Bagaimana jika kita didaulat oleh seseorang untuk mengintip penganten baru setiap malamnya selama 40 hari? Buat apa? Untuk memastikan apakah (maaf) keperawanan penganten wanita telah tertembus atau belum. Seperti itulah yang dialami Centhini, seorang centhi (batur/asisten pribadi), yang didaulat menunggui malam-malam pengantin majikannya, Raden Ayu Tambangraras bersama suaminya Syekh Amongraga.
Kalau saya yang jadi Centhini (FYI, Centhini ini perempuan lho) sih mau, hehe.
Seperti itulah novel yang diceritakan oleh Sunardian Wirodono, berjudul Centhini, 40 Malam Mengintip Sang Pengantin. Novel ini memiliki setting jaman kerajaan Mataram masih jaya, masanya Sunan Giri dulu. Meski settingnya jaman dulu, tapi SW—begitu sebutan Sunar—menceritakan dengan gaya kocak dan masa kini, sangat menghibur. Centhini memang diceritakan sebagai centhi yang nurut sama majikannya, namun dia juga banyak berdialog dengan dirinya sendiri (selftalk) dan selftalknya itulah yang dia ceritakan kepada kita pembaca.
Dia menceritakan bagaimana pengalaman dia 40 malam menunggui malam pengantin majikannya. Degdegan, penasaran, sedih, ngantuk, pusing, dst. Meski menceritakan tentang malam pengantin, tapi sama sekali tidak ada unsur porno dalam novel ini. Banyak pelajaran yang bisa kita petik, terutama dari wejangan-wejangan Syekh Amongraga kepada istrinya, Tembangraras. Kita juga bisa belajar betapa mesranya Amongraga memperlakukan istrinya.
Novel yang lumayan menghibur, cocok dibaca saat kita merasa rindu dengan bacaan yang banyak menceritakan budaya bangsa sendiri, sejarah, dan terutama sejarah sastranya, karena novel ini disarikan dari Serat Centhini yang berasal dari Keraton Surakarta.
Suatu hari mungkin aku akan membaca buku ini (jika masih ditemukan). Centhini adalah abdi yang menembang dengan sangat indah, dan selftalk nya penuh gairah seni dan sahaja abdi dalem đŸ™‚
LikeLike
Iya, betul sekali.
LikeLike