Harta Yang Paling Berharga

SAYA suka bingung kalau ditanya ‘apa hartamu yang paling berharga?’. Pertama, kalau dilihat dari harganya, rasanya harta saya tidak ada yang sangat berharga. Lha iya, istri belum ada, apalagi anak, jadi saya belum bisa mengatakan “Nak, kamulah harta ayah yang paling berharga“. Kedua, saya juga nggak hobi sih ngumpulin harta (kalau yang ini alasan saja :p)

Harta yang saya (anggap) paling berharga sejauh ini adalah ayah ibu saya, kakak dan adik saya, lalu buku-buku saya. Kenapa mesti buku? Karena saya memang mencintai buku-buku saya (yang ini sih karena gak ada lagi yang bisa ‘dicintai’, hahaha).

Saya cerita sedikit ya tentang buku-buku saya

Sebelum sekolah, dua orang kakak saya (keduanya perempuan) sudah mengajarkan saya cara membaca. Jadi begitu sekolah saya sudah bisa membaca. Sejak saya bisa membaca, saya jatuh cinta pada aktivitas itu: membaca. Apa saja saya baca. Saya lewat di depan warung, saya baca spanduknya. Saya lihat potongan koran di jalan, saya baca. Saya beli snack, saya baca bungkusnya, apalagi kalau pelajaran bahasa Indonesia, saya langsung mencari bagian cerpen atau potongan-potongan cerpen yang dibahas di buku itu.

Perpustakaan SD saya berada di ruang guru yang sekaligus ruang kepala sekolah. Jadi kalau saya mau baca buku saya harus masuk ke ruang guru, basa-basi-busuk sebentar sama guru dan kepala sekolah, lalu saya mencari-cari buku cerita yang menarik. Karena tidak boleh dibawa pulang, saya harus nyicil membacanya, karena biasanya satu buku tidak habis saya baca dalam sehari.

Waktu SMP, saya mulai kenal sama novel. Sewaktu SMP inilah saya mulai jatuh cinta sama novelnya JK Rowling, Harry Potter. Ceritanya, ada teman sekelas–anak orang berada–yang juga hobi membaca Harry Potter. Begitu dia membeli novel Harry Potter, bisanya saya ada di antrean pertama yang akan meminjam novelnya, hehe.

Perpustakaan SMA saya tidak terlalu lengkap, novel populernya sangat sedikit. Padahal SMA saya terbilang favorit lho, tapi sayang sekali perpustakaaannya tidak terlalu terurus. Makanya waktu SMA saya masih menjalankan cara lama: pinjem buku teman, hihi.

Begitu kuliah, saya mulai bisa membeli buku sendiri. Bukan buku asli tentunya, saya membeli buku bajakan di pasar loak atau pasar buku bajakan. Saya tidak berhenti membaca.

Sejak memasuki dunia kerja, saya gila-gilaan membeli buku. Sekali datang ke toko buku bisa 4-5 buku saya beli sekaligus. Padahal hampir setiap weekend saya ke toko buku. Seringnya saya cuma beli-beli saja, tanpa dilihat bukunya bagus atau tidak. Jadi saya hanya beli buku berdasarkan judul, kalau judulnya menarik ya saya beli, kalau tidak menarik ya tidak saya beli, boros!

Maka tidak heran kalau koleksi buku saya sangat banyak. Setiap pindah kerja (mutasi), barang terbanyak dan terberat saya ya buku. Pernah suatu kali pindahan, kebetulan kostan saya ada lemari buku yang cukup besar, sekitar 6 rak dengan lebar rak sekitar 1 m. Lemari tersebut ternyata masih kurang menyimpan buku-buku saya.

Koleksi terbanyak saya ya novel. 80% diantaranya adalah novel terjemahan. Koleksi terbanyak kedua adalah buku biografi, lalu buku-buku pajak/akuntansi, dan terakhir adalah genre lainnya.

Gara-gara pernah bercita-cita membuat perpustakaan sendiri, setiap membeli buku, biasanya saya beri nomor identitas buku tersebut. Sampai sekarang pun sebenarnya masih saya lakukan. Jadi begitu saya membeli buku, saya rekam buku tersebut, lalu diberi nomor identitas. Dulu sih saya beri sticker barcode dan embel-embel identitas lainnya, lama-lama saya malas juga membuatnya. Jadi cukup saya beri nomor, saya stempel dan saya paraf saja, hehe.

Sudah sejak kecil saya jatuh cinta pada produk yang disebut buku ini. Mungkin sejalan dengan kecintaan saya pada buku tersebut, saya senang menulis. Semoga suatu saat cita-cita saya bisa menerbitkan buku bisa terwujud. Amin.

———————–

5 Comments

      1. mas ada nomer kontak yg bs dihubungi ga? saya kbetulan peserta brevet pajak mau tanya2 jg mengenai materi pajak yg sedikit membingungkan

        Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.