nomor 46 tahun 2013 untuk menentukan kriteria beroperasi komersial.
Lalu pada tanggal 17 September 2014, masyarakat Wajib Pajak sedikit dicerahkan dengan dikeluarkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2014. Surat Edaran tersebut sedikit mencerahkan karena salah satu materinya mengatur mengenai penentuan saat beroperasi secara komersial bagi Wajib Pajak badan, yaitu:
- Untuk Wajib Pajak badan yang bergerak di bidang jasa adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan;
- Untuk Wajib Pajak badan yang bergerak di bidang dagang dan industri adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.
Materi ini sedikit mencerahkan karena Wajib Pajak sudah memiliki pegangan mengenai kriteria beroperasi secara komersial. Meski ternyata apabila kita bandingkan dengan contoh kasus nomor 5 di atas, terdapat perbedaan. Bahwa saat beroperasi secara komersial untuk Wajib Pajak badan yang bergerak di bidang industri/manufaktur adalah saat pertama kali berproduksi, bukan pertama kali melakukan penjualan dan/atau saat pertama kali memperoleh pendapatan/penghasilan.
Kenapa dapat seperti itu? Hanya Tuhan dan pembuat Peraturan Menteri Keuangan dan Surat Edaran di atas yang tahu.
Wajib Pajak yang kembali ke PPh Pasal 25 setelah melaksanakan PP No 46 tahun 2013
Pasal 3 ayat 4 PP No 46 tahun 2013 menyebutkan Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan undang-undang Pajak Penghasilan. Maksudnya adalah, apabila dalam suatu tahun pajak Wajib Pajak menghitung pajaknya dengan menggunakan PP No 46 tahun 2013 namun peredaran brutonya sudah melebihi Rp4,8 miliar rupiah, pada tahun berikutnya (mulai Januari tahun berikutnya) Wajib Pajak tersebut harus menghitung dengan menggunakan tarif umum UU PPh. Yang apabila kita lihat di lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 diuraikan di contoh kasus nomor 7, yaitu:
Pada tahun Pajak 2014 Wajib Pajak PT Pandiro Anugerah dikenai PPh yang bersifat Final berdasarkan Peraturan Menteri ini. Berdasarkan pembukuan yang dilakukan diketahui bahwa peredaran bruto usaha sampai dengan akhir Tahun Pajak 2014 berjumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dengan demikian pada Tahun Pajak 2015 PT Pandiro Anugerah dikenai PPh berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pada bulan Januari 2015 seluruh peredaran bruto PT Pandiro Anugerah adalah sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dan PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain (bukan PPh final) adalah sebesar Rp51.000.000,00 (lima puluh satu juta rupiah).
Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2015 adalah sebagai berikut:
Penghasilan bruto sebulan Rp200.000.000,00
Biaya-biaya Rp150.000.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 50.000.000,00
Penghasilan neto sebulan disetahunkan Rp600.000.000,00
PPh terutang (12,5% x Rp600.000.000,00) Rp 75.000.000,00
Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain Rp 51.000.000,00
PPh kurang bayar Rp 24.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25
(1/12 x Rp24.000.000,00) Rp 12.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan bulan Desember 2015 adalah Rp2.000.000,00
Beberapa catatan terkait contoh kasus di atas adalah:
a. Pada contoh kasus tidak diuraikan mengenai jumlah biaya sebesar Rp150.000.000,00; tiba-tiba angka tersebut muncul pada saat penghitungan angsuran
b. PPh dipotong/dipungut pihak lain (tidak final) tidak dijelaskan apakah pemotongan tersebut dibulan Januari 2015 atau selama tahun 2014, karena apabila kita perhatikan seolah-olah pemotongan tersebut terjadi untuk tahun sebelumnya (2014).
c. Perhitungan angsuran tersebut di atas, seolah-olah Wajib Pajak yang tadinya menghitung pajaknya dengan menggunakan PP No 46 tahun 2013 lalu kembali ke angsuran PPh Pasal 25 dipersamakan seperti Wajib Pajak badan baru sebagaimana diatur di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.03/2009. Di dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut disebutkan dalam Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi:
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas). Dimana pengertian penghasilan neto diatur di Pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan yang sama, yang berbunyi:
dalam hal WP menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya. Artinya, Wajib Pajak menghitung angsurannya setiap bulan dari sejak memperoleh penghasilan neto tersebut sampai akhir tahun pajak. Namun contoh kasus nomor 7 di Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.011/2013 tersebut mengatakan bahwa angsuran tersebut dipergunakan untuk angsuran Januari sampai dengan Desember 2013.
Penutup
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa amanat yang tidak dilaksanakan oleh Peraturan Menteri Keuangan nomor 107/PMK.011/2013 mengenai kriteria beroperasi secara komersial justru diatur di Surat Edaran kekuatan hukumnya hanya mengikat secara internal kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Semoga bisa menjadi pelajaran.