D.1. Pengertian Kepatuhan Pajak

BERBICARA mengenai kepatuhan pajak, tentu harus diawali pembicaraan mengenai sistem perpajakan yang berlaku di suatu negara. Indonesia menganut paham self assessment system dalam pelaksanaan perpajakannya. Yang mana Wajib Pajak diberi kekuasaan dan kelonggaran untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP, menghitung berapa pajak yang terutang secara mandiri, memperhitungkan pajak-pajak yang telah dipotong dan dipungut oleh pihak lain, menyetorkan kekurangan pajak yang terutang secara mandiri, dan melaporkan SPT-nya atas kesadaran sendiri. Self assesment system merupakan amanat dari Pasal 2 UU KUP.

Mengingat sistem tersebut yang dipakai di Indonesia, maka pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak menjadi hal urgent yang harus diperhatikan oleh DJP. Hal ini dikarenakan Wajib Pajak diberi wewenang penuh untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan hak dan kewajibannya. Wajib Pajak yang patuh artinya mau melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara sukarela, sedangkan Wajib Pajak yang tidak patuh artinya Wajib Pajak yang tidak mau melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu sistem ini benar-benar mengandalkan kesadaran Wajib Pajak, tentu saja harus didukung dengan aturan yang jelas, adil, dan transparan. Demikian pula prosedur administrasi yang sederhana dan tidak berbelit-belit. Pada kenyataannya, perilaku penghindaran pajak cenderung menjadi bagian dari sistem self assesment.

Berdasarkan penjelasan di atas, pengertian kepatuhan pajak dapat didefinisikan menjadi dua macam, yaitu pengertian secara sederhana dan secara komprehensif. Pengertian kepatuhan secara sederhana adalah sekedar menyangkut sejauh mana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan pengertian kepatuhan yang lebih komprehensif adalah bagaimana sikap pembayar pajak yang memiliki rasa tanggung jawab sebagai warga negara bukan hanya sekedar takut akan sanksi dari hukum pajak yang berlaku (Simanjuntak dan Mukhlis, 2012).

Derajat ketidakpatuhan pajak diukur dengan tax gap. Tax gap menggambarkan perbedaan antara apa yang tersurat dalam aturan perpajakan dengan apa yang dilaksanakan oleh Wajib Pajak. Tax gap dapat diartikan juga sebagai perbedaan antara berapa potensi pajak yang dapat dikumpulkan dengan realisasi penerimaan pajak yang dapat dikumpulkan oleh negara.

Definisi di atas terlalu sederhana karena pada kenyataannya kepatuhan pajak baru dapat direalisasikan setelah dilakukan pemeriksaan atau penyelidikan oleh fiskus, ancaman atau sanksi hukum (law enforcement). Sejatinya kepatuhan pajak yang diharapkan adalah kepatuhan pajak secara sukarela (voluntary compliance). Lagi-lagi, Wajib Pajak selalu berusaha menghindar untuk membayar pajak dengan melakukan tax avoidance dan tax evasion yang akan kita bahas di beberapa tulisan ke depan. Dengan demikian, bagi seorang Wajib Pajak dalam melaporkan pajaknya tentu akan memperhitungkan risiko untuk menghindar tersebut. Pembayar pajak yang rasional dalam melaporkan SPT nya akan memperhitungkan faktor-faktor seperti besarnya pendapatan, faktor terdeteksi untuk dilakukan pemeriksaan, faktor tarif, dan faktor sanksi akibat melakukan kesalahan.

Wajib Pajak yang dapat merencanakan konsep pajaknya secara matang namun masih dalam koridor peraturan perpajakan, masih dibilang patuh. Karena penghindaran yang dilakukan masih dianggap legal dan sah secara hukum. Oleh karena itu, dalam beberapa hal kepatuhan tidak melulu mengenai besarnya pajak yang dibayar, namun kepatuhan lebih kepada mengenai apakah Wajib Pajak melaksanakan kewajibannya dengan baik atau tidak.

Semoga bermanfaat.

———————————
Referensi:
1) Simanjuntak dan Mukhlis, Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam Pembangunan Ekonomi, 2012
2) UU KUP

2 Comments

  1. Pertama, saya ingin mengucapkan terima kasih banyak atas dibuatnya blog ini karena jujur saja sebagai mahasiswa saya sangat terbantu dengan adanya blog ini. Semoga penulis selalu diberikan kesehatan dan tetap selalu peduli untuk mengkampayekan pentingnya pajak kepada siapa pun.

    Kedua, saya sangat sering sekali mendengar tentang kepatuhan WP, dan bagi saya kepatuhan memang sangat penting untuk menjadi acuan bagimana proses perpajakan di Indonesia itu dilaksanakan. Yang menjadi pertanyaan, “apakah ada peraturan khusus terkait apa itu kepatuhan WP? indikatornya apa saja? dan bagaimana mengukurnya? dan apakah kepatuhan itu terbagi-bagi lagi menjadi bagian2 tertentu?” mengingat saya sering mendengar kepatuhan formal, kepatuhan informal, kepatuhan bla bla bla. Hal tersebut juga didukung dengan sumber yang saya peroleh hanya sumber2 berupa artikel, pendapat, kutipan, belum saya peroleh yang berupa sumber yang sifatnya yuridis.

    Ketiga, karena penulis bekerja di Dit PKP (hehe kepo dikit) , saya ada pertanyaan tambahan apakah DJP juga mengukur tingkat kepatuhan dan mengelompokkannya berdasarkan jenis usaha ? (maksud saya disini misal, paling patuh adalah jenis usaha konstruksi, kedua jenis usaha tambang minerba dan sebagainya)

    Terakhir, saya mohon maaf apabila ada kata2 saya yang salah terkait komentar ini. Sekali lagi terima kasih!

    Like

    1. Halo Putu Panji, salam kenal dan terima kasih atas doanya.
      Kalau yang dimaksud definisi kepatuhan secara tertulis di aturan kita memang belum ada, namun kalau kita baca UU KUP dan UU Pajak, disana mengatur mengenai hak dan kewajiban. Nah kepatuhan dapat didefinisikan secara umum sebagai sejauh mana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan tersebut.
      Oleh karenanya pada dasarnya pilar kepatuhan wajib pajak terdiri dari 4 jenis:
      1. Kepatuhan dalam mendaftarkan diri sebagai wajib pajak/pengusaha kena pajak;
      2. Kepatuhan dalam melakukan pembayaran pajak;
      3. Kepatuhan dalam melakukan pelaporan SPT (kepatuhan formal); dan
      4. Kepatuhan melaporkan SPT dengan benar, jelas dan lengkap (kepatuhan material).

      Saat ini DJP menilai wajib pajak berdasarkan risiko, dimana risiko ini diukur berdasarkan (salah satunya) tingkat kepatuhan wajib pajak melalui sebuah framework yang dikenal sebagai compliance risk management (CRM). Tentu saja di dalamnya kita bisa melihat risiko wajib pajak berdasarkan kategori subjek pajaknya (misalnya wajib pajak badan, orang pribadi non karyawan maupun orang pribadi karyawan), atau bahkan kategori lapangan usaha, kategori jenis pajak, dlsb.

      Semoga bermanfaat.

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.