Traveling teach you how to see—-ibn. Battuta
SETIAP kali akan mendarat di bandara Soekarno Hatta, pesawat yang saya naiki biasanya mulai menukik turun di daerah pantai. Saya menduga itu adalah daerah Banten, bagian paling barat dari Pulau Jawa. Dan setiap pesawat menukik itu saya akan melihat beberapa kapal (baik besar maupun kecil) berseliweran di sepanjang garis pantai. Pada saat itu biasanya saya akan berpikir: kira-kira kapan ya saya bisa melaut di sana?
Lalu, Sabtu kemarin semesta mengabulkan doa saya. Kali ini saya tidak lagi di atas pesawat, tetapi berada di atas kapal, melihat pesawat-pesawat mulai menukik turun. Saya melihat dari sudut pandang yang berbeda. Kemudian saya mengaminkan perkataan ibnu Battuta, bahwa traveling mengajarkan kita untuk ‘melihat’. Detik itu juga saya berpikir: kira-kira apa yang dipikirkan orang yang di atas pesawat sana? Apa dia memikirkan seperti apa yang saya pikirkan? *halah*
Jadi ceritanya beberapa hari yang lalu, teman saya Dini menawari short escape ke Kepulauan Seribu. Tapi trip ini beda. Tidak ada snorkeling, tidak ada renang, tidak ada menyelam dan foto-foto di depan karang menggunakan kamera bawah laut. Kenapa? Karena temanya adalah Historical Trip. Meski tidak tahu apa maksud historical trip, saya tetap mengiyakan ajakan Dini. Karena di sisi lain saya memang sudah lama tidak ketemu pantai. Terakhir ke pantai rasanya sudah lama sekali: saat ke Karimun Jawa tahun 2013 lalu. Maka Sabtu pagi saya sudah nongkrong di Stasiun Kota bersama Dini, Tanzil, dan Jalu untuk menuju meeting point kami bersama komunitas yang akan saya tebengi: Nol Derajat Indonesia (NDI). Tentang NDI akan saya ceritakan di akhir tulisan ini.
Alih-alih berangkat dari pelabuhan Muara Angke, kami berangkat dari Pelabuhan Muara Kamal. Pelabuhan Muara Kamal adalah pelabuhan kecil, tidak dikhususkan sebagai pelabuhan penumpang, tak heran fasilitasnya tidak sebagus di Angke. Kita bisa menjumpai pasar ikan di depan pelabuhan ini. Saya yang doyan ikan langsung jelalatan melihat ikan segar dan kerang hijau dijual murah. Sayangnya saya tidak mungkin membelinya, tidak ada yang masak soalnya 😛
Jam 10.30 kapal kami berangkat meninggalkan Pelabuhan Muara Kamal menuju perhentian kami yang pertama: Pulau Kelor. Seperti yang saya bayangkan, kapal yang membawa kami adalah jenis kapal motor kecil seperti yang banyak dioperasikan nelayan untuk melaut. Begitu naik kapal ini, memori membawa saya ke Karimun Jawa. Aah, saya benar-benar kangen Karimun Jawa.
Memang jika dibandingkan dengan wisata laut di Phuket, negara kita masih jauh ketinggalan. Saya ingat betul waktu ikut tur menggunakan tour travel di Phuket, dari hotel tempat kami menginap, kami dijemput menggunakan mobil tiga perempat, yang memang kerjaannya mengantar jemput peserta tur. Lalu kami di drop di pelabuhan, dan kapal layar lumayan besar dua tingkat sudah menunggu kami di pelabuhan. Memang masih banyak PR untuk menteri pariwisata kita yang baru.
Saat perjalanan menuju Pulau Kelor, saya melihat sebuah pemandangan unik. Di sana-sini dipasang bambu-bambu yang ditancapkan di laut. Menurut ketua rombongan kami, bambu-bambu itu dipasang untuk berkumpulnya kerang hijau. Kerang hijau akan berkumpul di sekitar kaki-kaki bambu, lalu para petani akan memanen kerang hijau tersebut. Saya manggut-manggut, baru tau!
