SAYA sering melihat tempat makan di pinggir jalan yang rame-nya minta ampun, rameeee banget, sampai-sampai si penjualnya tidak terlihat. Saya juga sering melihat tempat makan yang cabangnya ada di mana-mana, dan hampir semua cabangnya rame dan berhasil. Saya sering menjahit baju, dan sekali menjahit ongkosnya lebih dari seratus lima puluh ribu rupiah, plus saya harus ekstra sabar karena kain saya akan dijahit di urutan ke sekian puluh, karena mengantri dengan pelanggan lainnya.
Saya juga sering melihat bengkel yang jam 7 pagi sampai jam 9 malam masih saja rame, sampai-sampai saya harus datang jam 6 pagi untuk mengantri sebelum bengkelnya buka. Saya sering melihat katering yang pesanannya dari mana-mana, sehari bisa lebih dari seribu boks pesanan makanannya.
Semuanya rame dan laku. Pertanyaan saya selanjutnya, mereka bayar pajak nggak ya?
Pernah saya iseng tanya-tanya ke tukang soto yang jualannya ruameee banget. Selidik punya selidik, katanya dalam sehari bisa habis sekitar 250 mangkok, dimana keuntungan bersih satu mangkoknya adalah empat ribu rupiah, dia berjualan 6 hari seminggu karena hari Jumat libur. Bisa dihitung kan berapa keuntungan bersihnya sehari? seminggu? sebulan? setahun? dikurangi PTKP (asumsi K/3)? ketahuan kan berapa pajaknya? Giliran saya tanya, bayar pajak gak pak? Apa coba jawaban Bapak tukang soto itu?
Laah mas, usaha kecil gini ngapain bayar pajak? Yang usahanya besar saja pada gak mau bayar pajak ….
Kalau dipikir-pikir benar juga sih apa kata tukang soto ini. Siapa coba yang mau membayar pajak??
Pernah mendengar istilah shadow economy? Sebenarnya ada banyak istilah lain yang dipergunakan selain shadow economy, misalnya underground economy, informal economy (ini yang lebih sering kita dengar: sektor informal), parallel economy, black economy, hidden economy, unobserved economy, second economy, irregular economy, bahkan ada yang menyebutnya sebagai cash economy. Secara umum dapat diartikan bahwa shadow economy adalah semua aktivitas ekonomi yang berkontribusi terhadap Produk Nasional Bruto maupun Produk Domestik Bruto tetapi aktivitas tersebut sama sekali tidak terdaftar (Fiedrich Schneider dan Dominik H. Enste dalam Tobing, 2014).
OECD sendiri menggunakan istilah nonobserved economy untuk shadow economy yang tengah kita bahas. Dimana OECD membaginya ke dalam 4 aktivitas utama, yaitu:
1. Produksi bawah tanah (underground production); yaitu aktivitas produktif yang bersifat legal, tetapi sengaja disembunyikan dari otoritas publik dengan tujuan mengelak dari pajak dan peraturan lainnya
2. Produksi ilegal (illegal production); yaitu aktivitas produktif yang menghasilkan barang dan jasa yang dilarang oleh hukum
3. Produksi sektor informal (informal sector production); aktivitas produktif yang legal yang menghasilkan barang dan jasa dalam skala produksi kecil yang umumnya dilakukan oleh usaha rumah tangga yang tidak berbadan hukum
4. Produksi rumah tangga untuk dipergunakan sendiri (production of households for own final use)
Beberapa contoh lain terkait shadow economy dapat diberikan sebagai berikut:
a. aktivitas ekonomi yang bersifat ilegal misalnya penyelundupan, perjudian, prostitusi, dan perdagangan narkotika, dan
b. aktivitas ekonomi yang legal tetapi penghasilannya tidak dilaporkan kepada otoritas pajak, misalnya kasus tukang soto di atas.
Undang-undang perpajakan kita pada dasarnya mengenal pengertian penghasilan dalam arti umum. Artinya, penghasilan tidak dibedakan apakah itu legal atau ilegal, apalagi halal atau haram. Oleh karena itu setiap penghasilan yang diperoleh dengan cara apapun pada dasarnya dapat dipajaki.
Berdasarkan data dari Friedrich Schneider, Andreas Buehn dan Clauido E. Montenegro (dalam Tobing, 2014), rata-rata shadow economy di Indonesia dari tahun 1999 hingga 2007 berkisar pada angka 18,9% dari PNB kita. Angka yang menurut saya lumayan fantastis. Bayangkan saja: hampir 20% dari total kontributor PNB di Indonesia dipastikan tidak membayar pajak.
Memangnya seberapa besar potensi pajaknya?
Pertanyaan ini tentu sangat susah dijawab, terutama karena shadow economy tersebut masih harus dipetakan menjadi badan hukum atau orang pribadi, apakah usahanya dikenai pajak atau tidak, dan seterusnya. Secara umum, berdasarkan hukum positif yang berlaku saat ini, potensi pajak dari shadow economy yang hilang adalah:
1. PPh Pasal 4 ayat (2)
Tentu saja yang dimaksud adalah PPh Pasal 4 ayat (2) sebagaimana diatur dalam PP No 46 tahun 2013. Pemerintah kehilangan potensi pajak sebesar 1% dari nilai shadow economy, dengan catatan shadow economy dilakukan oleh orang pribadi yang tidak melakukan usaha sehubungan dengan pekerjaan bebas.
2. PPh Pasal 25/29
Pelaku shadow economy yang tidak dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 1% seharusnya dikenai PPh Pasal 25/29, dengan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU PPh.
3. PPh Lainnya
Potensi pajak lainnya yang juga hilang diantaranya adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, maupun PPh Pasal 4 ayat (2) lainnya.
4. PPN
Jika pelaku shadow economy sudah mempunyai penghasilan bruto di atas 4,8 miliar rupiah, maka dia harus dikukuhkan usahanya sebagai pengusaha kena pajak, sehingga ada potensi PPN 10% dari total omset-nya. Dengan catatan barang/jasa yang diserahkan adalah BKP/JKP dan penyerahannya dilakukan di dalam daerah pabean.
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas ada potensi besar yang hilang dari aktivitas shadow economy. Lalu apa yang dilakukan pemerintah? Kita tunggu saja action dari pemerintahan yang baru mengenai pemajakan pada sektor shadow economy tersebut, terutama terkait pendataan aktivitas shadow economy agar memiliki NPWP dan diawasi pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya.
Sekedar mengingatkan, pada kurun waktu 2012-2013 DJP melakukan Sensus Pajak. Yang jika datanya valid, bisa dimanfaatkan sebagai data awal untuk mendata aktivitas shadow economy.
—————————————–
Referensi
UU PPh, Inside Tax edisi 14, Maret 2013