Sabtu-Minggu Bersama ‘Sabtu Bersama Bapak’

sabtu-bersama-bapak_revisi-covera

gambar dari google

 

SEANDAINYA saya ditanya:

Nash, buku apa yang paling membuat lo tersinggung?”

Saya akan menunjuk buku di atas. Kenapa? Kalau Anda tidak tahu jawabannya, berarti sekarang saatnya Anda pergi ke toko buku terdekat dan membeli buku ini. Jangan lupa dibaca setelahnya. Percuma dibeli kalau gak dibaca 😛

Iya. Saya sangat tersinggung membaca buku ini. Terutama karena saya sudah tidak muda lagi (Oke, saya tua! meski tidak setua Cakra, karakter yang diceritakan novel ini) dan yang bikin ngenes adalah karena saya belum berhasil menemukan rusuk saya yang katanya hilang. Ngenes! Sebenernya nggak ngenes-ngenes amat, cuma ya membaca buku ini membuat saya sangat tersinggung sejak di halaman-halaman awal. Dan anehnya meski tersinggung, saya tetap melanjutkan membacanya.

Pintar sekali Adhitya Mulya (penulis buku ini) mengambil tema tulisannya. Tentang jomblo yang galau karena tidak juga ketemu jodohnya. Pekerjaan sudah mapan, penghasilan teratur, rumah sudah siap, tapi istri belum punya. Jangankan istri, calon istri pun belum ada. Saya bilang Adhitya pintar, karena dia tahu bahwa 70% dari pemuda Indonesia adalah jomblo ngenes (hahahah, ketawa jahat). Ups, jangan tersinggung ya!

Sudah lama sebenarnya saya mencari buku ini. Diawali dari beberapa bulan yang lalu seorang teman merekomendasikan buku ini, katanya bagus. Setiap kali saya datang ke Gramedia, buku ini selalu tidak ada, kehabisan stok. Saya datang ke Gramedia Bintaro, Serpong, bahkan di toko buku nonGramedia pun habis, hampir nyerah saya nyarinya. Sampai kemarin Jumat, seorang teman mengabarkan bahwa buku ini masih banyak stok-nya di Gramedia Bogor. Saya langsung melesat ke Bogor, sampai harus mengajak teman saya yang baru datang dari Semarang hanya untuk buku ini. Jauh-jauh saya ke Bogor cuma untuk membeli buku yang membuat saya tersinggung saat membacanya, hih!

Membacanya mengingatkan saya pada film India, Kuch Kuch Hota hai. Agak mirip-mirip ceritanya. Tentang Bapak yang kena kanker, dan divonis akan segera meninggal setahun lagi. Maka sejak saat itu sang bapak selalu merekam video-video berisi pesan-pesan kepada kedua anaknya yang saat itu masih kecil. Dan setelah kepergian Bapaknya, oleh sang ibu video-video tersebut diputarkan kepada dua orang anaknya, Satya dan Cakra setiap hari Sabtu. Thats why buku ini diberi judul Sabtu Bersama Bapak. Saya membaca buku ini mulai Sabtu malam (malam minggu maksudnya, saat yang lain apel atau teleponan, saya malah baca buku yang bikin saya tersinggung. Laah, malah curhat) dan selesai minggu sore. Itulah alasannya saya beri judul tulisan ini dengan Sabtu-Minggu Bersama ‘Sabtu Bersama Bapak’.

Ada dua cerita besar yang diceritakan Adhitya di buku ini, pertama tentang perjuangan seorang jomblo sukses di bidang karier, namun tidak sukses untuk urusan wanita: dari tiga kali nembak cewek, ditolaknya empat kali. Kedua, tentang perjuangan seorang suami menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya. Meski sebenarnya Adhitya menceritakan ini dengan sedikit garing, namun saya tetap suka karena idenya unik. Di beberapa bagian kita akan menemukan buku ini sedikit krik krik karena garing yang dipaksakan, kentang jadinya. Dan jika Anda jeli di beberapa bagian kita akan menemukan beberapa kata salah ketik (oke, tentu saja ini hal yang sangat wajar dan sebenarnya tidak perlu dibahasDasar jomblo lu Nash).

Saya suka satu bagian dari novel ini saat Cakra menolak untuk dikenalkan oleh Mamahnya dengan anak dari temannya. Cakra menolak dengan alasan klasik: tidak suka perjodohan. Namun dengan sabar mamahnya menjawab bahwa ada dua tipe orang tua, pertama yang benar-benar ingin menjodohkan, dan yang kedua yang sekedar ingin mengenalkan saja. Tipe pertama, adalah orang tua yang suka memaksakan. Si A harus menikah dengan si B, kalau tidak dia akan ngamuk-ngamuk. Tipe kedua, ini yang katanya paling banyak: si A dikenalin dengan si B, perkara nanti jodoh atau tidak, tidak akan menjadi masalah. Mamahnya menambahkan, bahwa ada alasan yang sangat bagus kenapa kita harus mendengarkan orang tua kita saat dikenalkan dengan anak teman-teman mereka, yaitu:

1. Orang tua yang tulus tidak akan mengenalkan anaknya pada orang yang agamanya tidak kuat. Pasti orang tua sudah memikirkan mengenai hal ini.

2. Orang tua yang tulus juga tidak mau punya cucu yang jelek-jelek amat. Jadi tidak mungkin mengenalkan anaknya dengan orang yang jelek.

3. (Ini alasan yang paling penting menurut saya) Kalau orang tua mengenalkan anaknya dengan anak teman-teman mereka, 90% restu sudah di tangan, jadi tidak perlu mencari restu lagi 🙂

Yaa, saya setuju! Setelah ini semoga ibu saya mengenalkan anaknya ini pada seseorang, hahaha! amiin ya Rabb. 

Well, kalau Anda jomblo dan ingin disinggung oleh buku kampret ini, maka bacalah!

Selamat membaca

————————————————

Thanks buat Ajo yang sudah merekomendasikan buku ini, dan thanks buat Dini yang sudah ngasih info tentang keberadaan buku ini di Gramedia Botani Square, Bogor.

6 Comments

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.