EKSPEDISI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

Satu per satu lembar paspor dibolak-balik. Foto ditatap, halaman kosong dicari. Stempel dicapkan dengan mantap. Dicorat-coret sedikit. Ditiup-tiup hingga cap itu kering. Selesai.

Hehe, begitu kira-kira proses imigrasi yang biasanya terjadi di bandara-bandara. Tentu saja kejadian itu tidak pernah saya alami, mengingat saya sama sekali belum pernah pergi ke luar negeri. Dan kalimat di atas saya kutipkan dari buku perjalanan yang sedang saya baca, Garis Batas—Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah karya Agustinus Wibowo yang juga penulis kisah perjalanan Afghanistan “Selimut Debu”.

Jalan-jalan, salah satu hobi favorit saya. Bagi saya jalan-jalan selalu menyenangkan. Jalan-jalan tanpa dokumentasi bagi sebagian orang itu hoax atau berita bohong. Meski bagi saya tidak selalu. Biarkan orang lain menganggap itu bohong, toh bagi saya jalan-jalan adalah pengalaman, biar hati dan ingatan saya yang mendokumentasikannya.

Namun kadangkala saya butuh lebih dari sekedar ingatan, saya juga butuh pengingat. Selain gambar, saya senang melengkapi pengingat itu dengan catatan, catatan perjalanan. Meski itu lebih karena saya tidak ahli fotografi, plus tidak punya kamera SLR juga, maka menulis catatan perjalanan bagi saya sudah lebih dari cukup.

Tanggal 23 September 2011, salah satu teman saya, Surya, mencoret dinding facebook saya dengan link blognya Faisal Idris, http://faisal-idris.blogspot.com; di mana salah satu postingannya membahas tentang perjalanannya ke Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di kawasan Bogor, Jawa Barat. Setelah dibaca-baca sepertinya menarik dan patut dicoba. Maka dengan berbekal bibir manis, Ajo, Dayat, Rio dan Dachri berhasil saya rayu untuk ikut ke Taman Nasional tersebut keesokan harinya. Bibir manis, tentu saja adalah kiasan yang berarti rayuan maut, hahaha….

Maka jadilah pagi hari itu, sekitar jam 5 pagi kami berenam berangkat menuju Bogor. Rencana awal kami hendak berangkat dengan kereta paling pagi, yaitu jam 05:30. Tetapi kemudian karena agak telat, kami naik kereta berikutnya, yaitu Commuter Line jam 05:50, Pondok Ranji – Manggarai dengan harga tiket Rp 6.000.- namun karena kereta tersebut tidak sampai ke Manggarai, kami harus transit dulu di Tanah Abang untuk kemudian melanjutkan ke Manggarai tanpa harus membeli tiket lagi.
kereta api
Entah kenapa, kereta api selalu menjadi tempat yang menyenangkan. Bukan sekedar alat transportasi, bagi saya kereta api adalah tempat melihat dan merenung, tempat melamun, maka senang sekali pagi itu bisa kembali merasakan suara berisiknya kereta api dan stasiun setelah cukup lama tidak merasakannya. Pagi itu stasiun Manggarai belum cukup ramai, masih lumayan sepi. Mungkin karena hari itu adalah hari libur plus masih pagi dan kami mengambil arah berlawanan. Karena biasanya hari Sabtu atau minggu orang-orang Bogor banyak yang berwisata ke Jakarta, sementara kami sendiri dari Jakarta berwisata ke Bogor, sehingga pagi itu kami pun dihadiahi dengan gerbong kereta yang kosong sehingga bisa duduk berderet tiga-tiga di tempat duduk prioritas yang berada di ujung gerbong.

