Rasa rindu itu memang menyebalkan kok bagi saya. Bikin galau. Dan yang tambah menyebalkan lagi, kadang datangnya tiba-tiba, tanpa notifikasi terlebih dahulu. Ditambah, kadang saya tidak tau alasan kenapa saya mengalami—kalau tidak bisa disebut—menderita rasa rindu, rindu kepada sesuatu, seseorang atau terhadap waktu-waktu tertentu. Kemarin tiba-tiba saya rindu naik kereta. Saya sendiri tidak tau apa yang saya rindukan dari ular besi yang sekarang sudah berganti nama menjadi Commuter Line itu, bukan lagi AC maupun Ekspress seperti dahulu.
Setelah di atas kereta—meski kemudian yang saya naiki adalah kereta ekonomi—saya dapat jawaban, kenapa saya rindu naik kereta. Saya rindu ‘gojes-gojes’ nya. Maklum, kereta di Jakarta kan bunyinya seperti itu, bukan ‘tuut tuut’. Mungkin saya agak berlebihan, tapi memang ada rasa tertentu saat suara ‘gojes-gojes’ itu saya dengar. Sepertinya ada ketenangan dalam kebisingan suaranya. Seorang teman yang setiap hari menjadi ROKER (Rombongan Kereta)—adalah kelompok orang-orang yang setiap hari bolak-balik rumah-kantor dengan menggunakan KRL Jabodetabek—pernah mengatakan di status facebooknya: Heran, tadi kalau di kereta bisa tidur, tapi di kamar sendiri yang sepi begini malah nggak bisa tidur—katanya.
Mungkin itu salah satu bukti saja, bahwa di balik kebisingan suara yang ditimbulkannya, bisa menimbulkan suara tenang. Tetapi alih-alih tidur, biasanya kalau di kereta mata saya malah jelalatan, terutama kalau di kereta ekonomi. Niat awalnya sih sekedar waspada saja. Seperti kita ketahui, kereta ekonomi adalah salah satu tempat yang rawan pencopetan. Tetapi ujung-ujungnya saya malah jadi senang melihat-lihat. Percaya deh, banyak hal yang bisa dilihat di sana. Mulai dari tukang jualan yang bolak-balik nawarin dagangannya, lalu ada pengamen, lalu ada pengemis, lalu ada orang yang bawa sapu lidi, mbersihin sampah di bawah kaki kita, kemudian menyodorkan tangannya: minta duit. Semuanya menggelitik saya untuk komentar.
Terus terang saya agak takut beli-beli di kereta ekonomi kalau tidak kepepet banget. Misalnya, kalau nggak kepepet beli tissue karena kepanasan, saya lebih baik beli di indomaret saja, takut tissue yang saya beli bukan tissue asli, tapi tissue bajakan yang merupakan hasil recycle. Kemudian ada cotton buds, dsb. Tapi pengamen kereta selalu menarik bagi saya, terutama pengamen yang berkelompok, membawa alat musik lengkap. Bukan pengamen yang model karaoke. Biasanya mereka sih sopan-sopan saja, nyanyi banyak lagu, bolak-balik satu gerbong, baru kemudian keliiling menagih uang ngamen sukarela.
Oya, ngomongin tentang pengamen neh, beberapa waktu lalu, salah seorang petinggi kampus pernah bercerita, katanya pengamen jaman sekarang itu sudah berbeda. Jaman dulu—katanya—karena kebiasaan satu kali lagu dibayar seribu rupiah, maka jika kita memberi uang lima ribu rupiah, maka pengamen tersebut akan menyanyikan lima buah lagu. Sekarang? satu lagu belum selesai, lalu dia keliling minta duit setengah memaksa, pemalakan terselubung, katanya. Itu akibat telah hilangnya nilai-nilai (value) dari kehidupan kita.
Memang benar sih, begitu adanya. Bayangkan saja, di bus ekonomi Bandung-Cirebon, kadang ada pengamen yang masuk, cuma bawa botol yang diisi pasir, lalu digoncang-goncangkan sampai berbunyi “krosak krosak”, mereka menyebutkan hal itu sebagai mengamen. Ya kalau nyanyi, kadang ada yang bacain puisi, bukan puisi sih menurut saya, cuma membaca teks yang mereka sudah hapal dengan tempo tertentu. Mau tau isi puisinya? Kalimat yang seolah rima-nya sama, yang isinya ancaman ke penumpang. Intinya daripada mereka nyolong, lebih baik mereka mengamen dengan cara seperti itu. Lha, baru kali itu saya tau kalau ternyata ngerampok berbeda dari nyolong: bukti hilangnya nilai-nilai dari kehidupan masyarakat kita.
Sementara itu, di kereta ekonomi itu ada dua jenis pengemis. Yang pertama adalah pengemis yang dengan terang-terangan dan tanpa tedeng aling-aling memproklamirkan diri sebagai Pengemis–lebay. Mereka dengan tingkat kepedean yang tinggi datang kepada kita, lalu menyodorkan tangannya: meminta. Yang kedua ada pengemis yang melakukan sesuatu dulu, lalu meminta; contohnya pengemis yang membawa sapu lidi, kemudian membersihkan sampah di lantai kereta, kemudian mengharapkan belas kasih kita. Saya sih lebih menghargai pengemis yang kedua. Tapi terserah hati nurani saat kita memutuskan mau memberi atau tidak, yang penting ikhlas.
Selain penjual, pengamen dan pengemis, tentu saja banyak hal lain yang bisa kita lihat di kereta. Di seberang tempat saya duduk siang itu, ada seorang anak SD yang mungkin baru pulang sekolah, mungkin kelas dua atau kelas tiga. Saat itu saya berpikir: hebat ya anak SD di Jakarta, sudah berani pulang pergi naik kereta, coba jaman saya dulu, boro-boro, haha. Eh, tidak lama kemudian dari tasnya keluar nada dering hape, makin takjub saya setelah dia mengeluarkan Blackberry: anak kota.
Lalu ada bapak-bapak yang sepertinya sedang memikirkan biaya sekolah anaknya, lalu ada ibu-ibu yang sepertinya sedang memikirkan pekerjaannya, dan sebagainya dan sebagainya.
Lalu kemudian saya pun menyimpulkan, bahwa selain gojes-gojesnya, mungkin saat saya rindu naik kereta, sebenarnya saya rindu untuk melihat, dan melakukan zooming terhadap hal-hal tertentu yang selama ini saya abaikan. Kerinduan saya naik kereta kemudian menyadarkan saya untuk bisa melihat dunia dari sisi yang lebih dekat,
Ini ceritaku, mana ceritamu?
Naik kereta seperti ini, pastinya pelampiasan galau yg menyenangkan ya. Saya pengen juga kapan-kapan nyobain naik kereta. Pasti seru ya..secara seumur hidup saya belum pernah nyobain nak kereta sebagai sarana transportasi jobodetabek 🙂
LikeLike
Iya Bu, betul sekali. wah harus dicoba bu, merasakan sensasinya melihat, mendengar dan merasakan 🙂
LikeLike