EINSTEIN—dalam kutipan fenomenalnya mengatakan bahwa ada dua hal yang tidak bisa dimengerti oleh seorang Einstein, wanita dan pajak penghasilan. Kalau wanita tidak perlu kita bahas lah yaa, semua orang punya pendapatnya masing-masing 😛 Naah soal pajak penghasilannya ini. Kalau kita pikir-pikir memang agak aneh ya, kita bekerja sendiri, berusaha sendiri, punya penghasilan sendiri, tiba-tiba negara minta bagian dari penghasilan kita itu melalui pajak. Meski beberapa teori kemudian menguatkan alasan pengenaan pajak yang dilakukan oleh pemerintah.
Kritik-kritik yang muncul terhadap pengenaan pajak berbasis penghasilan kebanyakan menyoroti soal keadilan. Beberapa berpendapat bahwa pajak berbasis konsumsi lebih adil dari pada pajak berbasis penghasilan.
1. Isu Netralitas
a. Saving-Consumption Neutrality
Pajak atas dasar penghasilan tidak netral terhadap pilihan Wajib Pajak untuk menabung atau mengonsumsi penghasilannya. Atau dengan kata lain pajak berbasis penghasilan dianggap men-discourage perilaku menabung, padahal seharusnya suatu pemungutan pajak harus bersifat netral.
Misalnya, Tuan Andri mempunyai penghasilan sebesar Rp3.000.000,- setahun. Atas penghasilan tersebut, Tuan Andri mempunyai dua pilihan:
– mengonsumsi seluruh penghasilan, atau
– menabungkan seluruh penghasilan tersebut
Dengan asumsi tarif pajak berdasarkan income-based tax sebesar 10%, dan tingkat suku bunga 20% per tahun, maka net rate of return Tuan A berdasarkan income-based taxation at expenditure-based taxation adalah sebagai berikut:
a. income-based taxation
Berdasarkan income-based taxation, penghasilan Tuan Andri pada tahun tersebut akan dikenai pajak sebesar 10% x Rp3.000.000,- atau sebesar Rp300.000,- dengan tidak memperhatikan apakah penghasilan tersebut akan dikonsumsi atau ditabung. Dengan dikenakannya pajak sebesar Rp300.000,- maka penghasilan yang tersedia untuk dikonsumsi sebesar Rp2.700.000,-
Apabila penghasilan sebesar Rp2.700.000,- tersebut ditabung, maka Tuan Andri akan memperoleh bunga sebesar 20% x Rp2.700.000,- = Rp540.000,-
Atas bunga tersebut kemudian dikenai kembali pajak penghasilan sebesar 10%, atau sebesar Rp54.000,- sehingga penghasilan bunga yang tersedia untuk dikonsumsi atau ditabung sebesar Rp486.000,-
Sehingga net rate of return dapat dihitung:
Rp486.000,-
—————— = 18%
Rp2.700.000,-
b. expenditure-based taxation
Apabila Tuan Andri memutuskan untuk mengonsumsi penghasilan sebesar Rp3.000.000,- tersebut, maka Tuan Andri harus membayar pajak sebesar 10% x Rp3.000.000,- atau sebesar Rp300.000,- atau penghasilan yang tersedia untuk ditabung/dikonsumsi sebesar Rp2.700.000,-. Akan tetapi apabila penghasilan tersebut tidak dikonsumsi, Tuan Andri tidak perlu membayar pajak apapun.
Apabila penghasilan tersebut ditabung, dan memperoleh penghasilan bunga sebesar 20% x Rp3.000.000,- = Rp600.000,-, Tuan Andri akan dikenai pajak atas penghasilan bunga sebesar Rp10% x Rp600.000,- = Rp60.000,- sehingga penghasilan bunga yang tersedia untuk dikonsumsi atau ditabung kembali sebesar Rp540.000,-
Sehingga net-rate of return dapat dihitung sebagai berikut:
Rp540.000,-
—————— = 20%
Rp2.700.000,-
Perhitungan di atas menunjukkan bahwa dalam expenditure-based taxation, pilihan seseorang untuk menabung atau mengonsumsikan penghasilannya tidak akan dipengaruhi pajak karena net rate of return yang diperoleh Tuan Andri apabila mengonsumsi penghasilan di tahun yang bersangkutan sama saja apabila Tuan Andri menunda konsumsinya dan terlebih dahulu menabungkan penghasilannya. Sementara itu hal tersebut tidak terjadi pada income-based taxation. Sehingga income-based taxation tidak netral terhadap pilihan konsumsi atau menabung.
b. Work-Leisure Neutrality
Kurva Laver dapat memberikan argumen mengenai pengaruh pajak penghasilan terhadap pilihan seseorang untuk menggunakan waktunya untuk bekerja atau untuk bersenang-senang, yang sama artinya dengan hipotesis bahwa pajak penghasilan mempengaruhi produktivitas kerja. Namun, argumen tersebut sangat sulit untuk dibuktikan secara empiris karena adanya berbagai variabel lain yang juga mempengaruhi pilihan Wajib Pajak, misalnya status sosial ekonomi. Sebagai contoh, apabila seseorang membutuhkan uang yang sifatnya mendesak, maka orang tersebut akan tetap bekerja meskipun dipotong pajak.
2. Isu Heavy Tax
Pengenaan pajak terhadap orang pribadi dan badan di negara yang masih menggunakan classical system menimbulkan adanya pajak berganda. Misalnya dividen yang dibagikan perusahaan kepada pemegang saham akan dikenai pajak yang bersifat final padahal sebenarnya dividen tersebut berasal dari laba ditahan (retained earning) yang merupakan net income after tax (sudah dikenai pajak pada level perusahaan).
3. Isu Keadilan
Pendukung income-based taxation mengatakan bah capacity to pay harus menjadi criteria dalam menentukan ability to pay, cementer penentang income-based taxation mengatakan bah libel ail untuk mengenakan pajak atas dasar konsumsi.
4 Isu Simplicity
Para penentang income-based taxation juga mempermasalahkan simplifikasi atau kesederhanaan administrasi. Income-based taxation sering dianggap menyebabkan kompleksitas dan huge administration karena di dalamnya terdapat terlalu banyak peraturan perpajakan yang harus dikeluarkan pemerintah, serta perubahan peraturan yang harus dilakukan setiap tahun. Administrasi yang kompleks terutama disebabkan krena adanya ketentuan mengenai penghitungan biaya penyusutan dan amortisasi, pemajakan atas capital gain, serta adanya perlakuan yang berbeda antara Wajib Pajak badan dan Orang Pribadi.
Referensi:
Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak, 2012