Biasanya satu jam di kereta bukanlah waktu yang lama bagi saya. Tetapi pagi itu rasanya ingin cepat sekali sampai di Stasiun Bogor, tidak sabar dengan petualangan macam apa yang akan kami hadapi. Kami menghabiskan waktu satu jam dengan banyak cara. Dayat lebih memilih membaca koran olah raga, Rio lebih memilih tidur, Dachri dan Ajo—yang memang hobi membaca—memilih membaca buku. Sementara itu saya dan Surya, alih-alih membaca buku lebih memilih membaca majalah traveler sambil mendengarkan musik dari mp3 player kami masing-masing. J
Stasiun Bogor adalah stasiun yang menyimpan banyak kenangan bagi saya—selain stasiun Bojonggede tentunya. Dengan bangunan khas stasiun, meski tidak setua Stasiun Kota. berada di Stasiun Bogor selalu membawa perasaan sendiri bagi saya. Dulu, hobi saya adalah naik kereta, tentu saja perjalanan Jakarta-Bogor saya banyak disaksikan oleh stasiun yang pintu keluarnya tinggi besar dan terbuat dari kayu ini. Salah satu kantin di samping Dunkin Donat di stasiun ini pun pernah menjadi saksi perjalanan salah satu teman dekat saya, yang tidak lama setelahnya meninggal dunia, meninggalkan saya juga tentunya …
Kira-kira jam 8 pagi kami sampai di Stasiun Bogor. Tempat pertama yang kami cari adalah toilet. Beberapa dari kami sudah kebelet, mengingat jam biologisnya harus tertunda beberapa jam akibat harus bangun pagi-pagi buta.

Apa berikutnya? Lapar. Memang sih, saya dan Ajo sudah makan mie sebelum berangkat, sementara itu Rio, Dachri dan Dayat sudah sarapan nasi uduk. Tetapi nggak lengkap rasanya ke Bogor tanpa merasakan soto mie. Makanan khas Bogor yang satu ini isinya mie, bihun, kol, risol dan daging. Soto ini tidak memakai santen, hanya kuah bening berbumbu yang enak. Memang sih, soto mie yang di samping stasiun menurut saya tidak seenak soto mie di daerah pasar bogor di deket Kebun Raya Bogor, tetapi rasanya sudah cukup mengobati kerinduan saya pada makanan yang dulu biasa dimakan saat sarapan di depan kantor di Cibinong ini.

Dulu Bogor mungkin dikenal sebagai Kota Hujan. Sangkin seringnya hujan karena tingginya curah hujan di sana. Sekarang? Bogor berubah menjadi kota angkot. Kemana arah mata memandang, kesitu kita akan menemukan angkot—yang ini jelas agak #lebay.
Tapi memang betul. Angkot di Bogor keterlaluan banyaknya. Entah kebijakan atau entah supir angkotnya yang salah. Tapi memang banyak banget, asli! Banyak angkot dengan warna sama, yang ternyata mempunyai jurusan atau trayek yang berbeda. Mengenai permasalahan angkot di Bogor ini pernah saya bahas di akun twitter saya @__nash; kalau tidak salah dengan tagar #angkot.

Tak heran selepas makan soto mie di samping Stasiun Bogor, supir angkot banyak yang menawarkan jasanya kepada kami. Mungkin mereka sudah terbiasa dengan rombongan model backpacker-an seperti kami. Padahal yang jelas-jelas bergaya ala backpacker di antara kami waktu itu cuma Surya saja. Yang lain? Kaya mau main ke mal, haha, nggak ada muka backpacker sama sekali.
Perkiraan awal kami menuju Taman Nasional Gunung Halimun Salak tentu saja tidak mencarter angkot. Rute yang akan kami tempuh dari Stasiun Bogor adalah naik angkot 03 sampai Terminal Bubulak atau turun di Laladon (Dramaga/Kampus IPB); kemudian melanjutkan naik angkot ke Terminal Leuwiliang dan kemudian lanjut angkot lagi ke pertigaan cibatok, untuk kemudian naik/jalan kaki atau nyarter angkot/naik ojek hingga ke lokasi. Tetapi karena si bapak yang menawarkan carter angkot kepada kami menceritakan bahwa kalau kami menempuh jalur itu kami hanya akan dihadiahi macet dan rute perjalanan yang panjang, kami pun setuju untuk mencarter angkot saja. Dari harga penawaran 175.000 rupiah untuk sekali jalan, bisa kami tawar hingga 150.000 rupiah sampai di lokasi. Saya sendiri tidak yakin harga tersebut terlalu murah atau terlalu mahal, mengingat di antara kami belum pernah ada yang ke sana dengan mencarter angkot. Memang sih, Rio sudah pernah ke sana, itu pun nyewa bus dan bersama teman-teman sekelas, sementara itu referensi yang kami baca ditulis pada tahun 2008; yang harganya jika dikalkulasi, diperhitungkan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dari 2008 hingga 2011 pasti banyak mengalami perubahan #halah—yang ini #lebay banget. Yang ada di pikiran saya waktu itu, dengan harga 150.000 rupiah ber-enam, maka cukuplah seorang membayar 25.000 rupiah sekali jalan, mungkin bukan harga yang terlalu mahal.

