Cintaku Tenggelam Bersama Kapal Van Der Wijck

Semalam saya nonton film yang diangkat dari novel mega best seller karya Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Beberapa saat setelah menonton film itu saya sempat berpikir, kok ada ya orang yang sebegitunya mencintai orang lain.

Adalah Zainuddin, seorang pemuda keturunan Makassar dan Padang. Sepeninggal ayahnya, Zainuddin ingin tinggal di negeri ayahnya lahir, di tanah Minang, yang seperti kita ketahui sarat dengan adat dan budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat nya.

Di Batipuh Zainuddin tinggal bersama dengan paman dan bibinya, menuntut ilmu agama dan membantu kehidupan paman bibinya. Saat itulah Zainuddin bertemu dengan Hayati, gadis désa cantik dan santun. Hayati adalah gadis Minang yang patuh pada perintah datuk dan kerabat keluarganya.

Karena Zainuddin bukan orang Minang, maka masyarakat Minang menyebutnya sebagai orang tidak bersuku, ditambah dengan kondisi kemiskinan yang ‘dideritanya’, maka kedekatan Zainuddin dengan Hayati adalah aib, baik bagi keluarga hayati maupun bagi adat Minang.

Maka Zainuddin pun diusir dari Batipuh, dan dia merantau ke Padang Panjang. Sebelum diusir itulah Hayati mengucapkan janji sakralnya, akan setia kepada Zainuddin dan akan menunggu Zainuddin sampai kapan pun dia akan datang.

Hidup kadang tidak selalu seperti yang kita impikan. Pada kenyataannya hayati hanyalah gadis biasa yang harus patuh pada perintah datuak nya. Singkat cerita Hayati pun menikah dengan Aziz, putra bangsawan yang banyak bergaul dengan Belanda.

Pernikahan Hayati dan Aziz membuat sakit hati Zainuddin, maka bersama sahabatnya Muluk, Zainuddin merantau ke Batavia. Di Batavia itulah Zainuddin banyak menulis. Tulisan pertamanya diterbitkan di koran, yang merupakan cerita bersambung dengan judul Teroesir. Zainuddin menggunakan nama Shabir sebagai nama penanya.

Kesuksesan tulisan-tulisannya membuat Cerbung nya kemudian dibukukan dengan judul yang sama. Kesuksesan terus berlanjut, hingga Zainuddin kemudian harus mengurus perusahaan penerbitan di Soerabaja, dan secara kebetulan Hayati dan Aziz pun harus pindah ke Soerabaja untuk urusan pekerjaan.

Menonton film ini saya jadi ingat Siti Nurbaya. Settingan dan ide cerita yang hampir sama. Film ini banyak bercerita tentang budaya Minang, dan sedikit bercerita budaya Bugis karena Zainuddin adalah orang Makassar.

Bagi yang suka dengan roman lama, film ini layak ditonton. Meski saya sedikit pusing nonton nya, karena di samping durasinya yang lama, film ini banyak menggunakan dialog bahasa Padang, sementara si Zainuddin sendiri menggunakan bahasa Bugis yang aksennya sedikit dipaksakan.

Saya Belum membaca novel nya sih, cuma kalau menurut saya pribadi, judul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck agak kurang pas, karena kejadian tenggelamnya Kapal tersebut bukanlah inti ceritanya, melainkan mengenai kepedihan Zainuddin ditinggal oleh Hayati.

Skor saya untuk film ini, 6.5 dengan kategori menarik.
Semoga bermanfaat.

——————-
Cirebon Ekspress, 21 Desember 2013

Advertisement

1 Comment

  1. Sudah baca karya Hamka yang “Di Bawah Lindungan Ka’bah”?
    Tokoh utama juga meninggal semua. Yang perempuan meninggal duluan.
    Kemudian yang laki-laki meninggal sewaktu di Mekah menderita karena cinta.
    Inti cerita juga bukan itu. Endingnya aja si tokoh utama meninggal di Mekah.

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.