Dalam kaidah Hukum Lingkungan, terdapat konsep pembangunan berkelanjutan. Bahkan konsep ini telah disepakati dalam Konperensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environtment and Development) di Rio de Jeneiro pada tahun 1992. Prinsip pembangunan berkelanjutan menekankan 5 (lima) prinsip utama dalam pembangunan, yaitu prinsip keadilan antargenerasi (intergenerational equity), prinsip keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity), prinsip kehati-hatian (precautionary), prinsip perlindungan keragaman hayati (conservation of biological diversity) dan prinsip pencemar harus membayar (polluter pays principle).
Prinsip keadilan antargenerasi menekankan bahwa setiap generasi umat manusia di dunia memiliki hak untuk menerima dan menempati bumi bukan dalam kondisi yang buruk akibat perbuatan generasi sebelumnya. Generasi saat ini tidak boleh melakukan konsumsi yang berlebihan terhadap SDA berkualitas, tidak boleh memanfaatkan SDA yang berlebihan yang belum diketahui manfaat terbaiknya, dan menghabiskan SDA saat ini sehingga generasi mendatang tidak dapat menikmati SDA tersebut.
Prinsip keadilan dalam satu generasi menekankan bahwa beban dari permasalahan lingkungan harus dipikul bersama oleh masyarakat dalam satu generasi. Prinsip kehati-hatian mengandung makna bahwa apabila teradapat ancaman yang berarti, atau adanya ancaman kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan maka ancaman itu harus dicegah. Perlindungan keragaman hayati harus menjadi fokus utama pembangunan dan tidak dikorbankan. Prinsip pencemar membayar menekankan bahwa kerugian terhadap masyarakat dan lingkungan merupakan tanggung jawab pemrakarsa usaha dan harus membayar atas kerusakan tersebut.
Prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut harus diimplementasikan dalam segala aspek di Indonesia. Hal ini diamanatkan dalam Pasal 28H UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah, apakah pajak sudah mengakomodasi prinsip tersebut?
Pajak karbon–yang saat ini belum diimplementasikan–merupakan salah satu wujud dari penerapan polluter pays principle. Namun yang dibutuhkan sebenarnya bukan hanya penerapan pajak karbon, melainkan sejauh mana lingkungan perpajakan (baik regulasi, proses bisnis maupun penegakan hukumnya) berdampak terhadap pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Salah satunya, misalnya penerapan tarif pajak yang lebih tinggi terhadap wajib pajak yang bisnisnya memberikan efek/dampak negatif terhadap lingkungan. Misalnya dengan memberikan grading terhadap hasil AMDAL, semakin tinggi dampak negatifnya terhadap lingkungan, wajib pajak diberikan tarif pajak yang lebih tinggi. Contoh lain dengan penerapan sanksi tambahan apabila terdapat gugatan atau sengketa terhadap pencemar lingkungan.
Saya sangat yakin pajak seharusnya bisa berkontribusi dalam menjaga kelima prinsip di atas tertap terjaga. Demi masa depan anak cucu dan penerus bangsa ini.
