PADA tulisan yang kedua ini, kita akan membahas akuntansi untuk perolehan aktiva tetap yang berasal dari:
4) Likuidasi, Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Pemecahan, atau Pengambilalihan Usaha
5) Sumbangan/Hibah
6) Warisan
Likuidasi, Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Pemecahan, atau Pengambilalihan Usaha
Dalam dunia usaha sangat biasa terjadi likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha. Berikut penjelasan masing-masing kejadian tersebut:
Likuidasi
Likuidasi adalah pembubaran perusahaan melalui likuidator sekaligus pemberesan dengan cara melakukan penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, dan penyelesaian sisa harta atau utang diantara para pemilik. Dalam proses likuidasi, likuidator akan menjual aset/harta perusahaan, sehingga ada perusahaan lain yang memperoleh asetnya dari likuidasi.
Penggabungan Usaha / Merger
Penggabungan usaha terjadi apabila ada dua atau lebih perusahaan bergabung, dan salah satu diantaranya tetap berdiri. Misalnya PT A dan PT B bergabung menjadi PT B. Dalam hal ini PT A dihilangkan eksistensinya, sehingga seluruh harta dan hutangnya akan berpindah menjadi atas nama PT B yang tetap eksis. Apabila terjadi merger, perusahaan yang tetap eksis akan memperoleh pengalihan harta dari perusahaan yang namanya dihapus tersebut.
Peleburan Usaha
Peleburan usaha terjadi apabila ada dua atau lebih perusahaan melebur menjadi sebuah perusahaan baru yang berbeda. PT A dan PT B melebur menjadi PT C. Dalam hal ini PT C akan memperoleh pengalihan harta dari PT A dan PT B.
Pemekaran Usaha
Pemekaran usaha adalah pemisahan sebuah badan usaha menjadi dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva-nya ke badan usaha baru tersebut tanpa melakukan pembubaran badan usaha lama. Misalnya PT A, karena struktur organisasi dan cakupan pekerjaan yang terlalu besar, akan dipecah menjadi PT A dan PT B dengan cara mendirikan PT B. Setelah pemecahan, PT A akan konsentrasi pada bidang tertentu yang berbeda dengan konsentrasi PT B.
Pemecahan Usaha
Pemecahan usaha ini sebenarnya sama dengan pemekaran usaha. Tidak ada peraturan yang menjelaskan mengenai arti dari kata pemecahan yang dipergunakan di Pasal 10 ayat (3) UU PPh ini.
Dan meskipun Pasal 10 ayat (3) menyebutkan mengenai likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, tetapi dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 43/PMK.03/2008 serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-28/PJ./2008 hanya disebutkan penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha tanpa menyebut likuidasi, pemecahan, dan pengambilalihan usaha. Mungkin dikarenakan terdapat kesamaan definisi beberapa kata tersebut.
Terkait pemecahan usaha, dalam dunia akuntansi dikenal istilah pemecahan saham/stock split. Pemecahan saham adalah perubahan jumlah lembar saham yang beredar. Pemecahan naik artinya menambah jumlah lembar saham yang beredar dengan memecah selembar saham menjadi n lembar, sementara pemecahan turun dilakukan dengan meningkatkan nilai nominal per lembar saham dan mengurangi jumlah saham yang beredar. Dalam hal terdapat pengalihan harta yang terjadi akibat pemecahan saham (terutama pemecahan turun), mungkin pasal ini berlaku.
Pengambilalihan Usaha / Akuisisi
Pengambilalihan usaha atau akuisisi adalah pengambilan kepemilikan atau pengendalian atas saham suatu perusahaan oleh perusahaan lain. Dalam hal ini perusahaan yang mengakuisisi akan menambah aktiva-nya berupa kepemilikan saham pada perusahaan lain.
Dalam hal terjadi pengalihan harta yang disebabkan karena likuidasi, penggabungan, peleburan usaha, pemekaran usaha, pemecahan, atau pengambilalihan usaha berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UU PPh, maka nilai perolehan yang harus diakui adalah berdasarkan harga pasar wajar harta tersebut, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 43/PMK.03/2008 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-28/PJ/2008 mengatur bahwa perusahaan yang memperoleh pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha boleh menggunakan nilai buku dengan syarat:
a) mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger atau pemekaran usaha
b) melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait
c) memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test), yakni:
1. tujuan utama dari merger dan pemekaran usaha adalah menciptakan sinergi usaha yang kuat dan memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk penghindaran pajak
2. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta masih berlangsung sampai dengan tanggal efektif merger
3. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta sebelum merger terjadi wajib dilanjutkan oleh Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta paling singkat 5 tahun setelah tanggal efektif merger
4. kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka merger tetap berlangsung paling singkat 5 tahun setelah tanggal efektif merger
5. kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka pemekaran usaha wajib berlangsung paling singkat 5 tahun setelah tanggal efektif pemekaran usaha
6. harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta setelah terjadinya merger atau pemekaran usaha tidak di-pindah tangan-kan oleh Wajib Pajak yang menerima harta paling singkat 2 tahun setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha.
