Kebahagiaan menurut saya erat kaitannya dengan kesadaran–sebut saja kesyukuran–atau rasa syukur kita. Orang yang terbiasa mendapatkan 1000, pada suatu ketika dia akan merasa kecewa ketika mendapatkan 700, namun dengan kesadaran bahwa 700 juga merupakan berkah, maka dia akan tetap merasa bahagia. Kebahagiaan erat kaitannya dengan rasa syukur.
Saya menerjemahkan rasa syukur sebagai sikap nrimo kita, atas segala sesuatu yang kita terima, dari Tuhan. Nrimo bahwa kita diberi kesempatan lahir ke dunia, adalah rasa syukur yang terbesar. Nrimo bahwa kita lahir dari orang tua yang baik, adalah rasa syukur berikutnya, nrimo bahwa kita punya kehidupan, pekerjaan, karir, dan rezeki yang cukup adalah nrimo-nrimo berikutnya.
Meski rasa syukur itu pada prakteknya bukan sekedar nrimo, tapi juga ikhlas, sepenuh hati. Ada si A yang menerima rasa cinta yang begitu besar dari si B. Si A merasa sangat berbahagia dengan cinta yang diterimanya dari si B itu. Hari-harinya dipenuhi cinta dan kasih sayang. Suatu ketika keadaan berubah 180 derajat, dimana cinta dari si B tidak lagi tercurah kepadanya, tetapi kepada si C, yang ternyata adalah sahabat dari si A. si A merasa menjadi orang yang paling tidak berbahagia di dunia ini. Kecewa, sedih, merasa dikhianati, kejam, dan seterusnya.
Lalu? kadang waktu adalah penyembuh yang paling mujarab. Terutama untuk penyakit yang berhubungan dengan hati dan perasaan. Seiring dengan berjalannya waktu, si A bisa menerima bahwa apa yang sudah terjadi antara dirinya, si B, dan si C merupakan takdir yang harus dia jalani. Si A sampai pada tahapan menerima–nrimo, berdamai dengan keadaan.
Jadi, ikhlas itu selalu tentang waktu? Tentu saja tidak. Ikhlas juga erat kaitannya dengan kesadaran. Menerima dengan sepenuh hati, atau melepas dengan sepenuh hati. Kata Ustadz, ikhlas itu seperti kita buang air besar. Kalau sudah kita keluarkan ya sudah, tidak perlu kita lihat-lihat lagi, apalagi kita pegang-pegang. Cukup kita tekan flush atau kita siram saja, biarkan dia pergi. Let it go. Begitu judul sebuah lagu. Meski kadang kesadaran itu membutuhkan waktu untuk memunculkannya.
Karena kebahagiaan erat kaitannya dengan rasa syukur, rasa syukur erat kaitannya dengan ikhlas, dan rasa syukur dan ikhlas adalah bagian dari perasaan sadar yang bisa dibangun/dimunculkan, maka menurut saya kebahagiaan adalah kondisi yang bisa kita bangun atau kita munculkan sendiri tanpa harus menunggu. Kebahagiaan bukan sebuah keniscayaan yang akan datang pada waktunya nanti. Dia harus kita bangun dengan pondasi rasa syukur dan ikhlas.
Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu dipenuhi rasa syukur dan keikhlasan.
———————————————–
Magelang, 19 Januari 2014