Jika Anda adalah Seorang Pengusaha Bengkel, Beginilah Seharusnya Cara Anda Patuh Pajak

SAYA pribadi adalah seorang pengendara motor. Setiap hari bolak-balik Bintaro-Gatot Subroto menggunakan motor. Selain tidak punya kendaraan yang lain (mobil misalnya), motor adalah satu-satunya kendaraan yang menurut saya paling efektif dipergunakan di Jakarta. Bayangkan saja, dengan jarak tempuh yang hanya 17 km, dengan motor saya bisa menempuhnya dalam waktu sekitar 45 menit. Sementara jika saya harus naik mobil (bis jemputan misalnya) saya harus menempuhnya tidak kurang dari 1,5 jam. Saya berasa tua di jalan. Sebenarnya ada sih alternatif kendaraan lainnya, naik kereta komuter. Tetapi karena kendaraan pendukungnya (transportasi dari rumah ke stasiun dan dari stasiun ke kantor) belum mendukung, membuat saya malas naik kereta. Padahal murah meriah lho naik kereta di Jakarta, dengan 2ribu perak saya bisa menempuh jarak jauh hingga 25 km.

Kembali ke bengkel. Gara-gara saya seorang pengendara motor itulah saya sering berurusan dengan bengkel. Entah itu sekedar pasang lampu motor yang mati, atau ganti oli, sampai service rutin dan service besar. Minimal 2 bulan sekali lah saya harus mengantri di bengkel motor pagi-pagi untuk memanjakan motor kesayangan. Lalu, jika pembaca adalah seorang pengusaha bengkel, kira-kira apa saja yang harus dilakukan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya?

Karakteristik Usaha

Usaha bengkel, seperti sudah kita ketahui pada umumnya, adalah usaha yang bidangnya memberikan pelayanan–jasa–kepada pelanggan. Baik itu jasa service, jasa ganti oli, jasa pemasangan spare part tertentu, dsb. Sebagai pelengkap dari jasa yang dilakukan tersebut, kebanyakan bengkel juga melakukan penjualan. Apa yang dijual? Oli, spare part, dll. Meski biasanya usaha bengkel dilakukan oleh perorangan, tak jarang usaha bengkel dilakukan juga oleh perusahaan. Mengingat usaha bengkel erat kaitannya dengan kendaraan, bengkel banyak melakukan kerjasama dengan produsen kendaraan bermotor. Kerjasama yang dilakukan biasanya terkait penjualan spare part, maupun service yang diberikan secara gratis. Jika sudah berkaitan dengan bentuk kerjasama ini, maka aspek perpajakannya menjadi sedikit rumit, hehehe.

Mendaftarkan Diri

Jika Anda adalah seorang pengusaha bengkel yang sudah beroperasi dan melakukan usaha, entah itu berbentuk usaha yang dilakukan anda sendiri sebagai orang pribadi, maupun dilakukan oleh perusahaan Anda, maka yang harus dilakukan adalah mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku sampai dengan akhir bulan berikutnya sejak penghasilan orang pribadi pengusaha bengkel tersebut melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau akhir bulan berikutnya sejak perusahaan yang bergerak di bidang perbengkelan tersebut didirikan.

Kewajiban lain terkait pendaftaran adalah kewajiban melaporkan diri ke KPP tempat terdaftar untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Kewajiban ini hanya berlaku jika:

  1. Penyerahan jasa bengkel dan penjualan barang terkait perbengkelan dalam suatu tahun pajak telah melampaui Rp4,8 miliar; atau
  2. Pengusaha memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP meskipun peredaran usaha terkait penyerahan jasa bengkel dan penjualan barang terkait perbengkelan dalam suatu tahun pajak tidak melampaui Rp4,8 miliar.

Melakukan Pembukuan

Apabila Anda sudah memperoleh NPWP dan/atau sudah dikukuhkan sebagai PKP, maka Anda harus melakukan pembukuan. Pembukuan dilakukan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum (PSAK jika di Indonesia). Kewajiban menyelenggarakan pembukuan ini tidak berlaku jika usaha bengkel tersebut dilakukan oleh orang pribadi yang peredaran usahanya tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Namun jika usaha bengkel tersebut dilakukan oleh perusahaan (badan), maka baik melebihi Rp4,8 miliar atau tidak, tetap wajib melakukan pembukuan.