Apabila persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha harus menggunakan nilai pasar. Sehingga selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.
Contoh:
PT A merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri tekstil, namun dalam keadaan yang mengkhawatirkan, karena terjadi kesalahan fatal dalam manajemen-nya. Oleh karena itu, PT B, sebagai perusahaan yang bergerak dalam bidang sejenis namun memiliki manajemen yang lebih solid, akan menggabungkan PT A dengan PT B. Sehingga PT A akan dibubarkan, seluruh harta dan hutangnya akan berpindah kepada PT B. Nilai total aset bersih PT A pada saat penggabungan perusahaan adalah Rp2 triliun berdasarkan nilai buku, dengan nilai pasar wajar sebesar Rp3 triliun. Sehingga atas kejadian ini PT B harus mencatat:
Uraian | Debit | Kredit |
Aset | 3.000.000.000,- | – |
Modal | – | 2.000.000.000,- |
Keuntungan a/ pengalihan harta krn penggabungan | – | 1.000.000.000,- |
Sumbangan/Hibah dan Warisan
Pasal 10 ayat (4) UU PPh menyatakan bahwa apabila terjadi penyerahan harta:
a) yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan adalah nilai sisa buku dari pihak yang mengalihkan atau nilai yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak
b) yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan adalah nilai pasar dari harta tersebut
Sementara Pasal 4 ayat (3) huruf a adalah mengenai penghasilan berupa bantuan atau sumbangan serta harta hibahan yang dikecualikan dari objek pajak sedang huruf b adalah mengenai warisan yang dikecualikan dari objek pajak. Oleh karena itu Pasal 10 ayat (4) ini dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1) Apabila terjadi pengalihan harta berupa bantuan/sumbangan serta harta hibahan yang bukan objek pajak, maka perolehan harta tersebut dicatat sebesar nilai sisa buku dari pihak yang mengalihkan atau nilai lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak
2) Apabila terjadi pengalihan harta berupa bantuan/sumbangan serta harta hibahan yang merupakan objek pajak, maka perolehan harta tersebut dicatat sebesar nilai pasar dari harta tersebut
3) Apabila terjadi pengalihan harta karena warisan, maka dicatat sebesar nilai sisa buku harta atau nilai lain yang dietapkan oleh Dirjen Pajak
Di sisi lain, bantuan/sumbangan serta harta hibahan bukan merupakan objek pajak apabila memenuhi syarat:
a) bantuan/sumbangan bukan menjadi objek pajak bagi pihak yang menerima jika sumbangan tersebut berupa sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
b) harta hibahan bukan menjadi objek pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan
Contoh:
1) PT Delta Abadi menghibahkan kendaraan operasional-nya berupa bus kepada PT Dunia Sahabat yang bergerak di bidang pemeliharaan orang tua lanjut usia (panti jompo). PT Delta Abadi tidak memiliki hubungan usaha maupun kepemilikan dan penguasaan dengan PT Dunia Sahabat. Kendaraan tersebut dibeli dengan harga Rp750.000.000,- dan sudah disusutkan sebesar Rp500.000.000,- sehingga nilai sisa buku kendaraan tersebut pada saat dialihkan adalah sebesar Rp250.000.000,-
Maka pada saat menghibahkan kendaraan tersebut PT Delta Abadi akan mencatat:
Uraian | Debit | Kredit |
Kerugian karena harta yang disumbangkan | 250.000.000,- | – |
Akumulasi penyusutan bus | 500.000.000,- | – |
Bus | – | 750.000.000,- |
Sementara PT Dunia Sahabat akan mencatat:
Uraian | Debit | Kredit |
Bus | 250.000.000,- | – |
Modal | – | 250.000.000,- |
Bersambung ke B.1.3.
Semoga bermanfaat.
————————-
referensi:
1) Wikipedia
2) http://pasarmodal.blog.gunadarma.ac.id/?p=4028
3) http://diditnote.blogspot.com/2013/04/pemecahan-saham-stock-split.html
4) http://ngopibarengibnu.blogspot.com/2011/12/pengertian-akuisisi.html
5) Akuntansi Pajak, Izzudin, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, tanpa tahun
6) UU PPh
7) Peraturan terkait