PPh Pasal 23 di-Gross Up, bolehkah?

PT MAHAKAM merupakan perusahaan yang beroperasi di daerah rawan gempa. Hampir setiap hari karyawan PT Mahakam merasakan getaran gempa, meskipun tidak termasuk dalam kategori berbahaya. Merupakan suatu kewajiban bagi PT Mahakam untuk membekali karyawannya dengan keterampilan mengenai tanggap gempa. Untuk memberikan keterampilan tersebut PT Mahakam harus bekerja sama dengan PT Angin Ribut yang merupakan perusahaan yang bergerak dalam pemberian informasi mengenai penanganan pra dan pasca gempa. PT Angin Ribut merupakan perusahaan kecil, non PKP, dan belum terlalu sadar pajak. PT Mahakam menggunakan jasa teknik yang diberikan oleh PT Angin Ribut dengan nilai kontrak sebesar Rp196.000.000,- untuk 196 karyawannya (Rp1.000.000,- per karyawan). Atas jasa yang diberikan PT Angin Ribut kepada PT Mahakam, PT Angin Ribut bersikeras bahwa penghasilannya tidak perlu dipotong PPh Pasal 23, mengingat selama ini juga tidak pernah dipotong PPh Pasal 23. PT Angin Ribut tidak memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23 terkait PP No 46 tahun 2013 sesuai PER-32/PJ/2013 maupun SKB yang lainnya terkait PER-21/PJ/2014. PT Mahakam merasa bingung dengan sikap PT Angin Ribut yang tidak mau dipotong PPh Pasal 23.

Akhirnya, dengan penuh terpaksa, Direktur Keuangan PT Mahakam memutuskan bahwa PPh Pasal 23 atas penghasilan yang dibayarkan kepada PT Angin Ribut akan ditanggung oleh perusahaan. Apakah hal ini diperbolehkan?

Cara 1: PPh Pasal 23 Ditanggung oleh PT Mahakam Tanpa Digross-up
PPh Pasal 23 yang seharusnya dipotong dari PT Angin Ribut, ditanggung dan dibayar sendiri oleh PT Mahakam. PT Mahakam tetap membuat bukti potong atas nama PT Angin Ribut dan melaporkannya dalam SPT Masa PPh Pasal 23. Invoice yang dibuat PT Angin Ribut tetap senilai Rp196.000.000,-, begitu juga dengan nilai yang tertera dalam kontrak.
PT Mahakam menjurnal sebagai berikut:

Uraian Debit Kredit
Beban jasa teknik 196.000.000,-
Beban PPh Pasal 23 3.920.000,-
     Utang PPh Pasal 23 3.920.000,-
     Kas 196.000.000,-

Sedangkan PT Angin Ribut menjurnal sebagai berikut:

Uraian Debit Kredit
Kas 196.000.000,-
     Pendapatan 196.000.000,-

Karena tidak menerima bukti potong PPh pasal 23, PT Angin Ribut tidak mencatat uang muka PPh Pasal 23, mengingat yang bersangkutan juga memang tidak mau dipotong PPh Pasal 23.

Cara 2: PPh Pasal 23 Ditanggung PT Mahakam dengan terlebih dahulu di-gross up
Berbeda dengan cara pertama, kali ini PT Mahakam membuat seolah-olah PT Angin Ribut berkenan dipotong PPh Pasal 23, meskipun sebenarnya PPh Pasal 23 tersebut ditanggung sendiri oleh PT Mahakam. Caranya dengan meng-gross-up penghasilan yang akan dibayarkan kepada PT Angin Ribut. Jika Rp196.000.000,- merupakan penghasilan bersih yang akan dibayarkan kepada PT Angin Ribut, maka Rp196.000.000,- tersebut adalah penghasilan setelah dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2%. Atau dengan kata lain Rp196.000.000,- adalah 98% dari penghasilan PT Angin Ribut. Sehingga nilai bruto jasanya adalah Rp200.000.000,- yang diperoleh dari perhitungan sebagai berikut:

98% x Nilai Bruto Jasa = Rp196.000.000,-
Nilai Bruto Jasa = Rp200.000.000,-

Kali ini PT Mahakam meminta kerjasama dari PT Angin Ribut agar membuat invoice senilai Rp200.000.000,- dimana Rp4.000.000,- selisihnya merupakan pajak yang akan disetor ke kas negara. PT Mahakam dan PT Angin Ribut juga sepakat untuk merevisi nilai kontrak menjadi Rp200.000.000,-
Sehingga PT Mahakam akan menjurnal dalam pembukuannya:

Uraian Debit Kredit
Beban jasa teknik 200.000.000,-
     Utang PPh Pasal 23 4.000.000,-
     Kas 196.000.000,-

Dan PT Angin Ribut akan menjurnal dalam pembukuannya:

Uraian Debit Kredit
Kas 196.000.000,-
Uang Muka PPh Pasal 23 4.000.000,-
     Pendapatan 200.000.000,-

PT Mahakam tetap membuat bukti potong PPh Pasal 23 atas nama PT Angin Ribut dan bukti potong tersebut tetap diberikan kepada PT Angin Ribut agar tetap bisa dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh-nya.