Menghitung, Memperhitungkan, Memungut, Memotong dan Melaporkan Pajak dengan Benar

Setelah kewajiban mendaftarkan diri dan kewajiban melakukan pembukuan dengan baik, maka kewajiban berikutnya adalah melaksanakan kewajiban perpajakannya. Berikut ini dibahas pajak demi pajak yang terkait dengan usaha perbengkelan:

1. PPh Pasal 21

Pengusaha bengkel, baik orang pribadi maupun badan harus melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas gaji, honor dan imbalan sejenisnya kepada para pegawai bengkel. Pegawai bengkel biasanya terdiri dari dua jenis pegawai, yaitu mekanis/montir dan pegawai administrasi. Tata cara pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagaimana diatur dalam PER-31/PJ/2012. Berikut ini diberikan beberapa contoh:

a. Pemotongan PPh Pasal 21 montir

Tuan Endri memiliki sebuah bengkel di jalan Arjuna No. 25 dengan merk Endri Motor. Salah satu karyawannya, Tuan Adin, setiap bulan kepadanya dibayarkan penghasilan sebagai berikut:

  • Gaji pokok Rp2.000.000,- sebulan
  • Komisi untuk setiap motor yang diperbaiki sebesar Rp15.000,- per motor. Selama bulan Januari 2015 tercatat Tuan Adin telah memperbaiki motor sebanyak 60 motor
  • Tuan Adin belum menikah

Berdasarkan informasi di atas, penghitungan PPh Pasal 21 Tuan Adin adalah sebagai berikut:

Gaji Pokok sebulan Rp2.000.000,-
Komisi bulan Januari Rp900.000,-
Jumlah Penghasilan bruto sebulan Rp2.900.000,-
Pengurangan Biaya jabatan 5% x Rp2.900.000,- Rp145.000,-
Penghasilan neto sebulan Rp2.755.000,-
 Penghasilan neto setahun Rp33.060.000,-
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) TK/0 Rp24.300.000,-
Penghasilan Kena Pajak Rp8.760.000,-
PPh Pasal 21 terutang setahun 5% x Rp8.760.000,- Rp438.000,-
PPh Pasal 21 terutang sebulan Rp438.000,-/12 Rp36.500,-

b. Pemotongan PPh Pasal 21 atas pegawai administrasi

Tuan Dimmy bekerja sebagai petugas administrasi pada bengkel Mitra Motor yang dikelola oleh PT Krisna Sanjaya. Tugas Tuan Dimmy adalah mencatat pendaftaran service motor, dan melayani pembayaran jasa bengkel maupun penjualan spare part motor. Setiap bulan kepada Tuan Dimmy dibayarkan penghasilan berupa gaji pokok sebesar Rp1.500.000,-. Tidak ada penghasilan lain yang dibayarkan kepada Tuan Dimmy. Tuan Dimmy belum menikah meski usianya telah menginjak senja (*lho)

Berdasarkan informasi di atas, penghitungan PPh Pasal 21 Tuan Dimmy adalah sebagai berikut:

Gaji Pokok sebulan Rp1.500.000,-
Jumlah Penghasilan bruto sebulan Rp1.500.000,-
Pengurangan Biaya jabatan 5% x Rp1.500.000,- Rp75.000,-
Penghasilan neto sebulan Rp1.425.000,-
Penghasilan neto setahun Rp17.100.000,-
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) TK/0 Rp24.300.000,-
Penghasilan Kena Pajak Rp0,-
PPh Pasal 21 terutang setahun 5% x Rp8.760.000,- Rp0,-
PPh Pasal 21 terutang sebulan Rp438.000,-/12 Rp0,-

Mengingat penghasilan Tuan Dimmy masih di bawah PTKP, kepada Tuan Dimmy tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.

c. Pemotongan PPh Pasal 21 atas THR/Bonus

Melanjutkan contoh pada huruf a, misalnya pada bulan Januari 2015, kepada Tuan Adin selain dibayarkan penghasilan sebagaimana diatas, dibayarkan pula bonus kinerja selama tahun 2014 sebesar Rp2.500.000,-

Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas bonus tersebut, langkah-langkahnya adalah:

  • Hitung PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus setahun/disetahunkan
  • Hitung PPh Pasal 21 atas gaji setahun (tanpa bonus)
  • Kurangkan hasil penghitungan kedua langkah di atas, sehingga hasilnya adalah PPh Pasal 21 atas bonus

Maka PPh Pasal 21 atas bonus yang diterima Tuan Adin adalah:

Gaji Pokok sebulan Rp2.000.000,-
Komisi bulan Januari Rp900.000,-
Jumlah Penghasilan bruto sebulan Rp2.900.000,-
Jumlah Penghasilan atas gaji dan komisi setahun Rp34.800.000,-
Jumlah bonus Rp2.500.000,-
Jumlah Penghasilan bruto setahun Rp37.300.000,-
Pengurangan Biaya Jabatan 5% X Rp37.300.000,- Rp1.111.000,-
Penghasilan neto setahun Rp36.189.000,-
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) TK/0 Rp24.300.000,-
Penghasilan Kena Pajak Rp11.889.000,-
PPh Pasal 21 terutang setahun 5% x Rp11.889.000,- Rp594.450,-

Maka PPh Pasal 21 atas Bonus yang harus dipotong adalah sebagai berikut:

PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus setahun Rp594.450,-
PPh Pasal 21 tanpa bonus setahun (sesuai contoh pada huruf a) Rp438.000,-
PPh Pasal 21 atas bonus Rp156.450,-

Pemotongan PPh Pasal 21 tidak hanya dilakukan apabila bengkel membayarkan gaji, honor, bonus, THR atau penghasilan lainnya kepada karyawan. Di sisi lain, bengkel akan dipotong PPh Pasal 21 atas jasa yang telah diberikan apabila bengkel yang dilakukan oleh orang pribadi memberikan jasa kepada perusahaan/pemotong PPh Pasal 21. Contoh:

Tuan Andre mengelola bengkel yang bernama Andre Motor. Pada Februari 2015, bengkel Tuan Andre mendapatkan orderan dari PT Rancamaya untuk memperbaiki kendaraan kantor yang rusak. Kontrak yang ditandatangani senilai Rp100.000.000,-. Maka atas jasa tersebut Tuan Andre akan dipotong PPh Pasal 21 yang perhitungannya adalah:

Nilai bruto sesuai nilai kontrak Rp100.000.000,-
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 50% x Rp100.000.000,- Rp50.000.000,-
PPh Pasal 21 yang dipotong 5% x Rp50.000.000,- Rp2.500.000,-

2. PPh Pasal 23

Apabila bengkel Anda dikelola oleh perusahaan dan mendapatkan orderan jasa dari perusahaan lain, maka atas jasa yang diberikan akan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2% jika perusahaan Anda ber-NPWP dan 4% apabila perusahaan Anda tidak ber-NPWP. Pemotongan ini tidak akan berlaku apabila perusahaan Anda memiliki omset kurang dari Rp4,8 miliar setahun berdasarkan pembukuan tahun pajak sebelumnya sehingga harus melakukan penghitungan PPh dengan menggunakan PP No 46 tahun 2013 dan Anda memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) yang telah dilegalisasi oleh kepala KPP tempat Anda menyampaikan SPT Tahunan PPh. Pemotongan PPh Pasal 23 juga tidak akan dilakukan jika bengkel dikelola oleh orang pribadi, karena kepada orang pribadi tersebut akan dipotong PPh Pasal 21 seperti contoh di atas. Berikut diuraikan contoh pemotongan PPh Pasal 23:

PT Angga Wicaksana adalah perusahaan yang bergerak dalam pemberian jasa bengkel. Pada bulan Maret 2015 PT Angga Wicaksana memberikan jasa kepada PT Zakia Lestari dengan nilai kontrak sebesar Rp100.000.000,- untuk service rutin kendaraan operasional PT Zakia Lestari. PT Angga Wicaksana memiliki peredaran bruto di atas Rp4,8 miliar, sehingga tidak menghitung pajaknya dengan menggunakan PP No 46/2013. Maka atas pembayaran yang dilakukan PT Zakia Lestari kepada PT Angga Wicaksana harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2%, yaitu:

2% x Rp100.000.000,- = Rp2.000.000,-

3. PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh yang terutang selama satu tahun pajak. Normalnya, PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan jumlah PPh yang terutang selama setahun pada tahun kemarin. Namun dalam hal-hal tertentu PPh Pasal 25 dihitung dengan cara yang berbeda, misalnya PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan, atau bagi Wajib Pajak perbankan, dll.

Contoh:
PT Rujukan Semesta, berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh tahun 2014, terutang PPh sebesar Rp12.000.000,- selama setahun. PPh tersebut dihitung dari penghasilan teratur yang diperoleh PT Rujukan Semesta selama tahun 2014. Maka PPh Pasal 25 tahun 2015 yang akan terutang mulai masa April 2015 adalah:

1/12 x Rp12.000.000,- = Rp1.000.000.-

Dalam hal PT Rujukan Semesta pada tahun 2015 menghitung pajaknya menggunakan PP No 46/2013, maka PPh Pasal 25 cukup dilaporkan nihil.

