Menurut Phytagoras dalam Seife (2000:41), tidak ada perbedaan antara matematika dan musik. Harmoni yang dihasilkan oleh alat musik adalah harmoni matematika, sekaligus harmoni alam semesta. Dengan demikian—masih menurut Phytagoras—memahami alam semesta akan sama mudahnya dengan memahami proporsi dalam matematika.
Memang menurut saya tidak jelas sih Phytagoras ini, apakah dia seorang pemusik atau matematikawan. Sebuah sumber mengatakan bahwa Phytagoras itu sebenarnya seorang musisi, dia menemukan perfect fifth saat memainkan monochord (nama salah satu alat musik pada waktu itu).
Tapi terlepas apakah Phytagoras itu seorang musisi atau seorang matematikawan, saya setuju sih dengan pendapat dia, bahwa harmoni musik, maupun harmoni matematika adalah harmoni alam semesta.
Beberapa hari yang lalu, seiring dengan harmoni suara gojes-gojesnya kereta api, saya melakukan trip singkat, dari Jakarta ke Cirebon. Berangkatnya saya berdua dengan sahabat saya, Jalu, untuk kemudian bergabung dengan sahabat saya dari Kudus, Adin. Seperti biasa, kami adalah rombongan Power Rangers yang suka ngumpul dan jalan-jalan. Sebenarnya kami berlima, hanya saja kemarin kebetulan Eka sakit, sehingga tidak bisa ikut, sementara Asep sudah ada buntutnya, jadi agak susah buat diajak-ajak, hehe.
Cirebon bukanlah tempat yang jauh, namun bukan juga tempat yang dekat dari Jakarta. Naik kereta api Argo Jati, kami menghabiskan waktu sekitar 2,5 jam untuk menempuh perjalanan Jakarta-Cirebon. Cirebon, dari dulu saya selalu penasaran sama kota itu karena sejarahnya.Sebenarnya bukan karena sejarahnya juga sih, tapi karena batik dan kulinernya itu lho.
Stasiun Cirebon adalah stasiun yang besar, indah, dan baru karena baru diperluas. Stasiun ini memiliki lorong bawah tanah—kalau tidak disebut bawah rel—untuk menyeberang dari satu peron ke peron lainnya. Lorong bawah tanah ini baru saya temui di stasiun Gambir, Senen, Cirebon, dan Stasiun Tugu di Jogja. Dimana untuk keluar pun kita harus melewati lorong bawah tanah tersebut. Di pintu keluar kita akan disambut dengan tulisan Selamat Datang di Cirebon. Seperti stasiun lainnya, stasiun Cirebon juga bergaya lama. Dan di sini lah saya baru tahu bahwa nama lama Cirebon adalah Cheribon, seperti yang ada di lukisan besar di stasiun Cirebon.
(Ucapan selamat datang di lorong bawah tanah Stasiun Cirebon)
(Lukisan besar di Stasiun Cirebon, dengan tulisan Cheribon)
Entah benar dahulu bernama Cheribon atau hanya salah tulis, saya tidak tahu, saya hanya menyimpulkannya begitu. Stasiun Cirebon bisa dikatakan bagus, meski ruang tunggunya masih belum representative untuk ukuran stasiun yang cukup besar. Di depan stasiun, terdapat lokomotif besar jaman dulu, seperti loko kereta api mainan jaman saya kecil, yang sekarang sudah tidak lagi kita temukan. Ini menunjukkan bahwa Stasiun Cirebon ini sudah lama menjadi bagian sejarah perkeretaapian di Indonesia.
(Loko tua di depan Stasiun Cirebon)
(Jalan di depan Stasiun Cirebon)
Satu hal yang sangat menyenangkan adalah, begitu kita keluar dari stasiun, di kanan kiri jalan sudah banyak kita temukan kuliner khas Cirebon. Nasi jamblang, empal gentong, dan bubur ayam sudah bertebaran di sekitar stasiun. Sayangnya bukan tempat makan itu yang ingin kami tuju, jadi kami tidak mampir dan mencicipinya. Bagi yang belum memiliki tempat menginap di Cirebon, di sekitar stasiun juga bisa ditemui banyak hotel, dari hotel kecil sederhana sampai hotel yang sudah lumayan bagus seperti Amaris.
Cirebon bisa dibilang mirip Jogja dalam hal transportasi lokalnya, karena banyak becak di sana. Jadi jangan khawatir selama di Cirebon tidak ada kendaraan, karena becak akan mengantarkan kita kemanapun. Tarif becaknya pun masih standar, berkisar antara 5-25 ribu, tergantung jarak jauh dekatnya. Hanya saja memang di Cirebon tidak akan kita temukan taksi seperti di kota lain.\
Kunjungan pertama kami adalah Empal Gentong Amarta. Awalnya saya pikir yang namanya empal gentong itu hanya daging dan jeroan yang dimasak seperti gulai, dengan santan dan rempah di dalamnya, ternyata ada empal asem juga, yang tidak menggunakan santan. Sekilas empal gentong ini apabila kita makan mirip-mirip rasanya dengan soto betawi. Di Amarta, selain tersedia empal gentong dan empal asem, tersedia juga satenya yang khas dan maknyus.