Cara mana yang paling tepat? Cara 1 atau Cara 2?
Sebenarnya tidak ada cara yang tepat, baik cara 1 maupun cara 2. Karena keduanya sama-sama salah: PT Angin Ribut tidak berkenan dipotong PPh Pasal 23 atas jasa teknik, padahal menurut ketentuan, penghasilan atas jasa tersebut merupakan objek PPh Pasal 23.

Namun ternyata kenyataan tidak berkata demikian. Pada prakteknya PT Angin Ribut tidak berkenan dipotong PPh Pasal 23. Dan kita tetap harus memilih, cara 1 atau cara 2 yang paling bisa diterima? 

Apabila kita perhatikan, pada cara 1, PT Mahakam mencatat PPh Pasal 23 sebagai beban tersendiri, padahal beban PPh tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Sehingga harus dikoreksi positif di SPT Tahunan PPh PT Mahakam. Di sisi lain, PT Mahakam juga tidak membuat bukti potong PPh Pasal 23 karena pada prakteknya toh PT Mahakam juga yang membayarkan PPh Pasal 23-nya.

Namun, pada cara 2, PT Mahakam tidak mencatat beban PPh sebagai beban tersendiri, namun menggabungkannya ke dalam nilai beban teknik. Sehingga beban teknik yang seharusnya dicatat Rp196.000.000,- terpaksa harus dicatat sebesar Rp200.000.000,- setelah digross-up dengan PPh Pasal 23 yang seharusnya dipotong dari PT Angin Ribut. PT Mahakam juga tetap membuat bukti potong PPh Pasal 23 dan tetap menyerahkannya ke PT Angin Ribut agar tetap dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh-nya.

Cara 2 ternyata lebih smooth/halus. Artinya, seolah-olah tidak terjadi permasalahan mengenai PT Angin Ribut yang tidak mau dipotong PPh Pasal 23. Dimana bukti-bukti (invoice dan kontrak) dicatat sebesar nilai bruto setelah di gross-up, yaitu sebesar Rp200.000.000,-.

Sehingga cara 1 atau cara 2 yang lebih bisa diterima? Silakan tentukan sendiri.
Semoga bermanfaat.

7 Comments

  1. mau nanya kak, kalo misalnya PT. lawan transaksi sudah punya NPWP tapi tidak mau di potong 2% untuk jasa nya gimana ya ?

    Like

    1. Selamat pagi ibu Nike, dalam hal lawan transaksi menunjukkan surat keterangan bebas (SKB) misalnya terkait pelaksanaan PP no 46/2013 atau terkait hal lain yang diatur dalam ketentuan perpajakan, maka Ibu tidak perlu memotongnya. Namun dalam hal lawan transaksi tidak dapat menunjukkan SKB, ibu tetap harus memotongnya sesuai ketentuan. Dalam hal ibu tidak melakukan pemotongan/pemungutan maka ibu diancam dengan dikenai sanksi berupa denda sebesar 100% dari pajak yang kurang dipotong/dipungut.

      Semoga bermanfaat.

      Like

  2. Kalo kita sebagai yang menerbitkan bukti potong pph 23

    Jurnalnya
    Beban (Dr)
    Pph 23(Cr)
    Kas/bank(Cr)

    Mohon infonya bang dan pihak yg dipotong jurnalnya apa bang ?

    Masih niewbie nih 🙂

    Like

  3. Pada cara kedua PT Mahakam dan PT Angin Ribut sepakat mengubah invoice dan kontrak. Pertanyaannya bagaimana jika tidak tercapat kesepakatan mengubah invoice dan kontrak sementara PT Mahakam tetap ingin menggunakan cara kedua? Bagaimana dampaknya?terimakasih

    Like

  4. Terima kasih mas. bagus sekali artikelnya. boleh nanya ya.
    untuk kasus pertama, apabila PT Angin Ribut menghitung PPh Badan akhir tahunnya serta memasukkan seluruh penghasilannya dalam tahun tersebut, mestinya penghasilan yang diterima dari PT Mahakam akan dikenai PPh pasal 29 dong ya? dan tidak ada kredit pajak.
    Apakah pengenaan pajak atas transaksi tersebut menjadi 2x ya? satu di tanggung oleh PT Mahakam, dan kedua pada saat penghitungan akhir tahun oleh PT Angin Ribut.

    terima kasih atas pencerahannya.

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.