Haruskah Bendahara Pemerintah Bertransaksi dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP)?

BEBERAPA Bendahara Pemerintah bertransaksi hanya dengan PKP, beberapa yang lain bertransaksi juga dengan non-PKP? yang mana yang sesuai dengan ketentuan?

Pertanyaan ini sering mencuat, baik dalam obrolan tingkat warung kopi maupun obrolan serius antara Wajib Pajak dan fiskus. Sebuah vendor yang non-PKP misalnya, mengeluh mengapa untuk bertransaksi dengan bendahara instansi A harus PKP terlebih dahulu, padahal selama ini vendor tersebut bertransaksi dengan instansi B tanpa harus dikukuhkan terlebih dahulu menjadi PKP. Vendor tersebut mempertanyakan, apakah beda ketentuan antara instansi A dan instansi B?

Apabila kita telusuri di beberapa peraturan perpajakan terkait, misalnya di Pasal 16A UU PPN No 42 tahun 2009 dan di Keputusan Menteri Keuangan nomor 563/KMK.03/2003 tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah dan KPKN untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan PPN dan PPn BM serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya; tidak terdapat pasal khusus yang mengatakan bahwa bendahara harus bertransaksi hanya dengan PKP. KMK ini hanya mengatur ketentuan apabila bendahara bertransaksi dengan PKP. 

Dengan kata lain, boleh dong bendahara bertransaksi dengan non-PKP? Mari kita lihat!

Pada tahun 2006 Menteri Dalam Negeri menerbitkan peraturan nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 59 tahun 2007. Dimana di Pasal 205 ayat (3) huruf c Permendagri tersebut menyebutkan bahwa dalam rangka mengajukan permintaan pembayaran, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) menyiapkan dokumen SPP-LS yang salah satu lampirannya berupa SSP disertai Faktur Pajak yang telah ditandatangani Wajib Pajak dan Wajib Pungut. 

Sementara itu pada tahun 2012 telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dimana pasal 40 ayat (2) huruf h menyebutkan bahwa Pembayaran tagihan kepada penyedia barang/jasa dilaksanakan berdasarkan bukti-bukti yang sah, salah satunya adalah Faktur Pajak beserta SSP yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak/Bendahara Pengeluaran.

Memperhatikan dua ketentuan di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bendahara pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, harus bertransaksi dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Hal ini dikarenakan hanya PKP yang bisa menerbitkan Faktur Pajak sebagai bukti sah pemungutan PPN/PPn BM yang harus dilampirkan dalam dokumen pembayaran dari uang negara, mengingat non-PKP dilarang menerbitkan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU No 42 tahun 2009. Meski pada prakteknya, misalnya berdasarkan cerita rekan saya yang menjadi bendahara di salah satu instansi di daerah yang agak terpencil, susah menemukan pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP di tempat tersebut.

Mungkin apabila dikaitkan dengan batasan pengusaha kecil sebagaimana ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 197/PMK.03/2013 adalah pengusaha yang peredaran brutonya tidak melebihi Rp4,8 miliar, maka pengusaha yang akan bertransaksi dengan bendahara pemerintah, meskipun peredaran brutonya tidak melebihi Rp4,8 miliar, harus dikukuhkan terlebih dahulu menjadi PKP.

Semoga bermanfaat!

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.