Celotehan Malam (1)

Saya kadang penasaran, seandainya kita diberi waktu lebih dari 24 jam sehari, kira-kira kita masih merasa kekurangan waktu atau tidak? Kata salah seorang teman saya, meskipun ada 36 jam dalam sehari, jangka waktu matahari mengelilingi bumi tetap, jadi rasanya ya bakal sama. Mungkin yang berubah definisi ‘waktu’ menurut manusia, misalnya 1 jam bukan lagi 60 menit, tapi 40 menit, dst.

Belakangan ini, saya sering mengeluh soal waktu. Sepertinya selalu kurang, terutama waktu saya untuk sekedar beristirahat dan bermalas-malasan, hehe. Seseorang pernah berkata bahwa kewajiban yang kita miliki lebih banyak dari waktu yang tersedia. Mungkin benar, karena saya memang merasakan hal itu, rasanya selalu kekurangan waktu.

Apa itu pertanda bahwa kita sudah tua? atau itu pertanda bahwa dunia yang menua? Aah entahlah. Sekedar menyusun proposal saja, atau sekedar menulis artikel yang telah saya janjikan kepada teman saja, rasanya selalu tidak sempat. Saya selalu iri sama orang yang bisa membagi waktu lebih baik. Saya yakin dia bukannya punya waktu lebih banyak dari saya, karena toh jatahnya sama, saya juga yakin bukan karena dia tidak bekerja, kadang dia malah lebih sibuk dari saya. Dan saya juga yakin bahwa dia bisa membagi waktunya.

Untuk sekedar menulis, saya masih harus menunggu kapan semangatnya tiba, atau kapan idenya tiba, atau kapan waktunya bisa, yang nota bene untuk menunggu semangat, ide dan ilham itu sudah memakan waktu. Kadang waktu untuk menunggu ide dan semangat itu justru lebih lama daripada waktu untuk menulisnya sendiri. Capedeh!

Kadang saya merasa berkejar-kejaran dengan waktu. Meski saya selalu bilang bahwa manusia adalah kumpulan waktu, saya sejatinya ingin mengatakan bahwa saya ingin mengumpulkan waktu-waktu yang bermanfaat, bukan sekedar waktu yang kosong, yang tidak ada gunanya sama sekali. Saya sendiri kadang heran, saya yang mengejar waktu, atau waktu yang mengejar saya?

Kita tidak akan bisa terlepas dari waktu, karena pertanda kita hidup adalah kita berada dalam pusaran waktu. Beberapa film yang saya tonton, diantaranya menceritakan tentang bagaimana seandainya kita bisa menghentikan waktu. Atau bagaimana hidup di negeri yang bukan di mana-mana, di mana waktu tak lagi berjalan sebagaimana biasanya. Atau tentang keabadian, yang waktu tidak berpengaruh kepada diri kita.

Waktu memang berpengaruh bagi banyak hal. Tidak ada hitungan usia jika tidak ada waktu. Tidak ada kalender, tidak ada istilah hari ini, besok, kemarin, lusa, dst. Tak heran Tuhan beberapa kali bersumpah atas nama waktu.

Seperti pisau, bisa mengiris, dan jika kita tidak hati-hati, malah mengiris diri kita sendiri.

——————————————————-

Bintaro, 16 Januari 2014

Advertisement

2 Comments

  1. “Seperti pisau, bisa mengiris, dan jika kita tidak
    hati-hati, malah mengiris diri kita sendiri”. Apa contohnya yang bisa dilihat dikehidupan sehari hari mas?

    Like

    1. Kata-kata. Kata-kata bisa membawa kita kepada kesuksesan dan kebahagiaan, namun jika kita tidak berhati-hati dengan kata-kata kita sendiri, justru kata-kata itulah yang akan menghancurkan diri kita sendiri *halah

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.