Dan tau apa yang terjadi? #JengJengJeng ternyata perjalanannya jauuuh. Jauh aja sih, nggak jauh banget. Tapi tetap saja jauh, dengan jalan yang kecil, sempit, naik turun sementara kanan-kiri kami jurang. Sialnya lagi, angkot yang kami sewa bukan angkot baru yang fit dan kuat tenaganya. Angkot yang kami sewa adalah tipe angkot yang sudah agak ringkih badan dan tenaganya, yang menurut pengakuan bapak supir—yang nomor HP nya +6281574522294: Bapak Papay (mungkin yang membutuhkan jasanya)—untuk nanjak, tenaga angkotnya harus disetel dulu. Maka jadilah kami berenam beberapa kali sport jantung gara-gara angkotnya nggak kuat nanjak. Sampai ada kejadian kejar-kejaran sama angkot gara-gara kami memilih turun dari angkot, daripada ikut mundur sama angkot saat nanjak.
Jadi dengan perjalanan yang jauh plus medan yang menantang dan kepuasan yang terlampiaskan—#halah apa ini?—menurut kami harga 25.000 per orang adalah harga yang pantas :p
Dan ternyata setelah saya teliti, angkot yang kami sewa mungkin bisa disebut angkot bodong. Angkot tersebut ternyata tidak memiliki nomor trayek seperti angkot di Bogor pada umumnya dan bagian belakangnya tidak ada plat angkotnya, tidak ada tanda peremajaan dan tidak ada nomor registrasi terakhir. Fakta tersebut kemudian saya hubungkan dengan Bapak tersebut yang kekeuh menawarkan kita untuk menunggu dan kembali membawa kami pulang ke kota Bogor meskipun harus menunggu sampai sore. Kesimpulan dari investigasi saya? Saya pikir angkot tersebut memang biasa digunakan untuk naik ke gunung, mengantar para turis seperti kami. Kemudian dicapailah kesepakatan bahwa angkot tersebut akan kami carter pergi-pulang (PP) dengan harga 330.000 rupiah. Sekali lagi, harga tersebut tidak kami ketahui apa terlalu murah atau terlalu mahal.

Pemberhentian pertama kami adalah Curug Cigamea. Curug adalah bahasa Sunda yang berarti air terjun. Saya sendiri setelah beberapa kali berkunjung ke curug-curug yang sebagian besar terletak di Bogor menjadi agak bingung dengan konsep curug di Jawa Barat. Di sini orang dengan mudah memberi nama bahwa air yang mengalir dari atas ke bawah secara berkesinambungan adalah curug, meski tingginya hanya 2,5 atau 3 meter saja. Bahkan Curug Cihurang yang kemudian kami kunjungi hanya memiliki tingga lebih kurang 2,5 meter, dan itu pun ternyata hanya curug buatan. Makanya setelah itu saya bertekad dalam diri saya tidak akan mudah percara ketika seseorang mengatakan curug, saya harus menanyakan kepada orang itu berapa tingginya, berapa debit airnya dan air terjun tersebut alami atau buatan, haha #gamaurugi.

Di perjalanan kami, Curug Cigamea adalah curug terakhir atau berlokasi di paling ujung dari rangkaian curug yang kami temui. Sementara kalau kita memilih jalan dari arah Leuwiliang (mengingat kami melewati rute berlawanan arah dari rute awal kami) Curug Cigamea adalah curug pertama. Kami memilih untuk lebih dulu menuju curug terjauh dengan alasan hemat tenaga—tentu saja alasan ini tidak beralasan.

