Plastik Berbayar: Sebuah Ilustrasi

kantong-plastik-berbayar-baru-diterapkan

BELAKANGAN ini media kita banyak memberitakan mengenai kebijakan baru pemerintah yang mewajibkan pedagang ‘menjual’ plastik pembungkus belanjaan yang semula gratis. Harga plastik yang dijual pun bervariasi, ada retailer yang menerapkan kebijakan satu harga, semua plastik (apapun ukurannya) dijual dengan harga yang sama, ada yang berbeda-beda sesuai ukuran plastiknya. Tujuan penerapan kebijakan ini adalah untuk mengurangi penggunaan plastik yang sudah terurai. Segera setelah kebijakan ini diluncurkan, banyak pendapat berseliweran, terutama mengenai tepat atau tidaknya kebijakan tersebut.

Saya akan membahas urusan plastik ini dengan sebuah ilustrasi.

Yulimart merupakan retailer barang-barang kebutuhan pokok yang dioperasikan oleh PT ABC. Peredaran usahanya mencapai Rp150 juta sehari, dengan jumlah pengunjung rata-rata mencapai 400 orang per hari dari jam 08.00 pagi hingga jam 11.00 malam. Dalam sehari Yulimart rata-rata menghabiskan kantong plastik sebanyak 1.000 eksemplar. Artinya, dalam sebulan (30 hari kerja) Yulimart mengonsumsi rata-rata 30.000 eksemplar plastik untuk layanannya.

Biaya cetak dan bahan baku plastik 30.000 plastik sebesar Rp1.500.000,- (Rp50 per eksemplar). Biaya tersebut biasanya dimasukkan sebagai harga pokok penjualan. Sejak diterapkannya kebijakan plastik berbayar, Yulimart mencatat beberapa hal berikut ini:

  • Rata-rata konsumsi plastik mengalami penurunan, namun tidak seberapa. Rata-rata pemakaian plastik sejak kebijakan tersebut diberlakukan adalah 900 eksemplar plastik per hari, atau 27.000 eksemplar plastik per bulan
  • Yulimart menjual plastik tersebut seharga Rp200 per eksemplar, sama seperti toko-toko retailer lainnya
  • Para pelanggan tetap memilih menggunakan plastik pada awal-awal kebijakan tersebut diberlakukan karena ketidaktahuan, sedangkan bulan-bulan berikutnya para pelanggan mengeluh lupa, atau hanya membawa 1 kantong saja, sementara ada barang-barang belanjaan yang harus dipisahkan dalam plastik tersendiri, misalnya es krim, daging, telur, dll, hal inilah yang menyebabkan konsumsi plastik tidak mengalami perubahan yang signifikan

Dari ilustrasi di atas, dapat kita hitung tambahan peredaran usaha Yulimart dari penjualan plastik sebesar 27.000 eksemplar plastik per bulan x Rp200 = Rp5.400.000,- atau Rp64.800.000,- setahun. Nyonya Yuli selaku pemilik Yulimart dan Direktur Utama PT ABC tentu saja berbahagia dengan kondisi tersebut.

Mengingat plastik tersebut merupakan Barang Kena Pajak (BKP), Yulimart harus menyetor PPN atas penjualan plastik tersebut ke negara sebesar Rp491.000,- ke kas negara setiap bulan.

Suatu ketika Nyonya Yuli membaca laporan keuangan perusahaan yang mengalami tambahan penghasilan dari penjualan plastik tersebut. Membaca laporan keuangan tersebut, dengan merasa sedikit bahagia namun miris, Nyonya Yuli berencana melakukan beberapa hal lain di bawah ini;

Yulimart tetap menjual plastik seharga Rp200 per eksemplar, keputusan membeli plastik tetap diserahkan kepada pelanggan. Selain menjual plastik, Yulimart juga menawarkan kepada pelanggan kantong dari bahan kain seharga Rp10.000,- per kantong dengan ukuran sedang. Kantong tersebut dapat dipergunakan beberapa kali karena terbuat dari kain dengan kualitas sedang.

Beberapa pelanggan membeli kantong kain tersebut karena bisa beberapa kali dipergunakan, sementara pelanggan yang lain lebih memilih menggunakan kantong plastik karena merasa harga kantong kain terlalu mahal. Alhasil pengadaan kantong kain tersebut dihentikan karena tidak terlalu laku. Pelanggan yang tadinya membeli kantong kain tersebut pun mengaku lupa pada pembelanjaan berikutnya, sehingga lagi-lagi harus membeli kantong plastik.

Pada kesempatan berikutnya Nyonya Yuli mencoba menghubungi temannya, Tuan Anas, seorang pengusaha kertas. Nyonya Yuli bertanya-tanya kepada Tuan Anas mengenai ongkos produksi kantong kertas dari kertas daur ulang yang namun aman dipergunakan. Ternyata ongkos produksi kertas tersebut sedikit lebih mahal dari plastik, meskipun aman bagi lingkungan. Kertas tersebut harus dicetak seharga Rp250 per eksemplar. Nyonya Yuli mengajukan kepada dewan direksi untuk mencetak kantong kertas tersebut, dan membayarnya dari pos Corporate Social Responsibility yang selama ini dipergunakan untuk kegiatan sosial sunat masal gratis. Usulan tersebut ditolak oleh dewan direksi. Bahkan Nyonya Yuli diancam akan dimakzulkan jika memaksakan kebijakan kantong kertas tersebut tetap dilaksanakan.

Yulimart pada akhirnya tetap menjual kantong plastik seharga Rp200 per eksemplar kepada pelanggan dan makin lama konsumsi kantong plastik bukannya menurun, melainkan cenderung naik. Dewan Direksi berbahagia, meskipun hati kecil Nyonya Yuli merasa bersalah. Nyonya Yuli berpendapat bahwa kebijakan ‘penjualan’ kantong plastik tersebut tidak tepat karena hanya menguntungkan penjual.

Ilustrasi di atas tentu saja hanya khayalan saya saja. Namun rasanya perlu kita pikirkan juga mengenai kebijakan penjualan kantong plastik tersebut: sebenarnya memihak siapa?

Di tempat lain, karena konsumen merasa harga kantong plastik yang dijual di minimarket/supermarket terlalu mahal, mereka membeli kantong plastik dari toko plastik (khusus menjual plastik) dan dibawa setiap kali hendak berbelanja di minimarket/supermarket. Sama-sama plastik.

Sebagai konsumen, kita dituntut cerdas. Kebijakan tersebut harus kita sikapi dengan bijak. Yuk bawa kantong sendiri saat berbelanja, bukan kantong plastik yang dibeli di tempat lain di tempat yang lebih murah, tapi kantong nonplastik yang lebih ramah lingkungan. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Semoga bermanfaat.

Gambar dari sini.

1 Comment

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.