4. PPh Pasal 4 ayat (2)

Apabila bengkel (baik dikelola perseorangan maupun dikelola perusahaan yang telah beroperasi komersial lebih dari 1 tahun) memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar setahun sebelumnya, maka bengkel harus menghitung pajaknya dengan menggunakan PP No 46/2013 yaitu 1% dari setiap peredaran bruto setiap bulannya di setiap tempat kegiatan usaha. Pajak ini bersifat final, sehingga dikenakan langsung dari peredaran usaha/omset tanpa memperhatikan beban yang dikeluarkan oleh bengkel. Contoh:

Didik Motor merupakan bengkel yang dikelola oleh Tuan Sanda. Selama tahun 2014 peredaran dari jasa service dan penjualan spare part yang dilakukan tidak melebihi Rp4,8 miliar setahun. Sehingga mulai Januari 2015, Didik Motor harus menghitung pajaknya dengan menggunakan PP No 46/2013. Selama Januari 2015, peredaran usaha dari jasa service sebesar Rp200.000.000,- dan penjualan sparepart sebesar Rp50.000.000,- sehingga total penghasilan yang diterima Didik Motor selama Januari 2015 adalah sebesar Rp250.000.000,-

Maka PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus disetor adalah 1% x Rp250.000.000,- = Rp2.500.000,-

5. PPN

Apabila bengkel telah dikukuhkan sebagai PKP, bengkel wajib memungut PPN untuk setiap penyerahan jasa maupun penjualan barang yang dilakukan. Hal ini mengingat karakteristik bengkel biasanya hanya menyerahkan jasa kena pajak maupun barang kena pajak saja sesuai UU PPN. Sejauh pengetahuan saya tidak ada bengkel yang usaha utamanya adalah menyerahkan emas batangan, kecuali (mungkin) sebagai hadiah. Tarif PPN yang berlaku adalah 10%. Berikut diberikan contohnya:

Pada tanggal 16 Maret 2015, bengkel Anas Motor yang telah dikukuhkan sebagai PKP menyerahkan jasa service dan penjualan spare part kepada Tuan Zaki masing-masing sebesar Rp100.000,- dan Rp50.000,- sehingga jumlah totalnya sebesar Rp150.000,-. Maka atas transaksi tersebut Anas Motor harus memungut PPN sebesar 10% x Rp150.000,- = Rp15.000,-. Sehingga Tuan Zaki harus membayar sebesar Rp165.000,-

Dalam hal Tuan Zaki mengklaim biaya service gratisnya yang diberikan oleh Yamaha melalui Anas Motor, maka perlakuan pajaknya bisa dibaca pada tautan berikut ini.

Membayar Pajak dan Melaporkan SPT

Setelah Anda menghitung, memperhitungkan, memotong dan memungut pajak dengan benar, maka yang harus Anda lakukan adalah melakukan pembayaran atas pajak-pajak yang terutang tersebut dan melaporkan SPT-nya. Baik SPT Masa maupun SPT Tahunan PPh.

Jenis-jenis SPT Masa diantaranya:

  1. SPT Masa PPh Pasal 21 untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21
  2. SPT Masa PPh Pasal 23 untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 23
  3. SPT Masa PPh Pasal 25 yang berupa Surat Setoran Pajak (SSP) untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 25
  4. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) untuk melaporkan pembayaran/pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2)
  5. SPT Masa PPN untuk melaporkan pemungutan PPN
  6. SPT Tahunan PPh (baik orang pribadi maupun badan) untuk melaporkan pajak yang terutang selama satu tahun pajak.

Demikian pembahasan saya mengenai aspek pajak atas usaha bengkel. Semoga bermanfaat.

4 Comments

  1. Artikel ini sangat membantu. Terima kasih pak.
    Hanya saja saya masih bingung. Maka, perusahaan jenis apakah ini? Perusahaan dagang atau perusahaan jasa? Terkait pembuatan laporan keuangannya kan berbeda antara perusahaan jasa dan perusahaan dagang. Terima kasih.

    Like

    1. Untuk mengklasifikasikan apakah perusahaan tsb termasuk perusahaan dagang atau jasa dapat dilihat dari omset yang mendominasi, apakah dr dagang atau dari jasanya.

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.