Dari tempat parkir menuju curug, kita harus berjalan kira-kira 350 meter. Tentu saja jalan tersebut sudah bisa Anda lalui setelah membayar karcis masuk 4.000 rupiah per orang, ditambah 5.000 rupiah parkir angkot—yang anehnya kami tidak diberi tanda bayar retribusi. Bukan apa-apa, saya pribadi takut aja uang 29.000 rupiah yang kami bayar tidak disetor ke Kas Daerah #pelit. Jalannya sudah dibuat apik dengan paving blok yang dipadukan dengan batu, sehingga kita bisa nyaman melewatinya, sementara pemandangan di sebelah kiri kita adalah jurang dengan hutan yang menghijau. Sepanjang jalan juga banyak berjejer warung-warung dan kios pedagang makanan, baik gorengan, cilok maupun jagung bakar. Tentu saja tidak ada pizza di sana. Salah satunya kita akan melewati Fish Therapy atau terapi ikan yang harganya 5.000 rupiah sekali menclum—turun ke air; yang posternya—entah kenapa—bergambar wanita-wanita cantik, hmmm mencurigakan.

Curug Cigamea ternyata terdiri dari dua buah air terjun utama dengan karakter yang berbeda. Air terjun pertama yang lebih dekat dengan pintu masuk, berupa air terjun yang arusnya tidak terlalu besar dengan dinding curam dan didominasi bebatuan berwarna hitam[1]. Air yang menggenang di bawahnya pun tidak terlalu banyak dan tidak terlalu asyik untuk mandi. Sementara air terjun kedua berada tidak jauh dari air terjun pertama, mungkin beberapa puluh meter saja. Air terjun kedua ini bercorak khas garis warna coklat kemerah-merahan, sehingga ada memberi kesan khas. Dua-duanya sama-sama indah, terutama bagi fotografer seandal Surya, maka kami pun sibuk berfoto-foto ria di sana alih-alih mandi. Sayang sekali pengunjung maupun mengelola tidak merawat tempat ini dengan baik, sehingga di sana-sini terlihat sampah plastik dan sisa-sisa sampah yang dibawa pengunjung. Saya sendiri tidak tahu, tidak jauh dari air terjun kedua ada tulisan “Dilarang melewati Garis ini”; saat itu saya tidak ngeh ada garis apa di sana, ternyata setelah saya amati ada bekas lilitan tali di sana, yang maksudnya kita tidak boleh berenang ataupun mandi di bawah air terjun itu.
Satu jam, cukup bagi kami mengeksplorasi Curug Cigamea. Belum cukup puas, mengingat kami belum bisa mandi dan ciblon di sana, hihi …
Venue kedua kami adalah Curug Ngumpet. Kami memutuskan untuk mengunjungi venue-venue tertentu saja mengingat keterbatasan waktu yang kami miliki. Tadinya, selepas dari Curug Cigamea pits stop kami adalah Curug Ngumpet setelah dipilih melalui mekanisme voting. Ternyata, Curug Ngumpet kelewatan saat angkot kami lewat—setelah ini, tolong artikan “angkot kami” dengan “angkot yang kami carter”—karena malas puter jalan, akhirnya kami kembali memutuskan untuk ke Curug Pangeran yang berlokasi setelah Curug Ngumpet ini.

Curug Pangeran secara letak berada di posisi yang lebih tinggi dari Curug Cigamea. Mengingat angkot kami harus terlebih dulu naik beberapa puluh meter, hingga angkot ringkih kami itu tidak kuat naik dan kami harus sedikit mendorongnya, kemudian ada pula adegan dikejar angkot yang sedang berjuang naik mengingat sempitnya jalan, sehingga tidak bisa menampung angkot dan kami berjejer di samping jalan secara bersamaan, haha. Tiket masuknya masih tetap 4.000 rupiah per orang, hanya saja di sini kami tidak dikenai charge parkir angkot mewah kami. Mungkin karena penjaganya pun masih anak-anak, dan lagi-lagi tidak ada tanda pembayaran tiket yang telah kami bayar.

Pintu gerbang Curug Pangeran hanya berupa gubuk kecil, dengan tulisan di batu di samping gubuk tersebut “Welcome to Curug Pangeran” yang dicat dengan cat besi warna kuning emas. Untuk menuju Curug Pangeran jalan yang harus dilalui tidak sesulit dan tidak sejauh di curug sebelumnya. Hanya saja jalannya tidak sebagus di Curug Cigamea.

