Tulisan ini telah dimuat dalam Indonesia Tax Review Volume VII/Edisi 23/2014
Pengusaha Kena Pajak (PKP) diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyesahan Jasa Kena Pajak (JKP) meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.
BERBICARA mengenai peraturan manusia, selalu saja ada celahnya. Memang benar kata pepatah, tak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia, produk buatan manusia yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sebagai insan pajak, tentu saja kita tidak lagi asing dengan istilah Faktur Pajak gabungan. Faktur Pajak gabungan merupakan amanat dari Pasal 13 ayat (2) dan ayat (2a) Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009. Dimana apabila kita cermati, ayat tersebut mengatakan bahwa untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak (PKP) diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya. Jadi, tujuan utama dari penerbitan Faktur Pajak gabungan adalah meringankan beban administrasi, meski tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘meringankan beban administrasi’ dalam ayat ini, apakah maksudnya agar PKP tidak perlu banyak mencetak Faktur Pajak sehingga lebih hemat kertas, atau bagaimana?
Pasal 13 ayat (2) dan ayat (2a) tersebut kemudian diatur secara berjenjang di Peraturan Menteri Keuangan nomor 151/PMK.03/2013 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor 24/PJ/2012. Sebagai informasi, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tidak menyinggung mengenai Faktur Pajak gabungan, sedangkan definisi yang jelas mengenai Faktur Pajak gabungan diatur dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 24/PJ/2012, bahwa Faktur Pajak gabungan adalah Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
Isu utama dalam pembahasan mengenai Faktur Pajak adalah mengenai saat pembuatan Faktur Pajak. Nature-nya, Faktur Pajak harus dibuat pada saat terutangnya PPN (Penjelasan Pasal 19 ayat (1) PP No 1 tahun 2012), yaitu saat penyerahan BKP, saat impor BKP, saat pemanfaatan JKP/BKP Tidak Berwujud Dari Luar Daerah Pabean, dan saat ekspor BKP Berwujud/Tidak Berwujud/JKP. Faktur Pajak juga harus dibuat pada:
- Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP;
- Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
- Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Ketentuan tersebut di atas sudah jelas dan saklek, bahwa mau tidak mau PKP harus membuat Faktur Pajak saat penyerahan, saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi lebih dahulu dari penyerahan, maupun saat pembayaran termin. Sedangkan saat lain diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.03/2012.
Lalu apa yang terjadi? Ternyata ketentuan perpajakan memberikan pasal karet. Bahwa PKP masih dapat menerbitkan Faktur Pajak paling lambat akhir bulan dilakukannya penyerahan, yaitu melalui penerbitan Faktur Pajak gabungan. Aturan ini justru memberi celah kepada PKP apabila suatu ketika terlambat menerbitkan Faktur Pajak dari yang seharusnya.
Pada prakteknya, kadang PKP tidak bisa meramalkan kira-kira berapa kali lawan transaksi B akan membeli BKP/JKP dari PKP tersebut dalam satu bulan. Terutama apabila lawan transaksi tersebut merupakan customer baru. Contohnya:
a. Tanggal 10 Oktober PKP B membeli dari PKP A, BKP seharga Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Atas transaksi ini PKP A lupa menerbitkan Faktur Paja
b. Tanggal 25 Oktober, PKP B kembali membeli dari PKP A, BKP seharga Rp5.000.000,- (lima juta rupiah). Ata transaksi ini PKP A menerbitkan Faktur Pajak dengan PPN sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Pada tanggal 10 Oktober, tentu saja PKP A belum tahu apakah PKP B akan membeli BKP lagi dari perusahaannya atau tidak, sehingga pada saat itu transaksi yang terjadi tanggal 25 Oktober belum bisa diramalkan. Kemudian, pada bulan November, baru diketahui bahwa atas transaksi tanggal 10 Oktober belum diterbitkan Faktur Pajak. Maka di sini PKP A dapat memanfaatkan ketentuan Faktur Pajak gabungan untuk memperbaiki kesalahannya. Caranya? PKP A cukup menerbitkan Faktur Pajak Pengganti dengan mengganti DPP nya menjadi Rp15.000,000,- (lima belas juta rupiah) dan PPN nya menjadi Rp1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah), dan menyatakan bahwa Faktur Pajak tersebut merupakan Faktur Pajak Gabungan. Sehingga PKP A terhindar dari ancaman pasal 14 ayat (4) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yaitu sanksi bunga sebesar 2% dari DPP.
Ketentuan mengenai Faktur Pajak gabungan semakin menjadi ‘celah’ mengingat tidak ada pembeda antara Faktur Pajak normal dengan Faktur Pajak gabungan, dua-duanya sama saja baik bentuk maupun formatnya (meskipun DJP tidak pernah mengatur format baku Faktur Pajak). Itulah kenapa pasal ini menjadi pasal karet dalam ketentuan PPN.
Pasal karet yang lain dalam ketentuan PPN terdapat dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2012. Di sana terdapat contoh kasus nomor 3, yang berbunyi:
PT Cantik di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Sentosa di Semarang dengan syarat pengiriman (term of delivery) franco gudang pembeli (fob destination). Barang dikeluarkan dari gudang PT Cantik dan dikirim ke gudang PT Sentosa pada tanggal 12 Agustus 2011 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi. Barang diterima oleh PT Sentosa pada tanggal 13 Agustus 2011. PT Cantik menerbitkan faktur penjualan (invoice) pada tanggal 16 Agustus 2011. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT Cantik wajib menerbitkan Faktur Pajak pada tanggal 13 Agustus 2011 atau paling lama tanggal 16 Agustus 2011.
Contoh kasus tersebut tidak menjadi masalah sampai terdapat kata-kata atau paling lama tanggal 16 Agustus 2011. Dengan kata lain, contoh kasus tersebut memberikan kesempatan kepada PKP bahwa pada akhirnya penerbitan Faktur Pajak, adalah saat penerbitan invoice.
Penutup
Ketentuan Faktur Pajak Gabungan dan invoice ini menjadi pasal karet karena kemudian melemahkan ketentuan mengenai saat pembuatan Faktur Pajak yang sudah diatur secara saklek di pasal-pasal sebelumnya. Semoga bermanfaat!