Celotehan Malam (15)

TIME goes by sooooooooooo fast. Rasa-rasanya baru kemarin saya ‘dimutasi’ ke kantor saya yang sekarang, eeh ternyata sudah lebih dari setengah tahun yang lalu. Rasa-rasanya baru kemarin kami berlima siap-siap untuk berangkat ke Jepang, eeeh ternyata sudah sebulan yang lalu. Waktu yang terlalu cepat meninggalkan saya, atau saya yang belum bisa menerima bahwa waktu memang berjalan cepat belakangan ini?

Tidak, kali ini saya tidak akan cerita tentang Jepang kok, sudah bosan, hehehe. Jadi, sore tadi, di sela-sela menunggu jam pulang, saya menyalakan iPod saya. Begitu musik saya setel dengan mode shuffle, mengalun sebuah lagu. Saya tahu lagu ini sudah sejak lama sebenarnya, namun baru sore tadi saya dengarkan dengan seksama, sampai saya harus mencari liriknya di google sambil mendengarkan lagu tersebut. Dan lagu tersebut, adalah lagu yang  sangat dalam maknanya, dibawakan dengan penuh perasaan oleh Luther Vandross: Dance With My Father.

Begitu mendengarkan lagu ini sambil membaca liriknya, saya terbawa trenyuhnya perasaan yang dihadirkan oleh lirik dan musiknya. Sangat dalam. Menceritakan tentang ayah, ayah kita. Dan gara-gara lagu itu juga saya jadi teringat tentang ayah saya. Ayah saya—yang sepertinya sama seperti ayah-ayah yang lain—bukanlah tipikal ayah yang pandai mengutarakan rasa sayang kepada anaknya. Ayah saya cenderung tidak menyampaikan rasa sayang itu, hanya sesekali saja menunjukkan perasaan itu, bahkan bisa dibilang sangat jarang. Dan mungkin gara-gara hal itu saya jadi lebih dekat dengan ibu daripada ayah.

Satu bait yang sangat dalam dari lagu itu berbunyi sepert ini:

Never dreamed that he would be gone from me
If I could steal one final glance, one final step, one final dance with him
I’d play a song that would never, ever end
‘Cause I’d love, love, love
To dance with my father again

Ayah saya bukanlah seorang ayah yang modern, bahkan hape pun ayah saya tidak mau memegangnya, merepotkan, katanya. Sebut saja ayah saya orang yang konvensional, jika ingin mengobrol dengan ayah, saya harus menelepon adik saya, untuk kemudian memberikan telepon itu kepada ayah. Pembicaraan yang terjadi pun tidak banyak, hanya menanyakan kabar, lalu saya akan menanyakan bagaimana kondisi padi di sawah, apakah sudah siap panen atau belum, lalu diakhiri dengan saya yang akan bertanya, apa ayah membutuhkan sesuatu untuk keperluan sawahnya, sepatu boots misalnya, jika iya dan ada rejeki, mungkin akan saya belikan kemudian, dan biasanya ayah tidak meminta apapun. Hanya meminta doa saja, katanya. Selalu seperti itu. Yang membuat saya merasa sedih sekaligus menyesal, kadang saya melakukan itu hanya sebagai basa-basi, sudah menjadi kewajiban anak menyapa dan mengobrol dengan ayahnya dalam jangka waktu tertentu, sehingga telepon saya kepada ayah saya hanya sebagai ritual, bukan ketulusan seperti saat saya menelepon ibu saya, atau dengan orang lain yang memang dekat dengan saya. Terus terang saya  merasa berdosa. Mudah-mudahan Tuhan memanjangkan usia ayah saya, amiin.

Bagi kita yang masih mempunyai ayah hingga sekarang, mari kita perbaiki hubungan dan perbanyak interaksi dengan ayah kita, semoga kita tidak menyesal pada akhirnya, amin.

Untuk ayah saya, saya persembahkan lagu ini :

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.