SAYA tidak terlalu sering membelikan baju baru untuk orang tua saya, terutama ayah. Paling setahun sekali, pas mau lebaran. Sedangkan membeli baju baru untuk ibu sedikit lebih sering, karena saya suka batik, jadi kalau ada batik yang saya suka, dan saya pikir cocok untuk ibu saya, biasanya saya akan belikan untuk ibu saya. Tapi tidak begitu dengan ayah.
Sejujurnya saya tidak tahu selera berpakaian ayah saya seperti apa. Karena seringnya saat saya belikan baju, ekspresi ayah saya cuma datar. Tidak menunjukkan ekspresi senang, tapi juga tidak menunjukkan ekspresi ketidaksukaan. Cuma bilang ‘terima kasih’ biasanya. Plus, kadang sudah saya belikan tapi tidak dipakainya. Gara-gara itulah saya jarang membelikan ayah saya baju baru.
Di sisi lain, saya paling tidak suka menggunakan baju atau kaos yang ada tulisan instansi tempat saya bekerja. Tidak cuma tulisan, tapi juga gambar, semboyan, atau penunjuk apapun. Saya tidak suka—tidak terlalu suka kecuali terpaksa. Jadi setiap mendapat kaos atau baju atau seragam dari kantor, setelah tidak digunakan, atau baju-baju tersebut hanya dibagikan tanpa ada kewajiban menggunakannya, biasanya akan saya berikan ke ayah saya. Karena saya tahu, ayah saya suka pergi ke sawah, jadi butuh banyak kaos untuk berkotor-kotor ria, jadi saya pikir kaos-kaos itu bisa dimanfaatkan.
Saya sih mikirnya, daripada kaos-kaos dan seragam-seragam (seragam olah raga maupun seragam perayaan hari tertentu) ini tidak terpakai, lebih baik saya kirimkan ke rumah, jadi bermanfaat. Ternyata ayah saya yang langganan dengan baju-baju yang saya kirimkan tersebut.
Suatu siang saya ngobrol dengan ayah saya, yang pada intinya, beliau bangga menggunakan baju-baju itu. Saya tidak mengerti di mana letak kebanggaannya, tapi yang saya tangkap dari pembicaraan saya dengan ayah saya adalah bahwa dia bangga menunjukkan kepada orang-orang dimana anaknya bekerja.
Saat itu saya merasa dipukul palu godam. Saya bahkan memberikan baju-baju itu karena saya enggan menggunakannya, saya malu mengenakannya. Ternyata ayah saya justru bangga dan bahagia dengan baju-baju itu. Another jleb moment. Mengobrol dengan ayah saya kadang membuat saya speechless, awkward, sekaligus malu pada diri sendiri. Ayah saya yang sederhana, tulus, dan apa adanya.
Maafkan anakmu ini bah, yang kadang membelikan sarung dan baju baru untukmu hanya setahun sekali. 😦
————————————————–
Bintaro, 28 Juni 2014
Menjelang Shalat Tarawih Pertama 1435 H