AAAH … tidak terasa liburan sudah berakhir, sekarang harus kembali ke kehidupan nyata, bekerja dan mencari duit :D. Saatnya con te partiro (time to say goodbye) kepada liburan yang menyenangkan, melimbungkan asa hingga ke langit ke tujuh (lebay!). Bagaimana tidak? Berkumpul bersama keluarga, makan masakan rumahan setiap hari, dan bisa jalan-jalan ke sana kemari bersama keluarga tercinta, priceless. Dan sekarang semuanya sudah berakhir… hiks. Hampir berakhir juga cerita dan berita tentang mudik lebaran kemarin, karena sekarang, hari ini, sudah h+7 lebaran. Mungkin besok sudah tidak ada lagi berita macetnya mudik di tv-tv.
Berbicara tentang mudik tentu saja tidak akan jauh-jauh dari berita macet, jumlah kendaraan yang membludak terutama yang melewati jalur utara dan selatan pulau Jawa, dan beberapa berita tentang kecelakaan. Selalu tentang tiga hal itu. Fenomena mudik adalah fenomena budaya sekaligus potret infrastruktur di Indonesia.
Kemacetan bisa disebabkan karena kendaraan yang lewat terlalu banyak, atau jalan yang tersedia tidak mencukupi. Dalam kasus mudik tentu saja terjadi karena keduanya. Budaya mudik yang ada di masyarakat kita menanamkan paradigma di kalangan perantau bahwa perantau harus pulang dari saat lebaran, meski hanya sebentar saja, selama beberapa hari. Budaya ini tentu saja bukan budaya yang buruk, karena menyambung silaturahmi merupakan perbuatan baik menurut agama Islam. Namun seharusnya di sisi lain diimbangi dengan penyediaan infrastruktur yang memadai, dalam hal ini oleh pemerintah.
Penyediaan jalan yang lebar, dan cukup jumlahnya menjadi PR besar bagi pemerintah. Pemerintah Indonesia, bukan pemerintah Hindia Belanda atau Jepang. Iya, pemerintah kita sendiri, bukan pemerintahan lain. Saya pernah mendengar beberapa celetukan semisal
‘coba Indonesia dijajah Inggris, mungkin kita akan lebih makmur‘
‘Aah Jepang sih gak ngurusin kita sama sekali, boro-boro meninggalkan infrastruktur yang bagus …‘
dsb dsb
Saya sempat terjebak juga sih oleh pemikiran seperti itu. Apa iya kalau kita dijajah Inggris kita bisa lebih makmur seperti Malaysia misalnya? tapi setelah dipikir-pikir, mungkin itu cara pikir yang salah. Cara pikir bangsa yang secara mental sudah sangat terjajah. Agustinus Wibowo menyebutnya sebagai penyakit yang disebut inferiority complex, tidak lagi merasa percaya diri setelah kehinaan yang begitu lama, lalu mencari kebanggaan dalam sejarah masa lalu dan simbol-simbol abstrak belaka (Garis Batas, 2011).
Hal yang sama juga terjadi di negeri atap dunia, Tajikistan, dimana masyarakatnya justru terbengkelai setelah merdeka, tetapi sejahtera saat dijajah.
Kembali lagi kepada penyediaan jalan yang lebar dalam jumlah yang memadai yang merupakan PR besar pemerintah kita. Pertanyaannya, apa bisa? Harus bisa. Pemerintah harus mencari cara lain selain memperbaiki jalan yang sudah ada (dengan kondisi jelek) yang justru menjadi proyek abadi sumber korupsi birokrasi. Padahal tahu sendiri kan, birokrasi di kita masih seret. Birokrasi yang seret membutuhkan minyak pelumas untuk melancarkan perputaran rodanya: uang, uang, uang; uang korupsi (Agustinus Wibowo, 2011).
Lalu darimana uang untuk membangun infrastruktur tersebut? Tentu saja dari APBN lah. APBN darimana uangnya? hampir 80 persen diantaranya adalah dari uang pajak. Siapa yang membayar pajak? Warga negara. Memang seperti itu seharusnya pembangunan di suatu negara, dari masyarakat, oleh pemerintah, untuk masyarakat, melalui uang pajak.
Semoga mudik di tahun-tahun depan tidak lagi dipenuhi berita kemacetan, kecelakaan, dan penggunaan kendaraan yang tidak semestinya karena infrastruktur sudah bagus, jalan sudah banyak, bus sudah banyak, kereta juga sudah banyak, sehingga pemudik mempunyai lebih banyak pilihan kendaraan umum daripada kendaraan pribadi atau motor yang memang tidak seharusnya dipergunakan untuk jarak jauh.