Batik Trusmi memang sudah terkenal di mana-mana ya. Katanya belum ke Cirebon kalau tidak ke batik Trusmi. Awalnya saya tidak tau, Trusmi itu nama toko-kah atau nama orang. Ternyata, Trusmi itu nama perkampungan, yang memang banyak pengrajin batik di sana, kemudian mereka membuka showroom (jiaaah showroom, dikira motor) yang juga sekaligus toko mereka. Jadi jangan heran kalau sepanjang jalan, kanan kiri, semuanya toko batik dengan motif dan harga yang sangat variatif. Kampung Batik Trusmi ini mirip sekali dengan Kampung Batik Lawean di Solo. Batik tulis yang di Jakarta akan kita temui seharga 350-500 ribu, di Trusmi bisa kita temui dengan harga 85-300 saja, tergantung kualitas kain dan jenis motifnya. Motif khas Cirebon adalah mega mendung—salah satu motif favorit saya—yang dikreasikan menjadi beraneka bentuk dan warna kain.
Kuliner khas Cirebon yang lain adalah nasi jamblang. Saya pikir nasi jamblang itu nasi dengan kuah, ternyata ke-khas an nasi jamblang hanya dari cara makannya yang menggunakan daun jati (ini mungkin ada hubungannya dengan Cirebon merupakan tempat syekh Gunung Jati). Lauknya kebanyakan bersantan, seperti semur daging, semur jengkol, semur telur, tahu goreng, tempe goreng, kerang, ati, ampela, dst.
Cirebon memang kota yang besar, dengan jalanan besar dan beberapa pusat perbelanjaan. Malam harinya sangat semarak, banyak sekali tempat makan dan nongkrong sepanjang jalan. Bukan kafe tentunya, tapi warung-warung tenda pinggir jalan, sekedar menjual Surabi (srabi), es buah, susu segar, bisa menjadi tempat nongkrong yang seru untuk berkumpul bersama sahabat.
Selepas tengah malam kami menyudahi jalan-jalan hari itu, karena badan sudah pegel-pegel rasanya. Kami menginap di hotel murah namun nyaman, di daerah sekitar stasiun.
Belum lengkap rasanya jika kita ke Cirebon, kalau tidak berkunjung ke kraton-kratonnya. Ada tiga kraton di Cirebon, yaitu Kanoman, Kasepuhan, dan Keprabon. Saya tidak tau apakah Kanoman berkaitan dengan kata ‘nom’ yang berarti muda, Kasepuhan berkaitan dengan kata ‘sepuh’ yang berarti tua, atau Keprabon yang berkaitan dengan kata ‘prabu’. Yang saya tau kemudian adalah bahwa masing-masing kraton memiliki sultannya sendiri, dan masih berdiri hingga sekarang. Menurut salah satu sumber–yang kami temui secara tidak sengaja di salah satu kraton–mengatakan bahwa masing-masing kraton juga memiliki wilayah kerjanya masing-masing, namun kemudian tergerus oleh undang-undang otonomi daerah. Ya, mau tidak mau kraton itu manut sama pemerintah, kecuali merupakan daerah otonom khusus seperti yang berlaku untuk DIY.
Bangunan kraton Kanoman berciri khas warna putih, sementara kraton Kasepuhan berciri khas bata merah. Tidak ada yang terlalu istimewa ternyata, karena kratonnya hanya begitu-begitu saja. Banyak bangsal–semacam pendapa tempat ngumpul-ngumpul, mungkin untuk bermusyawarah atau untuk memberikan ceramah–lalu ada museumnya juga. Di museum ini selain bisa kita temukan barang-barang khas keraton, juga banyak kereta yang bersejarah. Satu hal yang berbeda di kraton Kanoman, bisa kita temukan burung cendrawasih.
Satu hal yang mirip di beberapa kraton ini, adalah di dindingnya banyak kita temukan keramik yang ditanam/dilekatkan. Saya mengaitkannya dengan Cina memang sudah menjalin hubungan dengan negeri kita sudah cukup lama, dan pada waktu itu mungkin Cina banyak membagi-bagikan keramiknya untuk kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Di depan kraton Kanoman, kami masih sempat menikmati makanan khas Cirebon yang lain, yaitu tahu gejrot. Saya pikir tahu gejrot adalah tahu yang ditumbuk, seperti rujak bebek begitu. Ternyata bukan. Tahu yang dipotong–kalau boleh saya sebut disobek–kemudian diberi air gula, dengan bumbu bawang merah, dan bawang putih. Enak sih, menurut saya, cuma kalau kebanyakan mulut kita akan berbau bawang.
Dan kuliner terakhir kami di sana adalah bubur ayam. Kami mencoba bubur ayam Toha yang terletak di sekitar stasiun. Karena saya tidak terlalu suka bubur, maka menurut saya tidak ada yang istimewa dari bubur ini, biasa saja.
Maka berakhir sudah perjalanan kami di Cirebon, karena kereta kemudian sudah menunggu untuk mengantarkan kami kembali ke Jakarta.
Cirebon akan selalu saya kenang, sebagai kota sejarah, kota batik, dan kuliner. Jadi, meski ini bukan perjalanan saya yang pertama ke Cirebon, suatu saat saya akan kembali ke Cirebon, demi batik dan kulinernya, hehe.
——————————————————————————–
Foto-foto oleh saya dan Adin Sugandi.
Bintaro, 20 Maret 2014