Emang ya kalau dipikir-pikir buat apa sih kita bayar pajak ya? Mari kita renungkan, mungkin Bapak/Ibu mengalami kondisi yang sama. Kita bangun pagi-pagi untuk bekerja, harus bertemu dengan kemacetan (terutama jika bekerja di kota-kota besar), meninggalkan anak-anak di rumah tanpa bisa menikmati perkembangannya dari waktu ke waktu, dan usaha kita itu hanya dihargai sebatas ‘biaya jabatan’ sebesar 5% dari penghasilan bruto (ytta). Lalu saat gajian, penghasilan yang kita peroleh dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang beragam, sebut saja tarif Pasal 17 UU PPh, 5-35%, mungkin kebanyakan orang dipotong di lapis tarif 5%. Lalu saat gaji tersebut kita belanjakan, kita dipungut PPN juga. Saat uangnya kita belikan properti misalnya, kembali kita dipungut pajak atas properti. Bahkan saat uangnya kita tabung, kembali kita dipotong pajak atas bunga tabungan yang kita terima. Pajak melingkupi hampir seluruh aspek kehidupan kita. Kenapa kita harus patuh, atau kenapa kok masih saja ada orang yang patuh bayar pajak?
Andi (TK/0) adalah seorang karyawan dengan gaji bulanan Rp10 juta rupiah. Dari gajinya setiap bulan, Andi dipotong 2% (Rp200rb). Dari uang tersebut, Rp2 juta diantaranya dipakai untuk belanja kebutuhan sehari-hari (asumsi semuanya barang kena pajak), dan Andi membayar PPN sebesar Rp220 ribu. Rp4 juta diantaranya dipakai untuk melunasi angsuran mobil (dimana pajak kendaraan yang harus dibayar oleh Andi sebesar Rp3 jt per tahun atau Rp250 rb per bulan). Andi membayar PBB sebesar Rp480 ribu setahun atas rumahnya yang sudah lunas (Rp40 ribu sebulan). Sisanya ditabung dengan potongan pajak Rp5 rb per bulan. Dari ilustrasi di atas, Andi membayar Rp715 rb setahun untuk seluruh pajak-pajak (baik pajak pusat maupun pajak daerah) atau sekitar 7% dari penghasilan bulanannya. Tidak heran setiap akhir tahun, saat melihat bukti potong 1721-A1 kita takjub dengan besaran pajak yang telah dipotong. Benar?
Perlu diketahui, kepatuhan wajib pajak sangat beragam, dari mulai yang patuh sekali sampai tidak patuh sekali. Keberagaman ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang akan kita bahas di bawah ini.
Banyak riset mengenai perilaku kepatuhan atau ketidakpatuhan wajib pajak. Dari sekian banyak riset tersebut, faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan wajib pajak dapat dilihat dari perspektif politik (kebijakan fiskal), perspektif psikologi sosial, perspektif pengambulan keputusan, perspektif wirausaha, dan interaksi antara wajib pajak dan otoritas.
Faktor yang paling menentukan tingkat kepatuhan wajib pajak adalah perspektif politik atau kebijakan fiskal. Hal ini tidak jauh dari pembicaraan mengenai sistem perpajakan itu sendiri, antara lain mengenai assessment yang digunakan, kompleksitas sistem perpajakan, tarif pajak, sanksi/penalti, kemudahan berusaha, dll. Di lapis kedua adalah perspektif psikologi sosial. Hal ini antara lain mengenai pengetahuan perpajakan, perilaku, kepercayaan dan kepatuhan terhadap norma-norma sosial. Juga terkait dengan motivasi dari dalam diri wajib pajak untuk patuh.
Di lapis ketiga ada perspektif pengambilan keputusan oleh wajib pajak. Hal ini terkait dengan aspek rasionalitas dalam memutuskan patuh atau tidak patuh. Misalnya jika tidak patuh wajib pajak akan diperiksa, dikenai penalti/sanksi, dll. Di lapis keempat ada perspektif pengusaha. Pengusaha yang membayar pajak dari kantong sendiri memengaruhi kepatuhannya dalam membayar pajak. Seperti gambaran Andi di atas–bahkan Andi jelas-jelas karyawan yang risiko penghasilannya berbeda dengan pengusaha yang penuh dengan ketidakpastian–seorang pengusaha juga tentu ‘mikir-mikir’ apabila harus membayar pajak dalam jumlah besar. Dan lapis terakhir adalah interaksi antara wajib pajak dan otoritas. Pola interaksi otoritas dengan wajib pajak: apakah seperti polisi dan pencuri, apakah seperti pelayan yang tengah memberikan pelayanan terbaiknya kepada klien akan memengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak.
Berikut ini diberikan daftar faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan pajak terlepas dari perspektif di atas:
- Risiko terdeteksi oleh otoritas pajak dan pengenaan sanksi
- Kesempatan (kesempatan untuk tidak patuh tanpa diketahui oleh otoritas pajak)
- Persepsi mengenai keadilan dan perlakuan yang sama
- Perbedaan kepribadian individual
- Kepercayaan terhadap norma sosial
- Pengetahuan terhadap sistem perpajakan dan persyaratan yang harus dipenuhi
- Usia (wajib pajak yang lebih tua lebih patuh dari pada wajib pajak dengan usia muda)
- Jenis kelamin (perempuan lebih patuh dari pada laki-laki)
- Status pernikahan (wajib pajak yang telah menikah lebih patuh dari pada wajib pajak yang belum menikah)
- Pendidikan (wajib pajak yang berpendidikan lebih patuh dari wajib pajak yang tidak berpendidikan)
- Penghasilan (wajib pajak dengan penghasilan rendah lebih patuh dari pada wajib pajak dengan penghasilan tinggi)
- Kondisi ekonomi
- Keputusan otoritas
Referensi: Alink, M., & Van Kommer, V. (2011). Handbook on tax administration. IBFD.
