Jepang: Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama

KALAU saya ditanya, apa saya jatuh cinta dengan negara Jepang? tentu saja saya jawab YA. Bahkan saya sudah jatuh cinta sejak pandangan saya yang pertama. Sejak mata saya menatap Jepang dari pesawat yang baru akan landing di bandara Kansai pada Rabu, 21 Mei 2014 lalu. Begitu pesawat kami menyentuh landasan, jantung saya sudah berdegup kencang, merasakan deru aliran darah yang lebih cepat dari biasanya. Aliran darah yang membawa perasaan kagum dan jatuh cinta, pada apa yang saya lihat pertama kali: keteraturan.

Orang Jepang melakukan hal-hal dengan baik dan teratur. They did it well. Mereka melakukannya dengan—saya tidak tahu kalimat apa yang pantas—pas, ideal, penuh pemikiran matang, dan melakukannya dengan sempurna. Struktur bangunan, jalan-jalan, sarana transportasi, dan perilaku mereka yang … apik.

Keluar dari Kansai International Airport (KIX) kami menuju Osaka-Namba dengan menggunakan bis. Bus Stop bandara Kansai tepat di depan bandara, cukup memilih nomor bus stop yang sesuai tujuan saja. Bis kami datang sekitar 15 menitan setelah kami menunggu. Tidak ramai penumpang, karena hanya ada kami saja berlima, ditambah satu penumpang lain yang duduk di bagian belakang. Kami sengaja duduk di depan supir agar bisa langsung melihat pemandangan yang akan kami lewati sepanjang perjalanan, meski kemudian di tengah perjalanan kami baru menyadari bahwa kursi yang kami duduki adalah kursi prioritas. Pantas saja bapak supirnya dari awal perjalanan lirak-lirik kami terus 😀

Bis kami melewati jalan tol sepanjang perjalanan. Tidak seperti jalan tol di Jakarta, jalan tol di Jepang begitu sepi. Tentu saja ini ada korelasinya dengan masyarakat Jepang yang lebih senang menggunakan kereta dibandingkan bis. Jalan tol yang sepi, mobil-mobil sedikit, hanya ada beberapa bis, beberapa kendaraan besar, dan beberapa mobil-mobil mewah saja yang lewat di tol pagi itu. Pintu tol tempat membayar tidak dijaga petugas, karena menggunakan sensor otomatis. Saya sendiri tidak mengerti bagaimana mekanisme pembayarannya. Mungkin menggunakan semacam sensor tertentu yang dipasang di kendaraan, lalu secara otomatis akan memotong sisa deposit dari suatu alat yang dipasang di kendaraan tersebut. Ah entahlah, sepertinya Tuhan memang menganugerahi orang Jepang dengan kepintaran yang lebih dibandingkan orang-orang kita.
DSC01100

Keluar dari tol, bis kami melewati perkotaan, yang sama lengangnya, hanya sedikit kendaraan. Hampir di depan semua bangunan, ada sepeda terparkir. Orang Jepang memang hobi naik sepeda, selain hobi jalan kaki. Pejalan kaki dan pengguna sepeda menggunakan jalur yang sama, jalur pedestrian. Bahkan ada salah satu jalan sempit di Kyoto yang hanya bisa dilewati satu buah kendaraan saja, namun di kanan kirinya tetap buat pedestrian untuk jalur pejalan kaki dan pesepeda.

WP_20140521_043

Buat kita yang sering nyeberang jalan di Jakarta, tentu sedikit takut dan ketar-ketir saat mau menyeberang. Selain harus tengok kanan-kiri untuk memastikan tidak ada kendaraan yang lewat, juga untuk memastikan kita tidak menjadi korban dari pengendara yang tidak bertanggung jawab. Tidak begitu dengan di Jepang. Jalur pedestrian dibuat bersahabat, pejalan kaki dan pesepeda begitu dihargai, bahkan harus dilindungi. Untuk menyeberang jalan kita tidak perlu ketakutan, karena hampir setiap beberapa puluh meter ada zebra cross tempat menyeberang. Berita baiknya adalah, zebra cross nya tidak hanya difungsikan sebagai pajangan seperti di Indonesia, tetapi juga benar-benar difungsikan.

IMG-20140522-WA0086

WP_20140521_049

Trotoar dibuat dengan garis yang lebar-lebar, lebih lebar dari trotoar di Indonesia. Setiap trotoar pasti ada lampu merah dan penanda apakah kita boleh menyeberang atau tidak. Penandanya berupa lampu gambar orang yang menyala merah untuk tidak menyeberang, dan hijau penanda boleh menyeberang. Selain lampu, ada penanda bunyi juga. Bunyinya seperti bunyi pistol mainan anak-anak, ciuw … ciuw … ciuw … dengan bunyi konstan. Tidak seperti di stasiun Palmerah di Jakarta, yang bunyinya semakin cepat seiring dengan perubahan warna lampu, bikin gugup, hehe.

Setiap lampu hijau menyala, orang-orang langsung berbondong-bondong menyeberang. Apabila ada kendaraan yang lewat, otomatis berhenti. Beda sekali dengan di Indonesia kan, kendaraan tetap jalan. Pejalan kaki sama sekali tidak dihargai.

Di Tokyo—tepatnya di Shibuya, dekat dengan patung anjing fenomenal, Hachiko—ada suatu perempatan super ramai yang dijadikan salah satu objek wisata, namanya Scramble Crossing. Merupakan perempatan tempat orang menyeberang, yang ditengah-tengahnya ada zebra cross diagonal, sehingga ada 6 zebra cross dalam satu perempatan super besar. Mungkin karena itulah dipilih kata scramble. Dan, ramenya minta ampun. Perempatan ini terletak tepat di depan gedung 109, yang merupakan departement store yang (katanya) tertua di Jepang. Semua orang ingin menyeberang, dan tidak sedikit yang mengambil foto/video.

 

DSC01894

DSC01889

DSC01888

DSC01881

Saya jatuh cinta pada Jepang, sudah jatuh cinta untuk kesekian kalinya pada saat saya menyeberang jalan di sana. Karena saya merasa aman, nyaman, terlindungi, dan dihargai. Semoga negara kita, bisa mencontoh Jepang dalam urusan pedestrian, trotoar, zebra cross, dan penghargaan terhadap pejalan kaki.

Amin

———————————————————————————–

Foto-foto oleh Rio, Irwan, Saya, Dini, dan Tanzil

 

 

 

 

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.