MANUSIA sering kali mengkotak-kotakkan diri, mengelilingi diri sendiri dengan garis-garis maya sebagai pembatas: garis batas. Manusia mengelompok-kelompokkan diri ke dalam komunitas-komunitas tertentu. Lihat saja smartphone kita saat ini, terutama di aplikasi pengolah pesan. Ada berapa grup yang kita bergabung ke dalamnya? Grup keluarga, teman SD, teman SMP, teman SMA, teman kuliah, teman kerja, kelompok penyuka shopping, dst, dst. Semuanya membatasi kita ke dalam kotak.
Garis batas kadang memberikan manusia identitas. Garis batas kelompok penyuka shopping memberikan identitas sebagai kaum hedon yang suka menghamburkan uang. Garis batas kelompok penyuka buku filsafat memberikan identitas sebagai kaum intelektual, meski kadang yang timbul justru identitas kaum cupu. Meski kadang yang terjadi justru sebaliknya. Identitaslah yang mengkotak-kotakkan manusia ke dalam garis batas. Identitas kulit putih akan mengkotakkan manusia ke dalam garis batas dari kulit hitam. Begitulah garis batas dan identitas, kadang saling tindih hingga tak jelas siapa yang sebenarnya menyebabkan mereka.
Garis batas merupakan zona aman manusia. Ketika manusia melintasi garis batasnya dan masuk ke dalam garis batas orang lain, ia melewati zona aman, ia akan merasa terancam. Garis batas kadang menyelamatkan, meski kadang garis batas juga yang dalam sejarah telah menyebabkan banyak korban: warna kulit, agama, politik, pendidikan, DNA, dan lain-lain. Garis batas adalah garis tak kasat mata namun nyata. Ia ada, dan sangat diakui. Tuhan memberikan garis batas antara Adam-Hawa dan Iblis. Kita menciptakan garis batas kita sendiri.
Garis batas adalah kodrat yang juga memberikan variasi sejarah pada kehidupan manusia. Garis batas adalah manusia itu sendiri.
————————————————–
terinspirasi oleh karya Agustinus Wibowo: Garis Batas