Curug Pangeran, seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya tentang konsep curug, bukanlah air terjun yang tinggi, apalagi tinggi banget. Hanya sekitar 3-4 meter saja tingginya, yang kubangan di bawahnya pun hanya kubangan kecil, kira-kira berdiameter 10 meter saja sementara sungai di bawahnya kekeringan karena airnya dialihkan ke atas, mungkin untuk pengairan penduduk. Apa bagusnya? Kubangan yang sempit dan dalam itu ternyata bagus banget. Bagus banget, i spell, b a g u s b a n g e t. Dengan air yang biru, mungkin karena dalamnya antara 3 hingga 4 meter plus airnya bener-bener jernih. Maka, tidak menyesal kami melewatkan Curug Ngumpet yang kemudian kami tahu hanya curug kecil dan katanya tidak seindah Curug Pangeran ini.

Maka bisa dibayangkan adegan berikutnya tentu saja kami nyebur mandi. Satu hal yang harus diingat sebelum Anda memutuskan untuk mandi di sana adalah, airnya dingin banget. Bener! Sampai kami merasa sedang mandi di air es. Sangking dinginnya, kalau air itu Anda ambil dengan tangan dan dialirkan ke leher temen diam-diam, pasti dia akan berteriak sangking dinginnya. Bukan kami namanya kalau nggak narsis. Maka dua fotografer kami pun—Surya dan Dachri—sibuk mengabadikan adegan kami mandi, sementara kami berempat berpose dengan banyak pose yang di antaranya banyak pose mesum, haha #Lirik Rio dan Dayat.

Mandi selama satu jam di air yang dinginnya minta #digaplok adalah #prestasi. Puas, puas banget. Seger dan kedinginan. Padahal ketika pertama kali membasahi seluruh tubuh kami, rasanya airnya seperti mengandung sedikit minyak, mengingat kulit kami jadi agak licin-licin gimanaa gitu. Tapi sekali lagi, sangat menyenangkan dan puas. Apalagi Surya yang dengan semangatnya mengambil foto kami yang kemudian dia berkata : “Senang sekali bisa dapat banyak foto bagus!” Rasanya perjuangan kami hari itu tidak sia-sia.

Satu hal yang ingin saya ceritakan tentang curug-curug yang kami kunjungi di sana adalah tentang toilet. Kenapa? Meski berada di lokasi wisata—yang notabene kami sudah bayar untuk masuk ke sana—toiletnya bukanlah toilet gratis, tapi toilet berbayar. Nggak tanggung-tanggung, harga toiletnya pun sekali masuk 2.000 rupiah. Ditambah toiletnya yang tidak terawat plus bau pesingnya, nggak tahan. Sampai muntah-muntah saya jadinya. Mungkin itu satu hal yang menjadi PR bagi pengelola tempat wisata. Belum lagi PNS yang bertugas di Curug Cigamea, mereka malah asyik main kartu alih-alih memberikan pelayanan dan pengamanan yang baik di lokasi wisata. Maka wajar saja kalau Curug Seribu yang merupakan satu dari rangkaian curug-curug di Taman Nasional Gunung Halimun Salak kemudian ditutup akibat memakan korban nyawa sampai 4 orang. Mungkin saja itu akibat kelalaian petugas ditambah pengunjungnya yang kurang kesadaran untuk bersama-sama menjaga kebersihan dan keamanan lokasi. Yuk, mulai sekarang kita jadi pengunjung yang baik dan santun, #kampanye.

Puas mandi, kami memutuskan naik dan menuju venue berikutnya. Namun sebelumnya kami memutuskan untuk mengisi dulu perut kami yang keroncongan. Karena hanya ada satu warung, itu pun Cuma menjual kopi dan mie rebus, maka kedua menu tersebut menjadi menu pengganjal perut kami. Sambil menunggu pesanan kami datang, sholat dan bersih-bersih menjadi aktivitas kami.

Pukul 15:00 kami menuju venue terakhir kami, Curug Cihurang. Yang ternyata hanya curug buatan, dengan ketinggian yang tidak seberapa plus kubangan di bawahnya hanya berupa genangan air dengan lumpur yang akan keruh ketika kita menginjakkan kaki ke bawahnya. Bedanya, curug ini lebih indah sekelilingnya, mengingat banyak pohon pinus rumputnya pun tertata rapi.

Puas berfoto-foto, akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu, kami memutuskan untuk pulang. Bukan pulangnya, tapi sensasi naik angkotnya. Serasa naik Halilintar di Dufan. Pulanglah kami ke peraduan, membelah kemacetan kota Bogor dari arah Ciapus menuju Bogor Kota, melewati BTM (Bogor Trade Mall), Kebun Raya Bogor dan Botani Square.

