Galau Perahu Kertas

Perahu Kertas - Artwork

gambar dari google

JADI gara-gara iseng melihat dan mendengarkan lagu Perahu Kertasnya si cantik Maudy Ayunda, saya langsung merasa galau, hihi. Sebenarnya bukan kali ini saja saya merasa galau, sebulan sekali pasti adaaa saja malam-malam yang di dalamnya saya merasa galau, haha. Dulu saya menyebutnya sebagai igauan lelaki datang bulan, namun sekarang sepertinya sudah ada terminologi yang lebih pas: derita lelaki galau, halah. Nggak ding, bercanda, hehe.

Di tengah ramenya copras-capres seperti sekarang ini, perhatian kebanyakan orang sepertinya tersedot ke dalam putaran raksasa bernama kampanye. Bukan kepada pemilu, tapi kampanye. Masing-masing menjagokan calonnya. Yang milih nomer satu, hampir semua hal dihubungkan dengan angka satu. Yang milih nomer dua, semua hal dihubungkan dengan angka dua. Sampai-sampai semua status di media sosialnya ya gak jauh-jauh dari kampanye. Tidak heran banyak kita temui kasus unfriend maupun unfollow di media sosial. Singkatnya, semua orang menjadi ahli kampanye (dadakan).  Media massa pun tidak jauh berbeda dari para jurkam dadakan ini, tajuk beritanya melulu tentang copres-capres.

Sangking ramenya euforia kampanye oleh juru kampanye dadakan ini, banyak hal dilupakan. Lupa bahwa sebentar lagi memasuki bulan Ramadhan. Lupa bahwa harga-harga barang kebutuhan mulai menanjak statis: sebut saja jengkol—makanan rakyat—yang sekarang harganya melebihi harga daging. Lha, apa sangking mahalnya sekarang jengkol sudah bisa dikategorikan sebagai makanan mewah, makanan istana?. Lupa bahwa permasalahan terkait pemilu justru masih banyak yang harus diperbaiki: DPT yang entah sampai kapan selalu akan menjadi masalah. KPU (sepertinya) lupa sosialisasi perihal tata cara pemilu presiden. Saya sendiri tidak tahu bagaimana caranya bisa mencoblos di Jakarta (mengingat domisili saya tidak di Jakarta). Lupa bahwa saya belum nemu jodoh (lho?!). Lupa bahwa presiden kita yang sekarang ini sebentar lagi pensiun, kira-kira gimana kabar beliau? Apa sedang semangat-semangatnya bekerja, atau justru sedang mengalami degradasi nasionalisme yang kritis sampai-sampai membuat kebijakan terkait imbalan rumah bagi mantan presiden? Lupa bahwa sampai bulan Juni ini penerimaan pajak belum ada 30%. Aaarrgh…. semua orang lupa—atau mungkin pura-pura lupa. So pathetic.

Media tidak lagi berimbang. Masyarakat tidak mendapatkan pemberitaan secara netral. Opini yang terbentuk jadi kalang kabut, tak berbentuk. Fitnah bercampur fakta, yang ajaibnya susah dibedakan. Semua orang (yang secara mengejutkan) tiba-tiba menjadi orator handal, pintar menganalisis dan membandingkan satu sama lain. Statistik dimanipulasi, gambar dan video dipotong-potong menjadi tajuk utama sebuah berita. Tiba-tiba bermunculan media-media pemberitaan baru, yang asal usulnya tidak jelas. Semua orang terpaku pada pertanyaan: satu atau dua? Bahkan semua orang saling menjudge, si ini satu, si itu dua, si anu satu, si anu dua, dan seterusnya, dan seterusnya.

Terus terang saya pusing dan galau. Saya pusing memikirkan nasib ibu saya yang harus berpikir ekstra keras hanya untuk membeli setengah kilo daging. Saya kasihan melihat nenek-nenek tukang pemulung yang semakin hari semakin kurus, tidak terurus. Saya pusing sekaligus galau memikirkan jodoh saya yang tak kunjung ketemu (laah ini sih derita lo Nash!).

Saya tidak tahu harus melakukan apa. Dan karena saya cuma bisa nulis, ya yang saya lakukan cuma nulis saja. Berharap semoga dengan menulis ini kegalauan saya secara perlahan akan menghilang, hingga saya bisa tidur dengan lelap tanpa harus memikirkan bangsa dan negara (berat amat hidup lo Nash).

Kembali lagi ke Perahu Kertas, saya pernah tuh iseng curhat sama Neptunus-nya Kugy melalui surat. Saya hanyutkan tuh curhatan saya di sungai. Tapi karena sungainya kotor, bau, bikin banjir, sepertinya surat saya tidak sampai ke Neptunus. Kalaupun sampai, mungkin gak akan dibaca sama Neptunus, mengingat surat saya sudah tidak berbentuk, cuma kertas sobek compang-camping berbau comberan. Sedih. Susah ya hidup di Jakarta, mau curhat saja repot. Ngenes.

Seandainya menemukan cinta sejati semudah menyalakan radar, lalu mencari radar orang lain yang memiliki frekuensi sama, mungkin saya akan sebahagia Kugy yang menyadari bahwa jodohnya ada diantara miliaran manusia yang ada di dunia.

—————————————————-

Bintaro, 22 Juni 2014

dalam kesakitan yang datang setiap bulan

Selamat ulang tahun Jakarta

2 Comments

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.