Tahu kan gimana rasanya saat keinginan untuk menulis sudah membuncah, tapi ide mau nulis apa sama sekali tidak ada? Rasanya kosong, nihil. Sama seperti kita merasakan lapar yang amat sangat, tetapi tidak ada makanan untuk dimakan. Bahayanya adalah, kalau kita biarkan saja rasa lapar itu, maka justru kita akan lupa pada rasa laparnya. Jadi untuk menghindari bahaya lupa menulis, pagi ini saya paksakan menulis saja, sejadinya.
Berawal dari keisengan, weekend kemarin saya main ke toko buku. Bukan, bukan toko buku yang biasa saya kunjungi, tetapi toko buku luar biasa besar dan lengkap. Katanya sih terlengkap se-Asia Tenggara. Dan benar saja, banyak buku yang sudah sulit ditemui bisa kita dapatkan di sana. Akhirnya saya kalap. Padahal sejak berangkat dari rumah saya sudah menasbihkan bahwa tidak akan membeli kecuali 1 atau 2 saja. Ternyata saya membawa 6 buku dengan berat lebih dari 1,5 kg.
Dan, buku-buku yang saya beli semuanya novel. Entah kenapa, saya kembali suka pada novel, terutama novel luar negeri yang ringan. Sebenarnya saya sedang menunggu novel lanjutannya Dee, tapi karena tidak datang-datang, saya harus membaca novel yang lainnya dulu. Beberapa waktu sebelum ini, saya paling anti novel. Menurut saya, saya sudah tidak lagi pantas membaca novel, mengingat sudah waktunya saya beralih genre ke buku yang lain seperti buku biografi atau buku pengembangan kepribadian. Tapi ternyata saya salah.
Genre membaca mungkin layaknya sebuah grafik yang berfluktuasi. Dulu jaman SMA saya menyenangi novel teenlit dengan cerita khas cinta-cintaan. Lalu semakin ke sini (baca: semakin tua) saya beralih ke novel fiksi sains seperti novelnya Dan Brown, JK Rowling, atau Cassandra Claire. Sejak kemunculan novelnya Dee, saya menyenangi kembali novel Indonesia yang bermutu tinggi. Lalu ada periode novel Indonesia hiburan seperti buku-bukunya Ika Natassa. Lalu ada juga periode dimana saya menyenangi buku-buku ringan jenaka seperti bukunya @chaosatwork atau Raditya Dika atau Cado (Calon Dokter or something? lupa saya).
Setelah semua itu berlalu, saya mulai menyenangi buku biografi. Semua tokoh ingin saya baca dan kupas rasanya. Dari Bung Karno, Pak Harto, Pak Hatta, Hugeng, Mahfud MD, Dahlan Iskan, sampai Pak Jokowi saat boomingnya. Sampai-sampai saya punya penulis biografi favorit, karena gaya menulisnya yang oke, ringan, santai, namun mengena. Lalu saya beralih ke buku-buku pengembangan kepribadian, seperti manajemen diri, manajemen waktu, dst. Bagian yang ini menurut saya paling tidak menarik untuk diceritakan.
Lalu tiba waktunya saya menyenangi buku-buku yang agak serius. Kali ini berhubungan dengan pekerjaan saya. Saya menyenangi buku-buku mikro dan makro ekonomi, namun yang disajikan dengan bahasa yang berbeda, tidak seperti buku teks. Saya menyenangi bahasan mengenai perekonomian maupun keuangan publik, diantaranya yang dibahas oleh mantan atasan saya, Edi Slamet Irianto, karena beliau memiliki pandangan yang berbeda tentang kebijakan fiskal di Indonesia, juga ditulis oleh Pak Danny dan Pak Darussalam, maupun buku-buku terbitan ortax. Saya seperti menemukan buku teks, namun dengan bahasa ala koran atau majalah Tempo. Dimana itu merupakan sesuatu yang baru dan menarik buat saya. Lalu tiba juga waktunya saya menyenangi buku-buku ekonomi, namun dengan bahasa asing. Yang menurut saya, ternyata lebih mudah dimengerti daripada buku ekonomi yang beredar dengan bahasa Indonesia (baik terjemahan, maupun asli berbahasa Indonesia).
Dan setelah semuanya, saya pikir, saya tidak akan menyenangi novel kembali. Karena menurut saya sudah lewat masanya saya menyenangi novel. Ternyata salah. Karena sekarang saya kembali ke pelukan novel. Diantara enam buku yang saya beli kemarin, empat diantaranya adalah novel terjemahan, dan dua diantaranya adalah buku lokal. Dua buku lokal ini, yang pertama adalah bukunya Fahd Djibran, salah satu penulis favorit saya, dan satu lagi adalah bukunya Bernard Batubara. Saya banyak mendengar nama Bernard Batubara, terutama dari twitter. Dan saya hanya ingin membuktikan tulisannya bagus atau tidak dalam novel berjudul Surat untuk Ruth.
Sementara empat novel yang lain berjudul Wonder Struck, And the Mountains Echoed, Pride and Prejudice, dan Haji Murad karangan Leo Tolstoy. Buku yang terakhir saya beli karena tertarik dengan penulisnya sih, hehe.
Jadi, kali ini saya ingin membuktikan bahwa minat membaca memang mengalami pergerakan naik turun. Harapan saya, saya tidak akan kembali menyenangi bacaan teen lit atau novel-novel cinta remaja yang kisahnya sama seperti sinetron kita. Semoga.
—————————————————————————————-
Bintaro. 16 April 2014
cado cado (catatan dodol calon dokter), penulis pernah membantu membungkus kado buku ini untuk teman kosnya kala itu.
LikeLike