Utang piutang ternyata memiliki banyak implikasi hukum. Tidak hanya hukum agama dan perdata, namun utang piutang juga memiliki implikasi dari segi hukum pajak. Berikut saya coba uraikan.
Dalam akuntansi kita mengenal kaidah harta merupakan penjumlahan dari kewajiban dan modal. Artinya, kewajiban dan modal yang kita laporkan merepresentasikan harta yang kita miliki dan seharusnya kita laporkan dalam SPT Tahunan PPh.
Bagi yang berhutang, melaporkan hutang dalam SPT Tahunan PPh jelas menginformasikan bahwa yang bersangkutan memiliki hutang kepada pihak tertentu. Tentu saja hutang tersebut harus bisa direpresentasikan dalam harta yang dimilikinya, kecuali hutangnya dipergunakan untuk konsumsi.
Bagi yang menghutangkan, piutang merupakan harta yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh. Jelas kita ketahui bersama bahwa piutang merupakan kategori aset. Yang harus diperhatikan bagi pihak yang menghutangkan, apakah piutang tersebut sudah dilaporkan dalam SPT tahunan PPh sebagai harta atau belum. Karena jika kita tidak melaporkan piutang tersebut sebagai harta, namun pihak yang berhutang melaporkan hutang tersebut dalam SPT nya, otoritas pajak akan menganggap kita memiliki harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh kita.
Ilustrasi:
Tuan Adli memiliki hutang sebesar Rp200 juta kepada Tuan Makarim. Hutang tersebut diperoleh tahun 2015 untuk kekurangan pembelian tanah. Tuan Adli telah melaporkan hutang tersebut dalam SPT Tahunan PPh 2015. Namun, Tuan Makarim lalai melaporkan piutang tersebut dalam SPT Tahunan PPh nya. Dalam hal ini, Tuan Makarim dapat dianggap belum melaporkan harta berupa piutang tersebut.
Semoga bermanfaat.