Pulau Kelor
Tidak ada setengah jam, kapal kami sudah merapat di Pulau Kelor, perhentian pertama kami. Mendengar nama Kelor saya jadi ingat nama salah satu pulau juga: Alor. Mendengar nama Kelor juga akan mengingatkan kita pada daun kelor yang biasa dipergunakan untuk kiasan sesuatu yang tidak terlalu luas: sempit. Pulau ini memang sempit, bisa dikelilingi dengan jalan kaki kurang dari lima belas menit. Di pulau ini terdapat benteng peninggalan Belanda yang disebut sebagai Benteng Martello. Disebut Martello katanya karena bentuknya yang mirip martil.
Ternyata memang benteng ini tidak dibuat main-main. Tebalnya saja sekitar 1,5 meter, terbuat dari batu bata yang katanya dibangun pada abad ke 17 sebagai pertahanan VOC dari serangan Portugis. Nama asli pulau Kelor adalah Pulau Kherkof, entah kenapa namanya berubah menjadi Kelor. Sebenarnya benteng ini cukup eksotis: indah, kuat, namun juga magis. Sayang sekali tidak terawat. Bahkan pengunjung ada yang dengan bebas naik-naik ke atap benteng. Benteng ini hancur pada tahun 1883 akibat tsunami saat Krakatau meletus (info dari sini)
view Benteng Martello dari tempat kapal bersandar
Lapisan luar benteng Martello ini sudah hancur. Katanya sih akibat diserang oleh pasukan Portugis. Selain itu luas Pulau Kelor sepertinya menciut akibat abrasi. Untungnya sudah dipasang pemecah ombak di sekitar pulau ini.
rombongan berfoto bersama
Pulau Kelor adalah saksi sejarah kolonial yang juga menjadi saksi perjalanan kemerdekaan Indonesia. Sudah semestinya kita menjaganya, bukan malah merusaknya.
Puas berfoto dan melihat-lihat sekaligus belajar sejarah di Pulau Kelor, kami menuju dua perhentian kami berikutnya: Pulau Cipir dan Pulau Onrust. Sebenarnya baik Pulau Kelor, Cipir, maupun Onrust merupakan pulau-pulau yang tergabung dalam Taman Arkeologi Onrust. Pulau Onrust diberi nama Onrust katanya karena pulau ini yang waktu itu tidak pernah beristirahat (unrest) saking sibuknya pelabuhan di pulau ini. Sejujurnya tidak ada yang menarik di pulau Cipir dan pulau Onrust. Hanya ada puing-puing bangunan bekas rumah sakit dan karantina haji yang justru memberi pemandangan seram.
Tentang Nol Derajat Indonesia
Saya sendiri baru tau tentang NDI gara-gara ikut short escape ini. Tadinya saya tidak tahu sama sekali. Dipimpin oleh Mas Yoki, NDI banyak melakukan traveling. Kata mas Yoki sih, NDI anti mainstream. Maksudnya, traveling yang dilakukan NDI beda dari komunitas yang lain. Sepanjang trip kemarin Mas Yoki banyak cerita sejarah pulau Kelor, Pulau Cipir, dan Pulau Onrust yang kami kunjungi. Dan usut punya usut, ternyata mas Yoki ini seorang arkeolog. Pantas saja jalan-jalannya ke situs arkeologi. 😛
mas Yoki
mas Yoki memberi ‘kuliah’ kepada peserta.
Seperti pesan Mas Yoki saat trip kemarin, katanya NDI bukanlah tour travel, cuma komunitas orang-orang yang suka ngetrip saja. Setuju banget. Thanks mas Yoki dan NDI. Semoga bisa ikut jalan-jalan berikutnya ya.