Tepat saat maghrib, kami kembali menginjakkan kaki di Kota Bogor. Mengingat kami kehabisan duit, kami meminta pak Papay—saya ingatkan: beliau adalah supir angkot kami—untuk mengantarkan kami ke ATM. Maka ATM BRI di swalayan Hari-Hari yang berada di Jalan Pajajaran, atau di samping Giant dan di depan Masjid Raya Bogor menjadi pilihan persinggahan kami yang pertama. Puas menguras habis isi ATM kami—tanggal tua bangka—kami mampir ke Brownies Kukus Amanda untuk membeli sekedar oleh-oleh. Ternyata banyak rasa baru, dan saya mencoba Pink Burble, yang ternyata adalah brownies kukus dengan toping coklat strawberry beku, enak!

Masjid Raya Bogor yang sekarang sudah banyak berubah dibandingkan saat kunjungan saya yang terakhir, yakni saat melihat Pameran Balon Terbang di daerah Sentul. Sekarang masjidnya sudah diperluas ke belakang, dengan perbaikan kamar mandi dan tempat sholat. Keramiknya sudah diganti dengan keramik yang baru dan bagus, plus tempat wudhu dan tempat sholat serta tempat parkir yang sudah sangat bagus. Dulu sekali, jaman saya masih kerja di Cibinong, mesjid Raya Bogor adalah salah satu tempat yang cukup ditakuti, terutama tempat parkirnya. Banyak peristiwa kehilangan, terutama sepeda motor dan helm. Ternyata sekarang DKM nya sudah banyak berbenah, dan berhasil menciptakan kesan yang nyaman dan aman, serta menyejukkan.

Tempat sholat prianya sendiri sudah dipugar hampir habis-habisan. Sekarang tangga naik tidak lagi di posisi yang dulu, yakni sebelah kiri kanan pintu masuk. Tempat imam pun sudah di pugar, dengan ada kubah semacam ka’bah di atasnya, plus langit-langit yang dibuat berupa lingkaran yang berundak-undak, sehingga menambah kesan indah. Dan satu hal yang saya baru lihat, adalah jam digitalnya. Selain menampilkan waktu, juga menunjukkan suhu, yang waktu itu adalah 28 derajat celcius. Ya, jangan heran kalau Bogor sekarang panas. Kalau mau yang dingin-dingin ya di Puncak Pass sana, hehe.

Tidak lengkap rasanya ke Bogor tanpa makan malam di Bu Mimin, yang merupakan salah satu dari warung tenda yang berjalan di sepanjang jalan pajajaran Bogor setiap malam. Meski ada puluhan tempat, warung Bu Mimin selalu menjadi pilihan saya sejak dulu. Alasannya sih simpel, selain sambalnya yang mantap, juga karena saya belum pernah mencoba warung yang lain, haha. Namun makan di Bu Mimin selalu mengasyikkan, apalagi kalau diperhatikan, bu Mimin selalu menggunakan legging saat berjualan, xixixi, gaul ….

Mungkin sekitar pukul 19:30 bis Agra Mas yang kami tumpangi bergerak meninggalkan Terminal Baranangsiang dan menembus Tol Jagorawi menuju Terminal Lebak Bulus untuk kemudian mengantarkan kami ke angkot 08 dan menuju Bintaro. Maka berakhirlah petualangan kami hari itu, meski melelahkan dan harus kami bayar dengan tidur yang lumayan panjang, tapi memang mengasyikkan. Meski tidak terlalu menantang, alam selalu menjadi tempat yang membahagiakan untuk ‘pulang’. Karena menurut saya alam selalu menyediakan tempat di hatinya untuk kita kembali, segarnya, udaranya, warnanya, alam selalu membuat kita merasa rindu …

Bintaro, 26 September 2011
Nasikhudin

10 Comments

  1. Wah, penulisnya suka buku-buku Agustinus Wibowo juga yak. Yang Titik Nol udah dibaca juga gak ya? Salam kenal, tulisannya membuka wawasan dan pikiran 😀

    Like

  2. salam kenal juga hellosemesta. buku-buku Agustinus Wibowo menempati daftar buku perjalanan terbaik versi saya sendiri, hehehe

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.