gambar dari sini
WAKTU dikejar
waktu menunggu
waktu berlari
waktu bersembunyi
biarkan aku mencintaimu
dan biarkan waktu menguji
Puisi di atas adalah sepenggal puisi yang ditulis oleh Sabari, tokoh utama novel Ayah karya Andrea Hirata. Novel Ayah ini merupakan novel Andrea yang kedua yang saya baca (kalau tidak disebut yang ketiga, karena novel pertama yang saya baca merupakan dua judul novel yang dicetak dalam satu buku) setelah Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas.
Sedikit terkejut karena saat hendak membayar di kasir toko buku untuk membayar beberapa buku yang saya beli, saya melihat novel Ayah ini dipajang di lemari belakang kasir dan saya langsung meminta kasir mengambilkannya agar saya bayar. Biasanya saya agak anti dengan Andrea Hirata karena menurut saya gaya berceritanya terlalu berlebihan.
Singkat cerita saya pun membaca novel Ayah ini begitu sampai di rumah. Saya pikir awalnya novel ini adalah jenis novel ringan dengan cerita yang biasa-biasa saja, mengingat Andrea banyak berkelakar di hampir semua isi novelnya. Meski garing, saya kadang ngakak sendiri membaca bagian-bagian yang lucu namun sedikit maksa.
Dari segi entertaint-nya, novel ini sangat menghibur karena menceritakan kebodohan beberapa tokoh yang diceritakan, namun kadang membuat kita tertegun bahwa itu adalah kebodohan yang sering kita lakukan sendiri di kehidupan nyata. Novel ini sarat akan makna, menceritakan tentang seseorang bernama Sabari yang mencintai teman SMA-nya, Marlena. Cara Sabari jatuh cinta pun tidak biasa, saat ujian masuk SMA Marlena menyambar jawaban ujian Bahasa Indonesia Sabari dan mencontek seluruh jawabannya secara paksa: Sabaru jatuh cinta pada tatapan pertama dengan Marlena yang disebutnya sebagai Purnama Keduabelas.
Berbagai usaha dilakukan oleh Sabari agar Marlena mau meliriknya. Boro-boro membalas cinta Sabari, melirik Sabari pun tidak dilakukan oleh Marlena. Namun Sabari (yang memang diberi nama Sabar berakhira -i) adalah orang tersabar di dunia. Sampai lulus SMA, sampai harus bekerja menjadi kuli di pabrik batako milih Markoni, ayah Marlena, pun dilakoni. Semuanya agar Marlena mau melirik Sabari.
Hasilnya? Sabari berhasil menikahi Marlena. Meski dalam hal ini Sabari menjadi tumbal (Andrea menyebutkan di novelnya bukan Sabari yang menjadi tumbal, tapi Sabari yang menumbalkan diri). Tumbal karena Marlena telah terlebih dahulu dihamili oleh orang lain. Dan setelah pernikahan pun mereka tetap hidup terpisah, tidak serumah. Setelah anaknya lahir, barulah mereka hidup satu atap, meski kemudian Marlena tetap melakukan kebiasaan lamanya: keluyuran, berpindah dari satu cinta ke cinta yang lainnya.
Maka hiduplah Sabari dengan anak tiri yang amat dicintainya: Zorro. Hidup Sabari menjadi sangat berbahagia bersanding dengan anak tirinya. Meski kebahagiaan itu harus berakhir saat Marlena dengan suami barunya harus merebut Zorro dari kehidupan Sabari. Babak baru kehidupan Sabari pun dimulai, saat hidupnya terasa kosong, hampa, bahkan puisi pun tak mampu menyembuhkan sakitnya. Kesepian adalah salah satu penderitaan manusia yang paling pedih, tulis Andrea yang seingat saya mirip kata-katanya A.A Attanasio, Being human is the most terrible loneliness in the universe yang juga bisa kita saksikan pada pembuka video klip lagunya Simple Plan; Astronaut.
Dikemas dengan cara menarik dan sedikit dagelan di sana-sini, novel ini mampu menghadirkan hiburan yang baru, segar, dan sarat makna budaya, terutama kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Belitong, Bangka, dan sekitarnya. Dicetak dengan kertas yang tidak terlalu menyilaukan mata, sehingga nyaman juga dibaca.
Jadi, bagaimana akhir cerita Sabari, Zorro dan Marlena? baca bukunya ya!
Hanya diskusi kecil untuk menghilangkan penasaran :
Bagaimana bisa Marlena yang terkesan glamour menikah dengan Amirza yang hidup sederhana di Dabo?
LikeLike
Menurut saya Marlena melakukan pencarian, meski pada akhirnya dia tidak menemukan apa yang dicarinya pada diri Amirza 🙂
LikeLike